BERITA penyelewengan uang negara tetap ada. Terakhir disebutkan selama tiga tahun, mulai Mei 1983 hingga September 1986, diketahui hampir Rp 70 milyar uang negara yang digerogoti. Hasil penelitian yang mengagetkan itu, di kala kondisi keuangan negara yang lagi sulit ini, terungkap pekan lalu ketika diadakan dengar pendapat antara Komisi APBN-DPR RI dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan & Pembangunan). Forum dengar pendapat di DPR pekan silam itu memang menunjukkan kenyataan pahit dalam hal korupsi oleh oknum-oknum pemerintah. Dalam kesempatan terpisah, Irjen Departemen Dalam Negeri S. Pamoedji menyebut angka Rp 3,9 milyar, yang terjadi tahun anggaran 1983/1984 hingga Oktober 1986, terdiri dari 198 kasus yang ditangani Itjen, dan 639 kasus diselesaikan oleh tim Opstibpus. Angka itu akhirnya membengkak menjadi Rp 8,287 milyar yang merupakan jumlah akumulatif dari tahun anggaran 1979/1980 hingga Oktober 1986, seperti yang disebutkan oleh Kahumas Depdagri Feisal Tamin akhir pekan lalu. Jumlah itu merupakan penyelewengan di 18 provinsi selama enam tahun. Baik dari keterangan Ketua BPKP Gandhi maupun Irjen Depdagri disebutkan bahwa pengembalian uang yang bocor itu relatif sangat sedikit. Dari 182 kasus korupsi yang ditangani BPKP senilai Rp 69,312 milyar, yang bisa dikembalikan ke kas negara baru Rp 8,3 milyar, atau sekitar 12 persen. Tapi perhitungan tadi belum mencakup nilai barang yang telah disita pengadilan. Sementara itu, Pamoedji membeberkan jumlah Rp 291 juta uang yang dapat diselamatkan. Itu berarti sekitar tujuh persen dari uang negara yang digelapkan Rp 3,9 milyar, seperti jumlah pertama yang disebut Pamoedji. Sulitnya mengembalikan uang negara yang sudah telanjur bocor diakui oleh Feisal Tamin. Untuk mengatasi kesulitan itu, Depdagri membentuk Majelis Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan Perbendaharaan, 1978. "Tugas mereka adalah meminta si pelaku mengembalikan uang yang diselewengkan," kata Feisal. Kasus-kasus yang dipaparkan Pamoedji bukan kejadian baru. Dari 18 provinsi yang terlibat, Jawa Barat menduduki peringkat pertama dalam hal besar uang penyelewengan. Meski ditemukan hanya dua kasus, dari kasus penggelapan karcis retribusi oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor, yang terkenal sebagai kasus Brongkos, pemerintah dirugikan Rp 2,286 milyar. Sedangkan peringkat kedua ditempati Maluku dengan rekor penyelewengan Rp 2,047 milyar. Di Sabang, meski jumlahnya tak mencapai bilangan milyar, kasus yang terjadi cukup menarik perhatian. Korupsi Rp 597 juta dari dana eks pajak negara itu melibat Wali Kota Sabang Jusuf Walad. Walad, Maret 1983, telah diputus hukuman 7 tahun penjara. Walad hingga kini merupakan pejabat dengan pangkat tertinggi yang dibuka kasusnya di pengadilan. Menurut Pamoedji dalam forum DPR itu, para pelaku penyelewengan tadi ada yang dikenal sanksi administratif dan ada pula yang pidana. "Tergantung berat ringannya penyelewengan," katanya. Sumber tindakan pemerintah adalah PP Nomor 30/1980 tentang disiplin pegawai negeri: Tetapi, menurut Pamoedji, semua penyeleweng tadi pada prinsipnya harus mengembalikan uang negara yang sudah digelapkan. Meski, misalnya, si pelaku sudah dihukum pengadilan. Pamoedji juga mengungkap pola-pola penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum itu. Misalnya di bidang pembangunan pola yang digunakan biasanya berupa pengurangan volume pekerjaan atau membuat harga yang tak sesuai dengan standar. Sedang di bidang keuangan, modus operandinya adalah pembuatan SPJ (Surat Perintah Jalan) dan pembayaran fiktif. Pola penyelewengan itu agaknya tak hanya berlaku di lingkungan Depdagri saja. Seperti pada pelaksanaan Proyek Latihan Depnaker. Anggaran proyek di bawah Kantor Wilayah Depnaker Sulawesi Utara itu masing-masing Rp 111 juta dan Rp 166 juta sudah dicairkan. Tetapi menurut pemeriksaan BPKP, dana yang Rp 145 juta tak bisa dipertanggungjawabkan, karena memang tak ada kegiatan yang dilakukan alias fiktif. Hasil pekerjaan BPKP ternyata belum sepenuhnya mendapat tanggapan departemen yang bersangkutan. Seperti yang dikeluhkan oleh Gandhi, Ketua BPKP, dari 28 departemen dan lembaga yang diteliti BPKP 1985/1986 lalu, tiga di antaranya hanya kadang-kadang memberikan tanggapan dan melakukan tindak lanjut. Selebihnya acuh tak acuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini