Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ayah Pulang, Seru Si Anak. Tapi ...

Diantara para keluarga yang bergembira dalam menyambut pembebesan 800 tahanan g30s/pki di tanjung kasau, sum ut, terdapat pula keluarga yang kecewa, karena suaminya belum dibebaskan. (nas)

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara yang bergembira di Tanjung Kasau di hari pembebasan 800 tahanan itu, adayang menangis. Ia seorang wanita yang menggendong dua anak yang berumur 4 dan 5 tahun. Suaminya tak dibebaskn hari itu. Siapa dia sebenarnya. Tak tahukah ia hari itu bahwa suaminya belum bebas? Wartawan TEMPO Amran Nasution yang mengikuti wanita ini sampai ke rumahnya berhasil mendapatkah cerita ini: ANAK berumur 4 tahun itu berteriak: "Ayah bebas, mak . . . ayah bebas." Suara si bocah membuat ibunya tambah mengucurkan airmata. "Mari kita pulang," ajaknya. Kedua anaknya tak mau. Mereka yakin ayahnya hari itu bebas. Tapi akhirnya si ibu rhasil membawa kedua anaknya menjauh dari tempat upacara pembebasan itu. Ia memintas kebon rambung. Nampaknya berusaha menjauhi ratusan bekas tahanan yang baru bebas dan penuh kegembiraan. Di rumahnya, tempat dia mondok, 300 m dari tempat tahanan, wanita berkulit langsat 36 tahun itu - namanya Lila Boru Rangkuti - berkata: "Saya sial, dik. Suami saya belum bebas hari ini." 1962, Lila masib murid SMA Negeri III Medan. Ia sudah punya pacar, tapi suatu hari ia bertemu dengan seorang pemuda pekerja di perkebunan tempat ayah Lila berdinas. Mereka berkenalan. Si pemuda, Bahren Lubis, mengajaknya menikah sebulan kemudian. Orangtua Lila tak setuju. Tapi mereka nekad, kawin lari. Mereka ke Cubadak, Sumatera Barat, kampung tempat tinggal orangtua Bahren. Di situ mereka tinggal, berbahagia, dengan satu anak: Sofyan Effendy. Tapi hidup terus di rumah mertua bagi Lila tak selamanya mengenakkan. Apalagi Bahren selama itu tak punya kerja tetap. Maka mereka memutuskan kembali ke Sumatera Utara. 1963, Bahren dapat pekerjaan di perkebunan Bangun Bandar milik PT Scofindo di Dolok Masinul (Kabupaten Deli Serdang). Mereka berbahagia. Anak datang berturut-turut - maklum, tanpa KB -sebanyak empat lagi. Datanglah Oktober 1973. Lila sedang hamil dua bulan. Suatu sore datang petugas dari Komando Resimen Dataran Tinggi, Banren ditangkap. "Sungguh, dik, saya tak mengerti soalnya," kata Lila. Baru setelah dia mengunjungi Bahren di Wisma Korem tempat suaminya ditahan. Lila tahu: Bahren dikenai tuduhan terlibat G-30-S/PKI. Nasib bertambah berat. Tujuh bulan setelah Bahren ditangkap. datang perintah dari perkebunan: agar Lila dan anak-anaknya mengosongkan rumah dinas yang mereka tempati. Ia masih hamil berat. Untung ada pesangon juga dari perusahaan: Rp 70.000. Lalu Lila dan anak-anaknya mondok ke rumah mertuanya yang telah pindah pula ke Lubuk Pakam, Deli Serdang. Ketika bayinya, yang lahir di rumah mertua setelah sang suami ditahan, berumur 35 hari, Lila mengunjungi suaminya di tahanan Suka Mulia, Medan. Di sana banyak tahanan yang senasib dengan suaminya bekerja membuat ukiran dari kayu. Isteri mereka menjualkan barang hasil pekerjaan tangan itu ke luar. Timbullah niat Lila untuk bekerja seperti itu. Ketika itu suaminya telah ke Inrehab Tanjung Kasau. "Sambil menggendong bayi saya bawa dagangan ke mana-mana," tutur Lila. Tak cukup di kota-kota sekitar seperti Tebing Tinggi tau Kisaran, tapi bahkan sampai ke Pangkalan Brandan. Menurut dia, rata-rata penghasilan kotornya Rp 15.000 sebulan. "Untuk hidup sederhana dengan anak-anak cukup juga," kata Lila. Tapi kiranya sial belum habis. Ketika Lila pergi membawa dagangan tahun 1976, anaknya Liza Fahmi, mati hanyut. Walaupun suaminya tak menimpakan kesalahan itu pada dirinya, "pikiran saya tak menentu jadinya." Anak-anaknya diserahkannya kepada suaminya, di tahanan Tanjung Kasau. Dan dia pun bepergian ke mana saja pembawa kaki. Lila pindah dari rumah teman yang satu ke rumah yang lain. Mereka sesama isteri tahanan. Bahkan dia sampai ke Jambi. Untunglah, berapa bulan kemudian hati Lila kembali mantap. Awal 1977 dia kembali menemui Bahren dan mengambil anak-anaknya. Lila tak dapat hidup tanpa mereka. Atas persetujuan suami, Lila mengkontrak sebuah rumah di kampung di dekat Inrehab. Maksudnya agar mereka bisa menjaga anak bersama-sama. Sementara Lila pergi membawa dagangan, anak-anaknya dijaga oleh sang ayah yang berada di tahanan di dalam kompleks. Sebuah rumah gubuk di tepi jalan aspal dikontrak Rp 10.000 setahun. "Saya lewati derita ini tanpa bantuan famili yang berarti," ujarnya dengan sedih. Famili pada menjauh dari perempuan itu. "Untuk saya titipi barang dagangan saja pakcik saya menolak. Mereka ketakutan," cerita Lila. Begitu pun, Lila masih bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tapi sejak setahun akhir ini, jualan sangat seret. Itu dimulai ketika inang-inang yang tinggal di dekat kompleks mengalihkan mata untuk berdagang barang ukiran hasil kerjaan tangan para tahanan. Mereka lebih gigih, dan juga punya modal. Akibatnya wanita para isteri tahanan mulai merasa tersaingi. Jualan Lila tambah mundur. Dan sejak dua bulan yang lalu, Lila menghentikan usahanya. Untung, bekerja membuat ukiran kayu Bahren Lubis bisa berpenghasilan sekitar Rp 300 per hari. Sebagai penambah biaya hidup, Lila turut bekerja di Inrehab membantu suami. Kabar gembira memang telah terbisik, sejak Kaskopkamtib Sudomo meninjau Inrehab beberapa waktu yang lalu: suami mereka bakal dibebaskan. "Saya sampai nggak bisa makan karena kabar gembira itu," tutur Lila. Tapi ternyata 15 Desember, Lila dapat kabar bahwa suaminya tak termasuk di antara 886 orang tahanan yang akan dibebaskan. "Inilah kepedihan yang paling parah yang saya rasakan," tuturnya. Selama 3 malam, sejak 17 Desember 1977 di kompleks itu ada ludruk, film danband. Tapi Lila terus-menerus menangis. Dan 20 Desember 1977, ketika para tahanan dllepas, di situlah puncak kesedihan perempuan ini. "Saya sekarang bingung nggak tahu mau usaha apa. Begitu Juga suami saya. Habis dia berpisah dengan teman-teman baik yang telah bertahun-tahun bersama," katanya terbata-bata. Dan ketika disarankan agar ia bersabar karena suaminya toh bakal pulang juga nantinya, tangis perempuan ini pun tak terhendung lagi. "Mamak kok nangis, ayah 'kan hari ini pulang," tegur Anda, anaknya terbungsu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus