Ikarus KAMAR itu disebut Ruang Kebangkrutan. Bila Anda berkunjung ke istana di Amsterdam, yang di pertengahan abad ke-17 dibangun sebagai balai kota itu, akan Anda lihat: di atas pintunya terpampang ukiran tentang Ikarus yang jatuh. Kita tahu pemuda dalam dongeng Yunani itu mencoba terbang. Ia gagal. Di atas pintu itu ia tak melambangkan keberanian manusia bereksperimen. Ia adalah tamsil tentang ketakaburan. Manusia berambisi dan ia pun melambung tinggi, tapi akhirya -- kita tahu -- ia terjungkal. Ruang Kebangkrutan, Boedels Kamer: di atas relief Ikarus itu ada serangkai dekorasi yang melukiskan peti uang yang kosong, rekening yang tak terbayar, saham yang tak laku yang bertabur -- semuanya diincar oleh sekelompok tikus yang lapar.... Relief itu dibuat di tahun 1650-an. Sejarah kapitalisme Belanda adalah dialetika antara rasa gairah kepada kekayaan yang melimpah dan niat untuk mengendalikan diri. Hasilnya adalah suatu kehidupan sosial abad ke-18 yang dilukiskan dengan bagusnya oleh Simon Schama, sejarawan dari Harvard itu, dalam The Embarrassment of Riches. Justru di masa boom itu, orang Belanda tetap saja cemas. Dalam kata-kata Schama, "rasa takut kalau mereka tenggelam dalam kemelaratan . . . persis diimbangi oleh rasa takut kalau mereka tenggelam dalam kemewahan dan dosa." Mungkin ini kecemasan sebuah bangsa yang sering dilanda air bah dari laut. Mungkin pula ini buah ajaran Kristen Calvinis. "Biarlah mereka yang empunya banyak pada ingat," ujar Bapa Calvin yang angker itu, "bahwa mereka dikelilingi oleh duri . . . . " Tapi Calvin mungkin cuma satu faktor. Faktor lain: inilah zaman ketika Erasmus dan kaum huma-is lainnya menyerukan "keseimbangan" dan "sikap tak- berlebihan" -- yang sebetulnya suatu imbauan yang universal, imbauan yang bisa didapat baik dalam hadis Rasul maupun ajaran Budha, baik dalam pepatah Minang maupun dalam kitab Wedhatama. Pada akhimya manusia memang tahu, lantaran- pengalaman berabad-abad, bahwa ia tak boleh gegabah dengan kelebihannya. Sewaktu-waktu roda nasib bisa berbalik, dan air bah melanda bila dam tak cukup kuat ditegakkan. Itulah pesan sebenarnya dari Ruang Kebangkrutan. Pesan itu pula yang bergaung ketika orang Belanda mendirikan Wisselbank di tahun 1609. Yang diutamakan bukanlah mendinamiskan dana-dana untuk usaha. Yang diutamakan ialah menjaga agar jumlah simpanan jauh lebih tinggi ketimbang jumlah yang mungkin akan dikeluarkan. Wisselbank adalah suatu ekspresi kehati-hatian. Ia ibarat gereja yang menganjurkan puasa bagi para pencari harta -- meskipun orang bisa menafsirkan bahwa puasa itu bukan cuma berarti "menahan nafsu", melainkan juga "menimbun nafsu". Tak berarti orang Belanda 100-% mengindahkan pesan konservatif itu. Sebagaimana mereka memuja lekkerheid dan gemar makan wafel dan poffertjes yang manisnya bergelimang dalam pesta dengan 30 jenis hidangan, mereka juga tak mudah menghindar dari satu nafsu lain yang tak ingin dikontrol Calvinisme: perjudian. Tak jauh dari Balai Kota dan Ruang Kebangkrutannya, ada sebuah bangunan yang didirikan di tahun 1602. Itulah Bursa Saham Amsterdam. Bila Wisselbank adalah "gerejanya kapitalisme Belanda", kata Schama, maka Bursa adalah "sirkusnya". Di sini orang memang jungkir balik, berputar-putar, jatuh bangun, dalam spekulasi. Di sini tak ada tempat bagi mereka yang berhati kecut. Para spekulator ini memang cari duit bukan dengan kekayaan mereka, melainkan dengan saraf mereka -- sebab mereka biasa menawarkan saham yang belum mereka miliki atau belum mereka bayar, berdasar anggapan bahwa saham-saham itu akan membawa untung bila saatnya nanti tiba. "Dagang angin", dengus para rohaniwan maupun para magistrat mencercanya. Tapi bagaimana judi bisa berhenti? Ada saja orang yang ingin bermain dengan ketidakpastian yang mencekam, seakan ingin membuktikan diri bersaraf baja (tapi tanpa bahaya maut). Banyak orang yang menganggap peristiwa dapat-uang dan hilang-uang sebagai satu-satunya sumber excitement. Dan ada yang saking mudahnya mendapatkan harta dan fasilitas, akhirnya merasa bosan dan kosong: mereka tak pernah mengalami ketegangan harap-harap cemas untuk mendapatkan sesuatu. Judi memang bisa memberi suspens yang hilang itu. Dan tentu ada kepongahan: karena uang begitu banyak dan begitu mudah, mereka tak harus takut merana karena judi ala lagu Rhoma Irama. Tentu ada ukiran Ikarus di atas pintu Ruang Kebangkrutan, tapi para penjudi royal ini toh bisa angkat bahu: kuno, kuno, kuno. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini