Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8 Mei 2024, manuskrip atau Tombo Tuanku Imam Bonjol ditetapkan UNESCO sebagai Memory Of The World Committee South Asia Pacific di Ulaanbaatar, Mongolia. Keberadaan naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kalinya dilaporkan oleh Ph. S. van Ronkel dalam artikelnya “Inlandsche getuigenissen aangaande de Padri-oorlog” (Kesaksian Pribumi mengenai Perang Paderi) dalam jurnal De Indische Gids 37 (II) (1915): 1099-1119, 1243-59. Van Ronkel menyatakan bahwa ia telah menyalin satu naskah berjudul "Tambo Anak Tuanku Imam" yang tebalnya 318 halaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (Unand), Pramono menerangkan, naskah ini awalnya dibawa anak Tuanku Imam Bonjol, Naali Sutan Caniago dari pengasingannya di Manado. Setelah itu, naskah disimpan oleh ahli waris Tuanku Imam Bonjol di Kampung Caniago, Kabupaten Pasaman. Lalu, pada 27 April 1983, naskah diserahkan oleh ahli waris kepada pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naskah Tombo Tuanku Imam Bonjol ditulis oleh sang putra, Naali Sutan Caniago pada 1814. Ia memiliki kedekatan dengan sang ayah. Bahkan, ia kerap ikut Tuanku Imam Bonjol untuk memperjuangkan agama Islam dan kemerdekaan Indonesia. Kedekatan dan kepercayaan yang tinggi dari Tuanku Imam Bonjol membuat Sutan Caniago mendapatkan amanat sebelum Perang Padri terjadi.
Mengacu kemdikbud.go.id, isi amanat Tuanku Imam Bonjol kepada Sutan Caniago tersebut sebagai berikut, yaitu:
“Di antara adat pusaka hidup dalam negeri bagi orang muda ialah, jika berjalan di belakang-belakang, mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah. Kalau dipanggil, Iekas menyahut dengan tutur manis. Jangan ikut bicara, jika tidak diajak bicara. Orang muda pakaian hendaklah bersih dan makanannya bersih dan halal.”
Tak hanya itu, Tuanku Imam Bonjol juga memberikan pesan kepada Sutan Caniago agar tidak berteman dengan “orang besar”. Sebab, “orang besar” menjadi tempat pengaduan satu pihak dengan pihak lain. Tuanku Imam Bonjol memberikan saran untuk berteman dengan orang berani yang memiliki hati baik. Selain itu, berteman juga dapat dijalin dengan orang malin (memiliki ilmu) karena mempunyai tujuan hidup yang jelas.
Lebih lanjut, Tuanku Imam Bonjol juga menyatakan, jika sedang diperintah penghulu di dalam kampung, terapkan adat pusaka yang diajarkannya. Namun, Sutan Caniago dilarang untuk mengikuti penghulu yang tidak mengetahui adat pusaka.
Tuanku Imam Bonjol juga memberikan tanda perkara anak laki-laki yang harus dijunjung, yaitu baik dan buruk, berani sesuai kebenaran, tujuan hidup jelas, penglihatan terang dan tajam, serta jujur hati dan takwa. Selain itu, terdapat pula empat sifat yang harus dimilik oleh para pemberani, yaitu lurus dan benar, patuhi perintah guru, mengetahui adat pusaka, dan takut dengan kata pusaka.
Tuanku Imam Bonjol juga memberikan amanat penutupnya kepada putranya Naali Sutan Caniago untuk selalu mengingat Tuhan dan menimba ilmu. Tuanku Imam Bonjol menyatakan bahwa jika tidak ada tempat mengadu, maka memohon kepada yang Maha Tinggi. Selain itu, jika masih muda belum banyak pengalaman, cari guru atau orang yang bijaksana dan cerdas atau cendekiawan. Dengan kedekatannya bersama sang ayah, Sutan Caniago menuliskan Tombo Tuanku Imam Bonjol agar selalu terkenang dan menjadi teladan.
RACHEL FARAHDIBA R | FACHRI HAMZAH