Api dan Operasi Lestari Operasi dilancarkan polisi dan tentara untuk mengusir perambah hutan lindung. Ada kepala desa yang menjual hutan kepada warganya. OPERASI gencar menyerbu Gumai Pasemah sejak bulan lalu. "Operasi Lestari", yang dikomandoi Kapolda Sumatera Bagian Selatan Mayor Jenderal Putera Astaman, "menguasai" puncak bukit itu dengan sebuah helikopter. Kemudian, "Operasi Bukit" dipimpin Komandan Kodim Lahat, Letnan Kolonel Sartono, bergerak lewat jalur darat. Sasarannya, tak lain, mengosongkan hutan lindung di bukit yang dirambah penduduk. Benar saja, 500 keluarga yang menggarap hutan lindung panik. Ada yang buru-buru membabat tanaman kopi, merobohkan pondok, dan mengungsikan kopinya ke kampung terdekat. Gertakan dua jurus operasi yang dilancarkan sampai 6 September lalu memang membuat penduduk gentar. Maka, wajar bila Bupati Lahat, Kafrawy Rachim, kemudian bernapas lega. "Tugas kami usai," kata Kafrawy pada TEMPO. Puncak operasi memorak-porandakan perambahan hutan lindung itu terjadi 19-20 Agustus lalu. Waktu itu, sedikitnya 13 gubuk pekebun kopi dibakar. Ribuan batang kopi dibabat. Bahkan 19 petani ditangkap, termasuk Kepala Desa Ulak Bandung, Kadarudin, yang dituduh sebagai gembongnya. Peringatan pertama datang dari Gubernur Sumatera Selatan Ramli Hasan Basri setelah air bah melanda provinsi itu. Namun, perintah Gubernur, 1 Februari 1989, untuk mengosongkan hutan lindung rupanya tak digubris para petani. Sampai akhirnya, Ramli menginstruksikan aparatnya untuk bertindak keras. Asal-muasal perambahan hutan lindung sebenarnya datang dari Kepala Konservasi Sumber Daya Alam Lahat sendiri. Ia meluluskan permohonan Kadarudin yang kini ditahan -- menggeser batas hutan lindung dan hutan marga milik desa pada 1986. Akibatnya, hutan marga mengikis hutan lindung seluas 20 hektare. Bukan cuma dengan memindahkan tapal batas hutan lindung Pak Kades mencari duit. Ia kemudian menjual bagian hutan lindung lainnya kepada 13 penduduk setempat. Penduduk pun merasa sah-sah saja karena kuitansi jual beli dilengkapi dengan stempel kepala desa segala. Sampai akhirnya, 95% dari 45 ribu hektare Gumai Pasemah rusak karena digarap sekitar 500 kk. Keresahan juga terjadi di hutan lindung Gunung Raya, Ogan Komering Ulu (OKU). Tak kurang dari 1.900 kk pekebun kopi disodori formulir oleh Camat Banding Agung, Rusli Ngawi. Isinya, mereka harus turun paling lambat 2 Oktober. Maklum, 60-% dari 5.000 hektare hutang lindung di sana ditanami kopi sejak 1950-an. Uniknya, ada 400 kk di Dusun Talang Imus, Gunung Raya, itu yang punya sertifikat. Selain rumah tinggal, di atas tanah yang dinyatakan sebagai hutan lindung juga berdiri SD dan masjid. Lain lagi cara menyuruh penduduk turun dari hutan di Rejanglebong, Bengkulu. Sekitar 3.000 kk perambah 8.200 hektare hutan lindung telah diturunkan pada Mei 1990. Selain meneken formulir "siap turun hutan", mereka juga mendapat pesangon Rp 162.000 per kk. Namun, sejak Juli lalu, mereka pun naik lagi. Komandan Korem Garuda Hitam, Kolonel Hendro Priyono, punya kiat mengamankan hutan lindung di Lampung. Sebagian perambah dikirim ke lokasi transmigrasi dan sebagian ditampung di perbatasan hutan lindung dan hutan produksi. "Ya, semacam sabuk pengaman agar pendatang baru tak merambah hutan lindung," kata Hendro. (TEMPO, 18 Agustus 1990). Pemda Sum-Sel pun telah menyiapkan penampungan bagi para perambah. Misalnya, 72 orang perambah di Muara Dua, OKU, telah ditempatkan jadi petani sawit di Belitung. Bahkan 200 kk perambah Gumai Pasemah juga telah disuruh meneken pernyataan rela ditempatkan di kawasan yang bukan hutan lindung. Alhamdulillah, operasi pun akan usai. Bersihar Lubis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini