Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kelangkaan obat diduga membuat sejumlah penderita Covid-19 meninggal.
Praktik penimbunan obat diduga menimbulkan kelangkaan obat.
Perusahaan farmasi berkeberatan terhadap harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah karena terlalu murah.
MEMBAGIKAN kisahnya menghadapi kelangkaan obat melalui akun Instagram pada Jumat, 9 Juli lalu, Indriani Puspaningtyas mendapat sejumlah pesan penawaran obat terapi Covid-19. Namun perempuan 30 tahun itu terbelalak begitu membaca harganya. Avigan dan remdesivir, misalnya, dijual seharga Rp 8 juta dan Rp 20 juta. “Harga itu mahal banget,” kata Indriani kepada Tempo, Kamis, 29 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Kelurahan Petemon, Kecamatan Sawahan, Surabaya, itu membutuhkan obat-obatan antivirus untuk ayah mertuanya yang terkena virus corona dan menjalani isolasi mandiri. Meski telah menggunakan tabung oksigen, kondisi mertuanya itu cepat memburuk. Indriani telah mencari antivirus ke berbagai apotek, juga toko obat online, tapi hasilnya nihil. Suaminya hanya mendapat asetilsistein atau obat pengencer dahak di Sidoarjo, Jawa Timur, seharga Rp 500 ribu per 10 kapsul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya ia membeli oseltamivir di toko online dengan harga Rp 1,6 juta. Obat itu tiba tiga hari kemudian atau pada Senin, 12 Juli lalu. Indri terkaget-kaget karena harga eceran tertinggi yang tercantum di dalam kemasan tak sampai Rp 300 ribu. Obat berharga mahal dan sulit dicari itu pun tak mampu menyelamatkan nyawa ayah mertuanya. “Kalau obat bisa segera didapat, mungkin mertua saya bisa selamat,” ucap Indriani.
Baca: Dusta Angka Corona
Di Jakarta, Ghina Ghaliya juga kesulitan mencari Gammaraas untuk dua kerabatnya, suami-istri. Meski dirawat di rumah sakit besar milik pemerintah, saudaranya itu tak kunjung mendapat obat penguat ketahanan tubuh dan pengurang risiko akibat menurunnya kekebalan. Melalui koleganya, akhirnya obat itu didapatkan pada Ahad, 11 Juli lalu. “Tapi nyawa mereka tidak tertolong,” ujar Ghina.
Gammaraas merupakan obat yang mengandung plasma immunoglobulin dalam bentuk larutan yang didapat dari plasma darah manusia. Biasa dikonsumsi pasien Covid-19 bergejala berat, obat itu disebut-sebut ampuh karena kandungan antibodi di dalamnya diklaim bisa melawan virus corona. Di Indonesia, obat injeksi itu diimpor dari Cina oleh PT Combiphar, perusahaan yang didirikan oleh Biantoro Wanandi dan Hamadi Widjaja.
Di tengah hantaman tsunami Covid-19 gelombang kedua, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia periode 2008-2013, Sofjan Wanandi, kerap dimintai tolong koleganya untuk mendapatkan Gammaraas. Menurut Sofjan, selain langka, harga obat itu melambung hingga lima kali lipat. Harga normal Gammaraas ialah Rp 3,5-4,5 juta per botol. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahkan menyebutkan harganya meroket hingga ratusan juta rupiah. “Akhirnya saya minta ke Michael untuk kolega saya yang kondisinya kritis,” kata Sofjan. Michael yang dimaksud Sofjan adalah Michael Wanandi, Presiden Direktur PT Combiphar yang juga keponakan Sofjan.
KELANGKAAN dan mahalnya harga obat menjadi salah satu agenda rutin dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo sejak awal Juli lalu. Dua pejabat pemerintah bercerita, pada rapat yang digelar Senin, 12 Juli lalu, Jokowi meminta jajarannya mengurus obat yang diburu banyak orang tapi langka di pasar.
Pada Jumat, 23 Juli lalu, Jokowi berkunjung ke Apotek Villa Duta, Bogor, Jawa Barat. Ia mencari obat-obatan antivirus, seperti oseltamivir dan favipiravir. Namun ia hanya mendapatkan multivitamin. “Yang lain-lain, obat antivirus, antibiotik, enggak ada semuanya,” ujar Presiden.
Presiden Joko Widodo mengecek ketersediaan beberapa jenis obat, di salah satu apotek di Kota Bogor, 23 Juli 2021. BPMI Setpres
Menelepon Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Presiden pun meminta penjelasan. Budi mengatakan bahwa obat dapat dipantau secara daring. Membuka aplikasi Pharma Plus, Budi menyebutkan stok tambar masih ada di sejumlah apotek. Misalnya Apotek Kimia Farma Tajur Baru, yang jumlah favipiravir-nya 4.900 tablet. Selain itu, apotek lain yang bisa dicek stok obatnya adalah Century, Guardian, dan K-24. Menurut Budi, stok itu bisa dipantau oleh masyarakat.
Baca: Kacau-Balau Vaksinasi Covid-19 di Daerah
Kepada Tempo pada Jumat, 9 Juli lalu, Budi membenarkan kabar bahwa kelangkaan dan kenaikan harga obat yang terjadi setelah gelombang kedua pandemi corona menerpa Indonesia. Salah satu penyebabnya: banyak orang membeli berbagai obat terapi Covid-19 untuk keluarga mereka yang sakit atau sebagai stok di rumah. Penyebab lain adalah ketersediaan bahan baku obat. India sebagai salah satu negara pengekspor bahan baku farmasi terbesar ke Indonesia telah menutup pintu ekspor seiring dengan lonjakan jumlah kasus Covid-19 di sana.
Selain itu, Budi menengarai sejumlah perusahaan farmasi dan distributor menahan obat. Distributor itu umumnya dimiliki oleh perusahaan besar farmasi. “Jadi sebenarnya ini kantong kanan dan kantong kiri untuk perusahaan,” katanya.
Seorang dokter yang bertugas di rumah sakit besar pemerintah bercerita, penimbunan obat juga terjadi di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, yang menjadi salah satu sentra penjualan remedi di Ibu Kota. Awal Juli lalu, ia mencari obat untuk koleganya. Di Pasar Pramuka, dokter perempuan ini justru menyaksikan stok obat Covid-19 melimpah. Namun harganya kelewat tinggi.
Dokter itu, misalnya, mendapati oseltamivir dijual dengan harga Rp 500 ribu. Padahal, Januari lalu, harganya hanya sekitar Rp 300 ribu. Anggota staf bagian farmasi di rumah sakit tempat dokter itu berpraktik pun ikut mencari ke Pasar Pramuka. Namun, karena harga kelewat tinggi, rumah sakit batal membeli obat dan memilih menunggu kiriman dari distributor. Menurut dia, rumah sakit pun membuat kebijakan agar keluarga pasien bisa mencari obat sendiri.
Ketua Asosiasi Pedagang Farmasi Pasar Pramuka Yoyon membantah jika toko obat di sana disebut menimbun stok. Ia juga menyangkal anggapan bahwa para pedagang menaikkan harga obat Covid-19 hingga berlipat-lipat. “Bagaimana harga mau tinggi, barangnya saja tidak ada?” ucapnya.
Mengatasi kenaikan harga obat, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat keputusan yang mengatur harga eceran tertinggi (HET). Ditandatangani oleh Budi Gunadi Sadikin pada 3 Juli lalu, aturan itu memberikan harga tertinggi untuk sebelas obat terapi Covid-19. Misalnya HET untuk azitromisin 500 miligram per tablet adalah Rp 1.700. Aturan itu diharapkan dapat menurunkan harga obat di pasar. Menteri Budi pun meminta perusahaan farmasi mau menurunkan harga. “Dengan menurunkan keuntungan,” ujarnya.
Sebelum menetapkan HET, kata Budi, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Arianti Anaya berkomunikasi dengan Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi. Namun anggota GP Farmasi, Pre Agusta Siswantoro, justru menyatakan asosiasinya tak dilibatkan dalam penyusunan aturan tersebut. “Harga itu berdasarkan harga dasar dalam katalog elektronik,” ucapnya, Rabu, 28 Juli lalu.
Obat-obatan dan vitamin untuk pasien Covid-19 di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung, Jawa Barat, Juli 2021. TEMPO/Prima Mulia
Dua pengurus GP Farmasi mengatakan para pengusaha obat berkeberatan terhadap harga tersebut karena dianggap terlalu murah. Dokumen pembahasan HET yang didapatkan Tempo menunjukkan pemerintah memang menginginkan harga obat semurah mungkin. Untuk favipiravir, misalnya, harga semula adalah Rp 18.700 dan diusulkan naik menjadi Rp 22.440. Namun pemerintah menginginkan harganya turun menjadi Rp 14.859. Belakangan, disepakati harga eceran tertinggi obat antivirus itu Rp 22.500.
Enam hari setelah HET disahkan, atau pada Jumat, 9 Juli lalu, anggota GP Farmasi menemui Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR Emanuel Melkiades Laka Lena. “GP Farmasi butuh waktu untuk mengatasi produksi obat, distribusi, ataupun di tingkat retail,” ujar Emanuel Melkiades.
Setelah HET ditetapkan, pasokan obat terapi Covid-19 belum juga lancar. Sejumlah perusahaan farmasi, distributor, dan apotek ditengarai menahan barang karena HET yang dianggap terlalu murah. Pre Agusta Siswantoro menuturkan, ada sejumlah perusahaan farmasi dan distributornya enggan mengeluarkan obat karena masih menggunakan HET lama. “Kalau dikeluarkan akan rugi,” katanya.
Baca: Di Balik Kisruh Vaksin Gotong-Royong
Seorang pemilik apotek di Bekasi, Jawa Barat, yang ditemui Tempo mengaku menyimpan sejumlah azitromisin karena keluarnya HET tersebut. Musababnya, ketika itu ia membeli azitromisin dengan harga eceran tertinggi Rp 138.600 untuk 20 tablet. Sedangkan, jika menjual dengan mengikuti HET baru, dia harus menjual obat tersebut senilai Rp 34 ribu untuk 20 tablet.
Pada Senin, 12 Juli lalu, Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat menggerebek gudang PT ASA di kawasan Kalideres. Polisi menemukan 730 boks azitromisin. Rencananya obat itu akan dijual Rp 600-700 ribu per kotak. Padahal, sesuai dengan HET, harga yang dibanderol adalah Rp 34 ribu per kotak.
Seusai penggerebekan itu, sejumlah pengurus GP Farmasi menemui Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Agus Adrianto. Belakangan, pada Jumat, 30 Juli lalu, polisi menetapkan Komisaris Utama dan Direktur PT ASA, S dan YP, sebagai tersangka penimbunan obat. “Motifnya demi mendapatkan keuntungan karena obat itu langka,” ujar Wakil Kepala Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Bismo Teguh Prakoso.
Kelangkaan obat ini membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan. Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menilai munculnya keputusan soal harga eceran tertinggi ikut membuat kelangkaan obat terjadi. “Dorongan itu tidak disambut secara antusias karena HET terlalu rendah,” tuturnya. Menurut Kodrat, lembaganya juga menilai bisnis farmasi di Indonesia merupakan praktik oligopoli dan sangat rentan terjadinya pengaturan harga.
Pada hari yang sama dengan penggerebekan PT ASA, dalam rapat kabinet, Presiden Joko Widodo, menurut dua pejabat, mewanti-wanti agar aturan soal HET tak mempengaruhi ketersediaan obat. Adapun pada Ahad, 25 Juli lalu, Kementerian Kesehatan menggelar rapat bersama GP Farmasi. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sejumlah perusahaan farmasi setuju tidak mempersoalkan harga eceran tertinggi. “Mereka juga akan memperbanyak obat-obatan di 2.000-9.000 apotek secara bertahap,” ujarnya, Kamis, 29 Juli lalu.
Baca: Alasan Indonesia Menggunakan Hidroklorokuin Sebagai Obat Corona Meski Tak Dianjurkan WHO
Pemerintah pun berupaya memperbanyak stok obat di dalam negeri untuk menangani pagebluk Covid-19. Direktur Utama PT Bio Farma, holding badan usaha milik negara yang mengurus farmasi, Honesti Basyir, mengatakan 2 juta paket akan dibagikan bertahap dalam program obat gratis yang diluncurkan oleh Presiden pada pertengahan Juli lalu. “Secara bertahap, pembagian itu akan selesai pada September,” kata Honesti kepada Tempo, Jumat, 30 Juli lalu.
Honesti menyatakan BUMN farmasi siap meningkatkan produksi. Namun dibutuhkan bantuan pemerintah untuk membeli bahan baku obat dan mengirimkannya ke Indonesia. Honesti juga meminta pemerintah menjajaki peminjaman hak paten oleh pemerintah atau government use pada obat terapi Covid-19. Ia mencontohkan, hak paten remdesivir masih dipegang oleh PT Mylan Laboratories Ltd di India. “Kalau sudah ada government use, kita langsung produksi,” ujarnya.
Sejumlah pejabat pun menggelar lobi ke negara lain untuk mendapatkan tambar. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menelepon pemerintah Cina untuk mendapatkan Gammaraas dan Actemra. Permintaan itu dilayangkan Luhut karena perusahaan Cina yang memproduksi Gammaraas menutup pintu pembelian untuk perusahaan di Indonesia. Juru bicara Kementerian Kemaritiman, Jodi Mahardi, membenarkan adanya lobi yang dilancarkan bosnya untuk mendapatkan Gammaraas dan Actemra. “Perlu impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ucap Jodi, Jumat, 30 Juli lalu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin optimistis kelangkaan obat Covid-19 tak terulang. Budi mengatakan, hingga Agustus mendatang, Indonesia bakal menerima jutaan obat impor. Ia mencontohkan, ada 1,35 juta remdesivir injeksi, 139 ribu Actemra, dan 53 ribu Gammaraas akan tiba. Untuk obat lokal, Budi menyatakan masih ada kendala distribusi. “Kami setiap hari berkonsultasi dengan GP Farmasi untuk bisa memastikan obat masuk apotek.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo