Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi demonstrasi menolak rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen per Januari 2025 pada Senin, 30 Desember 2024. Dengan berjalan kaki, massa bergerak dari parkiran Abu Bakar Ali melewati Jalan Malioboro hingga ke titik nol kilometer, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenaikan pajak ini menyasar seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu miskin ataupun kaya bahkan super kaya. Kenaikan tarif PPN akan diikuti oleh kenaikan harga barang-barang yang selama ini dikonsumsi harian oleh masyarakat,” kata Juru bicara Aksi Aliansi Jogja Memanggil, Karma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pihaknya menyayangkan rencana kebijakan itu. Padahal penerapan PPN 5 persen secara hukum perundang-undangan sangat memungkinkan untuk dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 Ayat 3 Bab 4 IV, bahwa, tarif PPN berada di kisaran 5-15 persen.
“Peraturan ini dapat diterapkan melalui Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) jika Presiden Prabowo Subianto lebih memihak pada rakyat menengah ke bawah,” kata dia.
Aksi Jogja Memanggil ini mengingatkan pada aksi Gejayan Memanggil yang digelar menjelang Pilpres 2024 lalu. Kala itu, sejumlah elemen masyarakat menggelar unjuk rasa bertajuk Gerakan Gejayan Memanggil di pertigaan Gejayan, Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada Senin 12 Februari 2024. Mereka berangkat dari Bundaran UGM dengan long march ke pertigaan Gejayan yang jaraknya sekitar tiga kilometer.
Massa aksi yang sebagian besar mahasiswa memakai jaket almamater itu bergerak membawa sejumlah spanduk hingga poster berisi kritikan terhadap pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi. Dalam aksi itu, mereka menguliti dosa atau rekam jejak hitam rezim Jokowi dan tiga pasangan kandidat yang bertarung pada Pilpres 2024.
“Hari ini para elite oligarki menggaungkan bahwa kita sedang berada dalam pesta demokrasi dan kontestasi pemilu, mereka mulai menebar berbagai janji untuk mengait hati dan mendapatkan suara rakyat,” kata Juru Bicara Jaringan Gugat Demokrasi (Jagad), Sana Ulaili, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak, Gejayan Memanggil, hingga Forum Cik Ditiro itu.
Jagad pun mempertanyakan apakah demokrasi yang dicita-citakan rakyat adalah demokrasi borjuis seperti hari ini. Sebab, menurutnya, hanya partai politik dari kaum pemodal yang kaya raya lah yang bisa maju dalam pemilu, sehingga mempersulit bagi partai-partai alternatif dari rakyat kecil untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu.
“Kita dipaksa memilih pada pilihan yang sudah ditentukan oleh lingkaran oligarki itu sendiri, dan bahkan pilihan yang tersedia tidak layak untuk dipilih,” kata dia.
Kala itu, Jagad mengajak publik kembali melihat kualitas para pasangan capres-cawapres dan partai-partai pengusungnya. Dimulai dari capres nomor urut 01 Anies Baswedan, kata dia, yang pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017 silam terindikasi memainkan politik identitas dan rasisme untuk bisa menang.
“Partai pengusungnya (Anies) yaitu PKS, yang jelas-jelas konservatif dan menolak pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual),” kata dia.
Selanjutnya, capres nomor urut 02, Prabowo Subiyanto. Menurutnya merupakan pelaku penculikan para aktivis yang belum diadili sampai sekarang. Demikian juga Cawapres pendamping Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi anak haram konstitusi, serta partai pengusungnya yang merupakan kroni-kroni sisa rezim militer orde baru.
Begitu pun dengan capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo yang disebutnya merupakan sosok pemimpin yang merusak lingkungan. Partai pengusungnya Ganjar, kata dia adalah salah satu partai yang mengusulkan dan mengesahkan UU Omnibuslaw dan UU Minerba, yang telah merampas hak buruh dan tani serta merampas ruang hidup dan menghancurkan lingkungan.
Aksi bertajuk Gejayan Memanggil sebenarnya bukan kali pertama digelar pada 2024 kemarin. Pada September 2019, aksi serupa juga dilaksanakan untuk memperingati 20 tahun Peristiwa Gejayan dan Peristiwa Semanggi. Mereka mendesak pemerintah membatalkan revisi UU KPK, menunda pengesahan RKUHP, segera mengesahkan RUU PKS dan tuntutan lainnya.
Pada 2020, aksi Gejayan Memanggil juga kembali bergelora di Yogyakarta. Kali itu, aksi yang digelar oleh kelompok yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak tersebut menyuarakan penolakan terhadap Undang-undang atau UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020.
“Eskalasi aksi meningkat dari Gejayan Memanggil menjadi Jogja Memanggil,” kata salah satu peserta aksi, Ardy Syihab kepada Tempo, Rabu malam, 7 Oktober 2020.
Aksi Gejayan Memanggil juga digelar pada 2021. Namun kali itu aksi protes bukan dilakukan dengan turun ke jalan. Aksi ditaja dengan membuat mural kritikan kepada penguasa di tembok-tembok pinggir jalan. Kegiatan itu dilakukan sebagai bentuk protes lantaran kepolisian gemar menghapus mural bernada kritik terhadap pemerintah.
Namun, kepolisian mengecat ulang tembok-tembok yang menjadi kanvas karya seni jalanan itu serta mencari para seniman pembuatnya pada Juli hingga Agustus. Merespons fenomena ini, akun media sosial Gejayan Memanggil pun mengumumkan ‘Lomba Mural Dibungkam’. Karya yang dihapus aparat akan mendapat penilaian lebih dalam sayembara ini.
“Perlombaan ini respons terhadap situasi makin reaktifnya aparat saat ini,” kata Humas Gejayan Memanggil yang meminta disebut sebagai Mimin Muralis, kepada Tempo pada Rabu malam, 25 Agustus 2021.
Mimin Muralis mengatakan, lomba menjadi ruang bagi masyarakat yang cemas dan marah dengan kebijakan pemerintah, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19 kala itu. Masyarakat, kata dia, berhak menyatakan ekspresi mereka atas persoalan yang dihadapi di tengah pagebluk.
Mimin menyebut aparat tak semestinya bertindak sewenang-wenang menyikapi mural yang mengkritik pemerintah. Ia merujuk pada tindakan polisi memburu pembuat mural, seperti yang terjadi terhadap pembuat mural Jokowi ‘404: Not Found’ dan ‘Tuhan Aku Lapar’ di Tangerang, Banten. Aparat sempat memburu pembuat mural tersebut antaran dinilai memuat penghinaan terhadap lambang negara.
Sejarah Aksi Gejayan Memanggil
Merentang sejak era Presiden ke-2 RI Soeharto, tradisi unjuk rasa di bilangan Gejayan, Yogyakarta bermula pada 8 Mei 1998. Kala itu, lokasi tersebut menjadi tempat demonstrasi mahasiswa menuntut segera dilakukan reformasi. Namun, unjuk rasa ini jadi kenangan kelam lantaran berakhir bentrok dengan aparat. Ratusan orang luka dan Moses Gatutkaca meninggal dalam tragedi itu.
Peristiwa Gejayan sendiri dilatarbelakangi oleh krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia pada 1997. Dilansir dari Uny.ac.id, krisis tak kunjung surut dan justru semakin memuncak pada awal 1998. Mahasiswa pun mulai merapatkan dan merapikan barisan. Mereka membulatkan niat untuk menyelamatkan bangsa dengan menuntut reformasi, termasuk mahasiswa di Yogyakarta.
Tapi aksi di Yogyakarta berakhir menjadi tragedi. Demonstrasi tertib yang digelar pada 8 Mei 1998 itu berubah bentrokan berdarah. Ratusan petugas keamanan membubarkan massa yang berkumpul di Pertigaan Gejalan secara paksa dengan melakukan penyerbuan. Massa pun melawan aparat dengan batu, petasan, dan bom molotov.
Kericuhan meluas membentang dari perempatan Jalan Padjajaran hingga perempatan Jalan Adi Sutjipto dan Jalan Urip Sumoharjo. Tempat ini pun menjadi ajang pertarungan. Tanpa rasa kemanusiaan, aparat main tubruk memukuli setiap orang yang ada di lokasi, termasuk pedagang kaki lima dan warga setempat.
Kekerasan aparat menyebabkan ratusan korban luka dan satu orang bernama Moses Gatutkaca meninggal dengan kondisi menyedihkan. Hampir sebagian besar korban aksi Peristiwa Gejayan ini ditolong oleh petugas PMI untuk dilarikan ke Rumah Sakit Panti Rapih dan beberapa titik posko PMI daerah sekitar.
Pribadi Wicaksono, Rachel Farahdiba Regar, Budiarti Utami Putri dan Egi Adyatama berkontribusi dalam penulisan artikel ini.