FAKULTAS Sastra UI Depok menyelenggarakan Seminar Apresiasi Disertasi Sastra Jawa, sedang di Yogyakarta berlangsung sarasehan bahasa Jawa. Kegiatan yang diselenggarakan Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta akhir Februari lalu itu bermaksud mengkaji ulang naskah Pedoman Lengkap Ejaan Bahasa Jawa Yang Disempurnakan (PLEBJYD). Sebenarnya, pada 1974 telah turun SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang memberlakukan Pedoman Ejaan Bahasa Daerah: Bali, Jawa, dan Sunda. Namun menurut Dr. Sudaryanto, Kepala Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, pedoman itu terlalu ringkas dan kurang lengkap, terutama yang menyangkut ejaan bahasa Jawa. "Masyarakat belum dapat memahaminya dengan mudah dan belum bisa menerapkannya dengan baik dan benar," ujarnya. Maka, pada 1974 itu juga Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta membentuk Tim Pengolah Ejaan. Hasilnya adalah naskah PLEBJYD yang disarasehankan tadi. Di sini 76 peserta sarasehan membahas masalah pemakaian huruf, penulisan kata, tanda baca, dan unsur-unsur serapan. Mereka terdiri dari sastrawan dan para pakar bahasa Jawa dari kalangan perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta sendiri. Juga wakil-wakil pengasuh majalah dan koran berbahasa Jawa, seperti Jaka Lodang, Mekar Sari, Penyebar Semangat, dan Djajabaja. Yang seru ketika membahas penulisan. Selama ini, bunyi lafal dengan penulisan banyak yang tidak sama. Misalnya bunyi darma ditulis dengan dharma. Menurut Syamsul Arifin, utusan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, nama orang, nama badan, dan nama-nama tempat perlu disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Padahal, dalam PLEBJYD penulisan nama orang dan badan hukum disesuaikan dengan ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan. Bunyi darma tetap ditulis dharma. Sedang nama tempat sudah disesuaikan dengan EYD. Budayawan Karkono Kamadjaja melontarkan perkara pemakaian tanda-tanda diakritik. Ia usul agar ada tanda untuk membedakan bunyi e pada kata centhini dan centong, misalnya. "Huruf e itu kalau tidak diberi tanda akan menyulitkan," dalih Karkono. Dalam PLEBJYD bunyi keduanya tidak dibedakan dengan tanda diakritik. Usul Karkono ini, menurut Sudaryanto, masih akan digodok lagi. Sebabnya, mungkin ada yang keberatan melakukannya. Koran dan majalah, misalnya. Bila diharuskan memakai tanda-tanda diakritik, itu tentu akan menyulitkan pihak percetakan. Tetapi sarasehan sepakat merevisi PLEBJYD, terutama yang menyangkut prinsip-prinsip penulisan ejaan. "Kami, yang diberi amanat oleh peserta sarasehan, akan segera bekerja untuk memperbaiki naskah itu sebelum dikirim ke menteri," ujar Sudaryanto. Slamet Subagio dan PBS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini