Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara yang bergembira di Tanjung Kasau di hari pembebasan
800 tahanan itu, adayang menangis. Ia seorang wanita yang
menggendong dua anak yang berumur 4 dan 5 tahun. Suaminya tak
dibebaskn hari itu. Siapa dia sebenarnya. Tak tahukah ia hari
itu bahwa suaminya belum bebas?
Wartawan TEMPO Amran Nasution yang mengikuti wanita ini
sampai ke rumahnya berhasil mendapatkah cerita ini:
ANAK berumur 4 tahun itu berteriak: "Ayah bebas, mak . . . ayah
bebas." Suara si bocah membuat ibunya tambah mengucurkan
airmata. "Mari kita pulang," ajaknya. Kedua anaknya tak mau.
Mereka yakin ayahnya hari itu bebas. Tapi akhirnya si ibu
rhasil membawa kedua anaknya menjauh dari tempat upacara
pembebasan itu. Ia memintas kebon rambung. Nampaknya berusaha
menjauhi ratusan bekas tahanan yang baru bebas dan penuh
kegembiraan.
Di rumahnya, tempat dia mondok, 300 m dari tempat tahanan,
wanita berkulit langsat 36 tahun itu - namanya Lila Boru
Rangkuti - berkata: "Saya sial, dik. Suami saya belum bebas hari
ini."
1962, Lila masib murid SMA Negeri III Medan. Ia sudah punya
pacar, tapi suatu hari ia bertemu dengan seorang pemuda
pekerja di perkebunan tempat ayah Lila berdinas. Mereka
berkenalan. Si pemuda, Bahren Lubis, mengajaknya menikah sebulan
kemudian. Orangtua Lila tak setuju. Tapi mereka nekad, kawin
lari. Mereka ke Cubadak, Sumatera Barat, kampung tempat tinggal
orangtua Bahren. Di situ mereka tinggal, berbahagia, dengan satu
anak: Sofyan Effendy.
Tapi hidup terus di rumah mertua bagi Lila tak selamanya
mengenakkan. Apalagi Bahren selama itu tak punya kerja tetap.
Maka mereka memutuskan kembali ke Sumatera Utara. 1963, Bahren
dapat pekerjaan di perkebunan Bangun Bandar milik PT Scofindo di
Dolok Masinul (Kabupaten Deli Serdang). Mereka berbahagia. Anak
datang berturut-turut - maklum, tanpa KB -sebanyak empat lagi.
Datanglah Oktober 1973. Lila sedang hamil dua bulan. Suatu sore
datang petugas dari Komando Resimen Dataran Tinggi, Banren
ditangkap. "Sungguh, dik, saya tak mengerti soalnya," kata Lila.
Baru setelah dia mengunjungi Bahren di Wisma Korem tempat
suaminya ditahan. Lila tahu: Bahren dikenai tuduhan terlibat
G-30-S/PKI.
Nasib bertambah berat. Tujuh bulan setelah Bahren ditangkap.
datang perintah dari perkebunan: agar Lila dan anak-anaknya
mengosongkan rumah dinas yang mereka tempati. Ia masih hamil
berat. Untung ada pesangon juga dari perusahaan: Rp 70.000. Lalu
Lila dan anak-anaknya mondok ke rumah mertuanya yang telah
pindah pula ke Lubuk Pakam, Deli Serdang.
Ketika bayinya, yang lahir di rumah mertua setelah sang suami
ditahan, berumur 35 hari, Lila mengunjungi suaminya di tahanan
Suka Mulia, Medan. Di sana banyak tahanan yang senasib dengan
suaminya bekerja membuat ukiran dari kayu. Isteri mereka
menjualkan barang hasil pekerjaan tangan itu ke luar. Timbullah
niat Lila untuk bekerja seperti itu. Ketika itu suaminya telah
ke Inrehab Tanjung Kasau. "Sambil menggendong bayi saya bawa
dagangan ke mana-mana," tutur Lila. Tak cukup di kota-kota
sekitar seperti Tebing Tinggi tau Kisaran, tapi bahkan sampai
ke Pangkalan Brandan.
Menurut dia, rata-rata penghasilan kotornya Rp 15.000 sebulan.
"Untuk hidup sederhana dengan anak-anak cukup juga," kata Lila.
Tapi kiranya sial belum habis. Ketika Lila pergi membawa
dagangan tahun 1976, anaknya Liza Fahmi, mati hanyut.
Walaupun suaminya tak menimpakan kesalahan itu pada dirinya,
"pikiran saya tak menentu jadinya." Anak-anaknya diserahkannya
kepada suaminya, di tahanan Tanjung Kasau. Dan dia pun bepergian
ke mana saja pembawa kaki. Lila pindah dari rumah teman yang
satu ke rumah yang lain. Mereka sesama isteri tahanan. Bahkan
dia sampai ke Jambi. Untunglah, berapa bulan kemudian hati Lila
kembali mantap. Awal 1977 dia kembali menemui Bahren dan
mengambil anak-anaknya. Lila tak dapat hidup tanpa mereka.
Atas persetujuan suami, Lila mengkontrak sebuah rumah di kampung
di dekat Inrehab. Maksudnya agar mereka bisa menjaga anak
bersama-sama. Sementara Lila pergi membawa dagangan,
anak-anaknya dijaga oleh sang ayah yang berada di tahanan di
dalam kompleks. Sebuah rumah gubuk di tepi jalan aspal dikontrak
Rp 10.000 setahun.
"Saya lewati derita ini tanpa bantuan famili yang berarti,"
ujarnya dengan sedih. Famili pada menjauh dari perempuan itu.
"Untuk saya titipi barang dagangan saja pakcik saya menolak.
Mereka ketakutan," cerita Lila.
Begitu pun, Lila masih bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Tapi sejak setahun akhir ini, jualan sangat seret. Itu dimulai
ketika inang-inang yang tinggal di dekat kompleks mengalihkan
mata untuk berdagang barang ukiran hasil kerjaan tangan para
tahanan. Mereka lebih gigih, dan juga punya modal. Akibatnya
wanita para isteri tahanan mulai merasa tersaingi.
Jualan Lila tambah mundur. Dan sejak dua bulan yang lalu, Lila
menghentikan usahanya. Untung, bekerja membuat ukiran kayu
Bahren Lubis bisa berpenghasilan sekitar Rp 300 per hari.
Sebagai penambah biaya hidup, Lila turut bekerja di Inrehab
membantu suami.
Kabar gembira memang telah terbisik, sejak Kaskopkamtib Sudomo
meninjau Inrehab beberapa waktu yang lalu: suami mereka bakal
dibebaskan. "Saya sampai nggak bisa makan karena kabar gembira
itu," tutur Lila. Tapi ternyata 15 Desember, Lila dapat kabar
bahwa suaminya tak termasuk di antara 886 orang tahanan yang
akan dibebaskan.
"Inilah kepedihan yang paling parah yang saya rasakan,"
tuturnya. Selama 3 malam, sejak 17 Desember 1977 di kompleks itu
ada ludruk, film danband. Tapi Lila terus-menerus menangis. Dan
20 Desember 1977, ketika para tahanan dllepas, di situlah puncak
kesedihan perempuan ini.
"Saya sekarang bingung nggak tahu mau usaha apa. Begitu Juga
suami saya. Habis dia berpisah dengan teman-teman baik yang
telah bertahun-tahun bersama," katanya terbata-bata. Dan ketika
disarankan agar ia bersabar karena suaminya toh bakal pulang
juga nantinya, tangis perempuan ini pun tak terhendung lagi.
"Mamak kok nangis, ayah 'kan hari ini pulang," tegur Anda,
anaknya terbungsu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo