Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ahli fikih dari ladang jagung

Kampus Ma'had Al Aly di kompleks Pesantren Sukorejo, Ja-Tim, diresmikan K.H. As'ad Ssyamsul Aarifin. Lembaga pendidikan non gelar ini tempat kiai dan sarjana ditempa menjadi kader ahli fikih.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS ulama, yang telah lama didendangkan Menteri Agama Munawir Sjadzali, kali ini dijawab kaum santri. Sesepuh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. As'ad Syamsul Arifin, Senin pekan lalu, meresmikan berdirinya program pendidikan pasca (sarjana) pesantren -- Ma'had al Aly -- di kompleks pesantren Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Hadir sejumlah ulama NU -- minus K.H. Abdurrahman Wahid dan K.H. Achmad Siddiq -- para santri, dan Bupati Situbondo Sudaryanto. Di hadapan jamaah kaum sarungan, K.H. As'ad mengatakan bahwa berdirinya Ma'had al Aly adalah sebagai realisasi putusan musyawarah alim ulama NU se-Jawa Timur, dua tahun lalu. Juga hasil putusan muktamar NU di Situbondo pada 1984. "Kalau toh realisasi pengaderan ulama ini dikatakan tersendat," kata Kiai As'ad -- yang menjabat mudir am (direktur utama) Ma'had al Aly -- "boleh jadi karena NU selama ini masih disibukkan oleh urusan pertentangan antara yang tua dan yang muda." Kiai As'ad, 94 tahun, memang dapat dikatakan sebagai wakil kaum tua, sedangkan Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid mewakili kawula muda. Keduanya, hingga kini, masih mempertahankan pendiriannya masing-masing. Terbukti dengan sikap keras Kiai As'ad yang tetap menolak jabatan mustasyar dalam kepengurusan PB NU sekarang ini. Itulah sebabnya, tidak aneh bila dalam peresmian Ma'had al Aly -- satu-satunya lembaga studi tempat para kiai dan sarjana mengaji -- Abdurrahman Wahid dan Achmad Siddiq tak muncul. Tentu saja, pernyataan dan sinyalemen yang dikemukakan Kiai As'ad tak bermaksud mengungkit-ungkit kondisi organisasi NU saat ini. Yang pasti, berdirinya Ma'had al Aly Li al 'Ulum al Islamiyati Qismu al Fiqhi -- begitu nama panjangnya yang berarti pesantren luhur ilmu-ilmu Islam khusus bidang Hukum Islam -- dimaksudkan untuk menyiapkan kader-kader ahli fikih. Ini terlihat dari persyaratan calon purnasantri -- begitulah julukan mahasiswanya. Mereka harus sarjana atau kiai yang mempunyai sejumlah pengikut santri. Di sini, kelihatan bahwa Kiai As'ad memang punya cara agak lain. Lebih dari itu, untuk menghilangkan "cap" tradisional, lembaga ini siap menerima "mahasiswa" dari kalangan Muhammadiyah, Persis atau kaum suni yang lain. Namun, institusi Ma'had al Aly yang paling penting adalah upayanya mendudukkan kiai dan sarjana dalam proporsi yang sederajat. Inilah tata cara kiai mempersiapkan ulama plus. "Pokoknya, bukan dengan cara mengirim kiai atau ulama ke Amerika atau Inggris," kata As'ad setengah menyindir program Departemen Agama yang getol mengirimkan dosen-dosen IAIN ke negara-negara Barat. Lembaga pendidikan yang, tentu saja, non-gelar ini berdiri di atas areal seluas empat hektare. Di situ, ada tujuh bangunan -- dua di antaranya bertingkat -- yang diperuntukkan ruang kuliah, asrama, perpustakaan, dapur umum, dan juga sebuah masjid. Sekitar Rp 200 juta dana telah tumpah di atas bangunan yang tampak dikelilingi hamparan ladang jagung itu. Sedangkan kompleks pesantren -- yang berdiri di sebelahnya -- khusus dipersiapkan sebagai tempat laboratorium studi empiris. Program studi tiga tahun ini dipersiapkan serius. Terbukti pihak Ma'had al Aly mampu mengundang dosen terbang dari Arab. Dari 15 tenaga pengajar tetap, Ma'had al Aly ini mendatangkan Syekh Ismail al Yamani dan Syekh Yasin bin Isa al Padangi (keduanya ahli fikih dan sering memberikan pengajian di Masjidil Haram, Mekah), lalu Dr. Mohammad bin Alwy al Maliky, dan juga Ali Ashashobuni yang terkenal itu. Di samping itu, ada nama-nama cendekiawan muslim, seperti Nurcholish Madjid, Quraisy Shihab, K.H. Idham Chalid, dan K.H. Akhmad Syaikhu. Sistem kuliah diberikan secara tadrisi -- sistem diskusi seperti biasa -- dan ta limi -- sistem wetonan. Perkuliahan bisa saja diberikan di masjid sambil menggelar karpet, khas pesantren. Diharapkan, dengan sistem ini para calon ahli fikih akan lebih peka dan siap pakai di masyarakat. Dan agak sesuai dengan arus modern, kepada purnasantri yang lulus juga bakal diberikan Syahadah -- semacam pengakuan akan keulamaan mereka. Untuk tahap awal Ma'had hanya akan menerima 60 purnasantri. Sampai Senin pekan ini, sudah ada 112 pendaftar, 38 orang di antaranya sarjana, sedangkan sisanya mereka yang berstatus kiai. Para calon ulama fikih itu, kata Hasan Basri, selaku pimpinan bidang akademik, akan digembleng dengan kitab-kitab fikih dan ushul dari empat mazhab -- Tafsir dan Hadis Ahkam, Tarikh Tasyiri, Akidah Islam, Sistem Hukum di Indonesia -- dan juga Sejarah Perjuangan Bangsa. Semua itu diberikan dengan arahan agar para purnasantri mampu mengantisipasi perkembangan zaman. "Tapi, mereka akan tetap dibentuk secara salafi, ke arah pemikiran ortodoks suni," kata Hasan Basri. Menanggapi hal ini, Abdussamad, salah seorang pendaftar, menyatakan sudah siap. Pengasuh pondok pesantren Miftahussalam di Sumenep, Madura, ini mengaku siap meninggalkan anak istri dan para santrinya. "Soalnya, ilmu saya masih sangat kurang," kata Abdussamad, yang sudah keluar masuk di berbagai pesantren kesohor ini. Sementara itu, Wahid Zaini, Ketua Umum Rabithah al Ma'ahid al Islamiyah, kepada TEMPO mengatakan bahwa program pengaderan ulama ini terutama dimaksudkan untuk mempertahankan kitab kuning -- yang sudah mulai ditinggalkan kaum santri -- sebagai perbendaharaan Islam. Jadi, "Inilah upaya NU untuk kontekstualisasi kitab kuning," kata Wahid Zaini, yang menjadi salah satu pengajar di situ. Sebuah upaya yang patut diacungi jempol. M. Baharun dan Agus Basri (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus