Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kongres tanpa droping

Menjelang kongres hmi bursa calon ketua periode 1990-1992 masih sepi. pamor hmi di kampus-kampus disinyalir menurun. herman widyananda dan sulastomo membantah isu tsb. hmi menganut keterbukaan.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kongres tanpa Droping Bursa calon ketua masih sepi. Nampaknya kongres akan berjalan mulus. Anggota HMI bebas masuk organisasi politik apa saja. HARI-hari menjelang Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-18 tampak sepi-sepi saja. Bahkan bursa calon ketua periode 1990-1992 masih samar-samar. Tidak seperti kongres sebelumnya, yang sempat diwarnai munculan kongres tandingan dan isu adanya calon titipan dari atas. Kini, boleh dibilang, jalan sudah mulus. Memang sejumlah calon mulai beredar. "Tapi, kelihatannya mereka masih main-main," kata salah seorang pengurus PB HMI. Maksudnya, bisa saja nanti tiba-tiba batal. "Biasanya baru ramai setelah kongres berjalan," kata Herman Widyananda, Ketua PB HMI saat ini. Dia sendiri, demi alasan kaderisasi, sudah memastikan diri untuk tidak mencalonkan diri lagi. Kongres akan berlangsung di Jakarta, 17-25 September. Materi sudah 90 persen selesai. Para pengurus cabang pun sudah menyatakan kesediaannya untuk mengirimutusan. Tidak ada lagi kisah kongres tandingan seperti yang sempat mewarnai kongres ke-17 di Aceh pada 1988. "Kayaknya, kawan-kawan sadar. Kalau masalah ini terus-menerus berlangsung, yang rugi Islam dan HMI sendiri," ujar Herman. Yang tidak mulus, mungkin, justru setelah kongres selesai. Yakni perjuangan merebut pamor HMI di kampus-kampus, yang disinyalir menurun belakangan ini. Di Universitas Indonesia, misalnya, gaungnya seperti mereda. Lihat saja keterlibatan mereka di organisasi intrauniversitas. Hanya Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran yang masih didominasi HMI. Sedangkan Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Psikologi boleh dikatakan "bersih" dari orang HMI. Dan di fakultas lain, paling banter hanya menempati kursi kedua. Padahal, dulu -- sejak awal hingga pertengahan 1980-an -- orang-orang HMI menjadi kekuatan penggerak berbagai kegiatan mahasiswa di UI. Ada anggapan bahwa anggota-anggota HMI cenderung ekstrem. "Malah, banyak mahasiswa yang takut disebut HMI," kata Arman, Sekretaris Umum HMI Komisariat FE UI. Ketua PB HMI Herman Widyananda membantah bahwa kemampuan akademis anggota HMI jelek. Setiap ada pemilihan mahasiswa teladan tingkat nasional, misalnya, jumlah anggota HMI masih dominan. Tahun 1987, misalnya, di antara 19 mahasiswa teladan, 12 di antaranya adalah anggota HMI. Pada 1990 ini sudah 15 anggota -- dari HMI -- yang terdaftar sebagai mahasiswa teladan. Dalam sejarah, gaung kebesaran sebuah organisasi mahasiswa memang senantiasa terkait dengan kegiatan politik praktis. HMI pernah dikenal amat vokal dan reaktif terhadap berbagai masalah sosial politik. Pada kurun 1960-1965, HMI habis-habisan mengutuk PKI, hingga nyaris dibubarkan. Ketika gagasan asas tunggal dilontarkan, HMI pun buka suara. Sebagian menerima, sebagian lagi mengambil sikap kontra. Maka akhirnya, pada 1983, lahir Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) untuk menandingi PB HMI yang dinilai menyerah begitu saja. "Sikap HMI sudah berubah. Dulu berorientasi pada penggalangan massa, sekarang ke arah pembinaan intelektualitas," Herman berdalih. Kalau yang dimaksud melempem adalah tidak lagi melakukan politik praktis, Sulastomo -- Ketua PB HMI 1963-1965 -- pun setuju. Tapi, bukan cuma HMI yang mengalaminya. Semua organisasi ekstrauniversitas bernasib serupa. "Sekarang situasinya lain. Kini suasana studi lebih menonjol," kata Sulastomo. Dan HMI sadar sepenuhnya. Itu sebabnya, tema kongres kali ini ditekankan pada penguasaan ilmu dan teknologi. Agaknya, Herman hendak mengatakan bahwa kegiatan politik praktis bukan lagi masanya bagi HMI. Yang mungkin penting dan perlu ditegaskan lagi dalam kongres kali ini adalah keterbukaan HMI terhadap organisasi politik yang ada. Maksudnya, anggota HMI bebas menentukan pilihannya untuk berkiprah dalam percaturan politik praktis di luar kampus. Priyono B. Sumbogo, Diah Purnomowati, Ardian Taufik Gesuri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus