Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aksi Gejayan Memanggil, Ketua BEM UGM: Kemarahan Rakyat karena Demokrasi untuk Oligarki

Tanggapan Ketua BEM UGM terhadap aksi Gejayan Memanggil bersama masyarakat ajak nyalakan alarm untuk demokrasi.

13 Februari 2024 | 20.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Gejayan Memanggil digelar sejumlah elemen masyarakat di pertigaan Gejayan, Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada Senin 12 Februari 2024. Dalam aksi itu mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan berbagai kritik disertai teatrikal simbolis mengutuk rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu elemen massa aksi yang berasal dari Jaringan Penggugat Demokrasi atau Jagad misalnya, menyerukan 11 tuntutan. Mereka juga sembari melakukan teatrikal dengan menghukum pancung sosok bertopeng 'Jokowi' ke dalam lubang replika guillotine atau alat pancung di atas mobil komando.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi itu dilakukan mereka sebagai simbol penghukuman bagi Jokowi dan para kroninya yang gagal menjalankan fungsi sebagai penyelenggara negara, terutama dalam menegakkan demokrasi dan menyejahterakan rakyat.

Aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta, Senin, 12 Januari 2024. Foto: Michelle Gabriela Momole/TEMPO

Aksi Gejayan Memanggil  telah melakukan konsolidasi sebanyak tiga kali sebelum akhirnya menggelar aksi di pertigaan Gejayan. Menurut Nugroho Prasetyo Aditama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa atau Ketua BEM UGM 2024, aksi ini dipantik oleh pemerintah yang mulai ngawur dalam menggunakan kekuasaan. “Demokrasi mulai dimonopolisasi. Jadi bukan demokrasi untuk rakyat lagi, tetapi demokrasi untuk oligarki,” ujar Nugroho, kepada Tempo.co, pada Selasa, 13 Februari 2024. 

Selain itu, menurut Nugroho kondisi demokrasi hari ini sudah sangat memprihatinkan. Sebab, katanya, pemerintah telah melangkahi konstitusi dan melanggar etika, tetapi dibalut dengan kemasan yang seolah-olah legal. “Aksi ini jadi keresahan kita untuk bersama-sama menyalakan alarm demokrasi,” ucap mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu. 

Sebelum akhirnya berkumpul di pertigaan Gejayan, massa aksi Gejayan Memanggil melakukan long march dari Bundaran UGM. Aksi ini juga turun melibatkan akademisi dan dosen. Bagi Nugroho, aksi ini menjadi titik temu dari berbagai elemen masyarakat yang ingin menyuarakan keresahan mereka.

“Atas keprihatinannya masing-masing, kemarahannya masing-masing terhadap situasi bangsa dan negara yang kami nilai tidak baik-baik saja. Lagi-lagi penguasa menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan apa yang mereka inginkan dengan mengesampingkan kepentingan rakyat,” ujar Nugroho. 

Aksi Gejayan Memanggil ini sengaja digelar pada masa tenang Pemilu 2024. Alasannya, menurut Nugroho, sejauh ini pemerintahan tidak menanggapi secara serius kritik yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat. Sebelumnya, berbagai perguruan tinggi, akademisi, dan guru besar juga telah menyuarakan keprihatinannya terhadap rezim hari ini. 

“Kami merasa justru ini momentum yang tepat. Masa tenang, kami buat tidak tenang dengan tujuan pemerintah bisa memberikan atensinya pada gerakan hari ini. Kami juga berharap pemerintah bisa menangkap substansi dari gerakan ini,” ujarnya. 

Nugroho juga menanggapi terkait tudingan yang santer disuarakan bahwa aksi Gejayan Memanggil ditunggangi oleh kepentingan salah satu kontestan Pilpres 2024. Bagi Nugroho, dalam aksi ini mereka tidak hanya mengkritisi salah satu paslon tertentu. “Sebetulnya semua paslon kita kritisi. Ini bukti kecintaan kita kepada bangsa dan negara,” katanya. 

Sebagai informasi, dalam aksi Gejayan Memanggil ini ada 11 tuntutan yang diserukan Jagad. Pertama, Revisi UU Pemilu dan partai pemilu oleh badan independen. Kedua, mengadili Jokowi dan kroni-kroninya. Ketiga menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti. Keempat, stop politisi bantuan sosial. Kelima, cabut UU Cipta Kerja dan Minerba. Keenam, hentikan operasi militer, tuntaskan pelanggaran HAM dan memberikan hak menentukan nasib sendiri.

Ketujuh yaitu hentikan perampasan tanah dan kedelapan Hentikan kriminalisasi aktivis lingkungan. Selanjutnya kesembilan, jalankan pengadilan HAM, ke-10 wujudkan pendidikan gratis  dan ke-11 sahkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus