Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Supaya dosen yunior tidak ngeri

Seminar apresiasi disertasi sastra Jawa di kampus UI, Depok, upaya menggugah dosen-dosen muda untuk meneliti. Dalam waktu 40 tahun jurusan sastra jawa UI menghasilkan 2 doktor. 7 disertasi dibahas.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH terobosan dalam kaitan menggalakkan sastra Jawa. Juga sebuah pengakuan bahwa karya ilmiah mengenai sastra Jawa yang dihasilkan ahli-ahli Indonesia belum bergaung. Itulah yang muncul dari Seminar Apresiasi Disertasi Sastra Jawa di Kampus UI, Depok, yang berakhir pekan lalu. Seminar yang baru pertama kali ada ini, menurut Dr. Edi Sedyawati, Ketua Jurusan Sastra Jawa FS-UI, juga sebuah upaya untuk memperkenalkan disertasi tentang sastra Jawa yang masih kurang itu. "Dengan membicarakannya melalui forum terbuka semacam ini, disertasi-disertasi itu diharapkan dapat tersebar lebih luas," ujar Edi Sedyawati. Ada tujuh disertasi yang dibahas -- dari 28 Februari sampai 1 Maret 1990 lalu. Yakni disertasi Dr. Darusuprapto tentang Babad Blambangan, Dr. Partini S. (Kakawin Gajah Mada), Dr. Sapardi Djoko Damono (Novel Jawa Tahun 1950-an), Dr. Ign. Kuntara W. (Arjunawiwaha), Dr. Suwito (Berbahasa dalam Situasi Diglosik), Dr. Suripan Sadi Hutomo (Cerita Kentrung Sarah Wulan di Tuban) dan disertasi Dr. A. Sadewo (Serat Panitisastra). Disertasi ini dibahas 14 sarjana sastra Jawa UI, umumnya dosen-dosen muda. "Agar mereka mengerti bahwa membuat disertasi bukanlah sesuatu yang menggapai-gapai di awan. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk mereka yang masih muda-muda," ujar Budya Pradipta, mantan Ketua Jurusan Sastra Jawa UI yang menjadi panitia penyelenggara seminar. Di kalangan sarjana sastra Jawa, memang ada semacam kengerian untuk mengadakan penelitian guna penulisan disertasi. "Jumlah doktor sastra Jawa yang diraih sarjana kita cuma sekitar 20 orang," ujar Singgih Wibisono, yang dalam seminar itu membahas disertasi Suwito. Di UI sendiri, menurut Singgih, baru ada 2 peraih gelar itu, yakni Haryati Soebadio dan Sapardi Djoko Damono. Sapardi bahkan bukan dosen dan mantan mahasiswa sastra Jawa. Ia dosen tetap Jurusan Sastra Indonesia UI dan lulusan Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM. Dengan begitu, sastra Jawa UI baru menghasilkan satu doktor. Padahal, jurusan ini sudah ada sejak UI didirikan pada 1950. Tragisnya lagi, buku pegangan yang dijadikan referensi masih berasal dari ahli-ahli Barat. Buku Kalangwan tulisan Zoetmoelder, dan buku-buku J.J. Rass, misalnya, tetap tidak bisa dipisahkan dari kegiatan akademis mahasiswa jurusan sastra Jawa di Indonesia. Singgih maupun Budya tidak memungkiri, saat ini mahasiswa sastra Jawa di Indonesia terpaksa belajar kepada orang asing. "Sulit menemukan karya ilmiah yang berbobot dari ahli kita sendiri," ujar Singgih. Satu-satunya yang punya nama besar adalah Prof. Dr. Poerbatjaraka. Tetapi tokoh ini telah meninggal beberapa tahun lampau. "Beliau seolah-olah telah menjadi mitos di kalangan sarjana sastra Jawa," ujar Budya Pradipta. Setelah Poerbatjaraka meninggal, tak ada lagi sarjana Indonesia mampu menyamai kualitasnya. Salah satu penyebabnya, menurut Budya, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Budya menuduh juga kondisi penelitian yang tidak mendukung. Misalnya, soal dana dan waktu. "Tahun 1981 untuk mengetik transkrip naskah saja sudah menelan Rp 36 juta rupiah. Itu belum penulisan. Dari mana kami memperoleh dana sebesar itu sekarang?" ujarnya. Sementara anggaran penelitian yang disediakan, menurut Budya, "tidak bisa membuat kami berbuat banyak." Akibatnya, frekuensi penelitian di Sastra Jawa UI bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Belum lama ini Jurusan Sastra Jawa FS-UI mengadakan penelitian mengenai Sastra Jawa Abad XVIII. Itu pun hasilnya belum dipublikasikan. Nah, diharapkan dengan penyelenggaraan seminar ini dosen-dosen muda itu tergerak untuk membikin penelitian. "Entah dari mana biayanya," kata Budya. Perkara mutu, "saya yakin sarjana-sarjana kita mampu," tambah Singgih Wibisono. Selain tujuan itu, yang penting dicatat dalam seminar apresiasi disertasi ini adalah usaha dosen-dosen senior seperti Budya dan Singgih untuk mengajak yuniornya mengasah potensi ilmiah mereka. Hanya saja, kemudian Singgih menyadari bahwa seminar ini tak lebih dari sekadar "memaparkan secara ringkas, padat, dan jelas tanpa mengurangi intisarinya" dari disertasi yang dibahas. Misalnya mengenai metode penelitian, kupasan masalah, sampai kesimpulan. Usaha menilai bobot ilmiah tiap-tiap disertasi memang dilakukan. Tetapi porsinya tidak menonjol. Sebagai contoh makalah Darmoko, yang membahas disertasi Suripan Sadi Hutomo (Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban). Dosen muda lulusan Sastra Jawa UI 1988 ini meninjau aspek seni cerita kentrung yang dibicarakan dalam disertasi Suripan. Cara meringkasnya amat sederhana. Memang, memaparkan secara ringkas, padat, dan jelas tanpa mengurangi intisari sebuah disertasi bukanlah perkara enteng. "Kami sering mengalami kesulitan dalam merumuskannya dengan kalimat sendiri," ujar Singgih Wibisono. Kalau memaparkan yang sudah ada saja sulit, bagaimana mereka dapat membuat karya penelitian yang bermutu dan mampu menyaingi sarjana-sarjana Barat? Tapi Budya menjawab, "Kalau biayanya ada, akan kami buktikan." Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus