Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ali Topan nabi jalanan

Kejaksaan tinggi ja-bar melarang satu aliran islam baru. pengajarnya teguh esha, 40, dan pengikutnya baru puluhan orang. ia mewajibkan bai'at kepada pengikut baru dan mengubah cara salat. (ag)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMASYHURAN dan kepekaan seniman. Siapa pernah menghubungkan kedua hal itu dengan lahirnya sebuah aliran agama? Ketika pihak berwenang melarang "ajaran Islam baru" tokoh muda Teguh Esha, November kemarin, sebagian orang teringat kepopuleran yang pernah diraih Teguh sebagai pengarang. Baru beberapa tahun yang lalu tokoh imajiner yang bernama Ali Topan menjadi idola kalangan remaja kota -- dan itu berasal dari novel Teguh, Ali Topan Anak Jalanan. Tapi, setelah itu, seniman yang pernah menjadi wakil pemimpin redaksi majalah Sonata dan mendirikan serta memimpin majalah Lelaki itu seperti menghilang. Siapa sangka ia akan muncul sebagai pembangun "aliran" baru yang dinyatakan terlarang pula? Ceritanya bisa dimulai dari kejadian di bulan Oktober kemarin. Di Bandung, di bilangan Bypass Soekarno-Hatta, karyawan sebuah bengkel suatu pagi mencurigai dua orang muda yang tidur di emperan tempat kerja itu. Aneh: keduanya berpakaian rapi, jelas bukan gelandangan -- dan, karena itu, si karyawan lapor kepada petugas. Ketika ditanyai, mereka mengaku bernama Teguh Slamet Hidayat Adrai (tanpa KTP) dan Dede Arif Rachman. Nah. Beberapa waktu kemudian, terdengarlah berita pelarangan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat terhadap "ajaran Teguh" itu. Tapi kawan-kawan dekatnya, di Jakarta terutama, sebenarnya tak begitu heran. Salah seorang dari mereka sudah pernah menyatakan, kepada TEMPO, keprihatinannya terhadap perkembangan batin rekan yang "makin lama semakin aneh" itu. Majalah Zaman (almarhum) pernah pula memuat wawancaranya. Dan itu bukan hanya mendapat sanggahan kalangan Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia. Tapi juga menyebabkan novel bersambung Teguh di Panji Masyarakat, yang berjudul Ali Topan Santri Jalanan, dihentikan pemuatannya meskipun cerita itu "bagus, sama sekali tidak menyinggung ke arah sana," kata Ridwan Saidi, salah seorang redaktur. Zaman sendiri, sementara itu, mendapat peringatan keras dari Departemen Penerangan. Mengapa? Terpenting, karena Teguh menyatakan dirinya "diutus Allah Rabbul Alamin selaku pemberi peringatan". Alias rasul. Juga karena kata-katanya ini: "Insya Allah, akan saya serukan kepada manusia bahwa apa yang disebut hadis-hadis adalah dusta-dusta yang menyesatkan dari jalan lurus". Isi "ajaran" Teguh, seperti yang menjadi lebih jelas dari wawancara TEMPO dengan para pemuda yang pernah menjadi pengikutnya, memang bisa genting juga. ia, yang mewajibkan bai'at kepada pengikut baru pengakuan bahwa dirinya utusan Allah juga mengubah cara salat. Jumlah rakaat yang 17 digantinya dengan 19. Perincian: subuh (3.30-4.00!) empat rakaat. Dhuha empat rakaat. Wustha (9.15-10.00) tiga rakaat. "Salat siang" (11.30-12.00) empat rakaat. Isya (16.00-17.00!) empat rakaat. Ditambah tahajud, mulai pukul 19.00. Lain dari itu, salat model Teguh memakai bahasa Indonesia dan jurus-jurus silat dengan tangan, kaki, dan terkadang pantat, bergoyang-goyang. Bacaan syahadatnya cukup dengan "Tidak ada sesembahan selain Allah". Salat tidak bisa dilakukan di masjid, karena cara seperti itu "tidak ada dalam Quran". Begitu juga salat Idul fitri dan Idul Adha -- tak ada. Ada sedikit catatan. Menurut Nono Darsono, 28, yang pernah kuliah di Akademi Administrasi Negara (AAN) Bandung dan "murtad" dari Teguh bulan Agustus kemarin, sebenarnya ajaran Teguh berubah-ubah. Dalam hal salat, misalnya. Di samping gerakannya sering "diperbaiki", juga bacaannya: mula-mula pakai takbir, kemudian tidak. Juga tadinya menghadap ke barat, sekarang ke utara. Ia juga melarang jual-beli di hari Jumat -- tapi, suatu ketika, kedapatan membeli nasi di hari larangan itu. Lho ? Teguh menjawab, "Yah, Rasul belum kuat" . . . Begitu juga dalam hal larangan merokok dan memelihara kumis dan janggut. Tentang yang terakhir itu, alasan Teguh ketika kemudian memelihara rambut di wajah -- adalah "supaya tidak mudah diketahui orang". Dan itu rupanya berhubungan dengan ajarannya untuk selalu ber-"hijrah": Tasikmalaya, Jakarta, Bogor, Purwakarta, misalnya. Dalam satu suratnya kepada seorang sahabatnya di TEMPO, Oktober lalu, ia bilang, "Kami hijrah fi sabilillah ke Jawa Barat karena di Jakarta orang-orang zionis terus memburu kami." Memang, ia pernah ditahan sehari oleh (bukan zionis, tapi) Kodim Jakarta Pusat, Mei yang lalu. Dengan cara hidupnya yang baru itu, tentu saja anak-istrinya telantar. Istri yang sudah bekerja disuruhnya berhenti. Rumahnya yang bagus di Kebayoran Baru, Jakarta, dikembalikannya kepada penjualnya -- tanpa mau menerima uangnya, konon semata-mata karena diketahuinya rumah itu berdiri di tanah bekas makam. Lalu ia bercerai dari istrinya. Lalu ketahuan menjual madu dari Madura. Lalu menghilang. Bukan ia sendiri yang menghilang. Sebuah sumber bernama HR menyatakan kepada TEMPO, istrinya dan ketiga anaknya -- yang mengikuti ajaran Teguh, dan gagal mendakwahi dirinya -- juga raib. Besarkah pengikut seniman kelahiran Banyuwangi yang tak paham bahasa Arab ini, dan yang ke mana-mana selalu membawa Al Quran dan Terjemahnya Departemen Agama? "Tidak. Baru puluhan orang, belum ratusan", jawab M. Amier, Sekretaris Pakem Kejati Ja-Bar. Tidak terlalu serius, sebenarnya, kalau bukan karena kepopuleran si tokoh. Yakni faktor yang, barangkali saja, merupakan target hidup laki-laki 40 tahun ini. Setidak-tidaknya menurut seorang temannya di Jakarta, Teguh sebenarnya tertindih oleh semacam perasaan tertinggal (bukan iri) oleh beberapa kawannya yang sukses. Sesudah karyanya yang laris, Ali Topan itu, novel-novel popnya tak mencapai tingkat prestasi yang sama, sementara karyanya di bidang majalah tldak pula terhitung besar. Tidak sendirinya berarti ia kemudian ingin masyhur sebagai "nabi". Tapi bisa dipahami, agaknya, bila batinnya yang gelisah kemudian lebih intens melakukan semacam pencarian. Berbareng dengan rasa tertariknya kepada Quran, kepekaan kesenimanannya memang bisa mendorongnya ke "penemuan" yang musykil -- dalam umurnya yang muda, yang sebenarnya masih menyediakan begitu banyak waktu untuk belajar. Termasuk, barangkali, belajar menggeserkan target atau tujuan hidup -- ke arah yang "biasa saja", tetapi yang biasanya justru diyakini sebagai lebih murni ibadat. Apa sebenarnya, Guh, yang kaucari begitu jauh? Syubah Asa, Laporan Biro Bandung & Musthafa Helmy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus