SEANDAINYA aspirasi Islam harus disalurkan lewat partai Islam, maka di dunia ini hanya ada tiga saluran. "Sebab, di dunia Islam hanya ada tiga partai Islam, di Iran. Pakistan, dan Malaysia," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali kepada Musthafa Helmy dari TEMPO. Dengan begitu, Munawir ingin menegaskan bahwa aspirasi Islam tak harus disalurkan lewat partai berbendera hijau. Tapi apa, sih, aspirasi Islam itu? Ketua MUI K.H. Hasan Basri mendefinisikannya, "Membawa dan membentuk pribadi manusia muslim, membentuk seluruh sikap hidup sebagai muslim." Sedangkan Dr. Imaduddin, bekas ketua harian Yayasan Pembina Masjid Salman, menerjemahkannya sebagai, "Tegaknya hukum-hukum Allah dalam diri, keluarga, dan masyarakat." Mirip, bukan? Yang tak mirip adalah kesan mereka tentang penyaluran aspirasi ini. K.H. Hasan Basri menganggap aspirasi itu dapat disalurkan melalui orang-orang Islam, baik yang ada di ketiga OPP maupun lembaga pemerintah. Sedangkan Imaduddin mengatakan, "Saya tak melihat adanya jalur aspirasi politik umat Islam sekarang ini. PPP pun tidak." Adanya perbedaan persepsi tentang aspirasi Islam ini diakui oleh Lukman Harun, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah." Asnirasi umat Islam. sampai kini belum dirumuskan bersama," katanya. Ia juga mendefinisikan aspirasi Islam, "BaKaimana dakwah Islam dapat berjalan baik dan lancar. Pendidikan, terrnasuk pendidikan Islam, baik. Ekonomi umat Islam maju." Adapun dakwah diartikan terlaksananya Amar ma'ruf nahi munkar alias menegakkan yang benar dan mencegah yang salah. Namun, dalam mencegah yang salah ini pun bisa terjadi perbedaan pengertian, misalnya soal Porkas. "Begitulah dalam fiqih kita tetap ada perbedaan-perbedaan," kata Lukman. Mengenai hal ini, Dr. Alfian menjelaskannya dengan lebih tangkas. Ia membagi aspirasi Islam atas yang umum dan yang prinsipiil. "Yang umum, seperti pendidikan dan ekonomi, itu dapat disalurkan oleh ketiga OPP," katanya. Sedangkan yang prinsipiil, seperti RUU yang bertentangan dengan nilai agama, "dapat disalurkan ke ormas-ormas sebagai kekuatan moral." Penggunaan ormas sebagai penyalur aspirasi ini memang sudah kerap terjadi. Muhammadiyah contohnya. Sesudah melepaskan diri dari kepartaian, 1971, "Kalau kami mau menyampaikan aspirasi malah bisa langsung ke pemerintah," kata A.R. Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Kembalinya NU ke khittah bisa juga dilihat sebagai keinginan meniru sukses Muhammadiyah. Sebab, melalui jalur politik formal terbukti tak selancar melalui jalur kekuatan moral ini, seperti yang terjadi pada NU saat walk out dari sidang umum MPR, 1978. Upaya itu dilakukan sebagai pernyataan protes atas dicantumkannya aliran kepercayaan dan P4 dalam GBHN. Ternyata, upaya ini mengalami kegagalan dan justru memukul posisi NU. Membandingkan kegagalan ini dengan sukses NU dalam kasus RUU Perkawinan yang melalui pendckatan informal, Ridwan Saidi, anggota komisi X DPR RI fraksi PP, beranggapan. "Partai khusus umat Islam malah tak perlu karena menimbulkan dampak psikopolitis." Maksudnya, kemungkinan terjadi transaksi politis semakin kecil bila menggunakan atribut formal Islam karena atribut ini melahirkan kecurigaan-kecurigaan. Tapi alam kecurigaan inilah yang dinilai M. Natsir Ketua Umum Masyumi yang terkenal itu, keliru dan bukan baju formal Islamnya. "Di negara modern seperti Eropa, partai agama in ada dan justru menjadi sumber motivasi," kata Ketua Dewan Dakwah Islamiyah itu kepada TEMPO. Terlepas dari pandangan mana yang benar di antara kedua ujung pendapat tadi, pemasyarakatan nilai-nilai Islam sebenarnya sudah banyak mengalami kemajuan di tanah air ini. Nurcholish Madjid, misalnya, masih mengingat bagaimana pada zaman Orde Lama pengucapan salam secara Islam saja sering menimbulkan reaksi sosial yang neatif. "Pada waktu itu, membuka pidato dengan Assalamualaikum saja sudah dianggap sebagai indikasi kontrarevolusi. Sebab, itu diartikan sebagai salam partai Islam yang hidup di masa lalu. yang menentang PKI," kata Nurcholish. Padahal, sekarang penggunaan salam secara Islam itu sudah dianggap kewajaran, bahkan terhormat. Jadi, iklim kecurigaan terhadap formalitas Islam pun sebenarnya sudah jauh meluntur. Bagi doktor lulusan University of Chicago ini penyaluran aspirasi Islam di Indonesia lancar-lancar saja. Pasalnya, ia mengartikan aspirasi Islam sebagai, "Persamaan umat manusia, antifeodalisme, antidiktator, ketertiban hukum, adanya hak-hak asasi manusia bahkan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional." Karena itu, bagi Nurcholish apa yang menjadi aspirasi Islam itu kini sudah menjadi bagian dari kehidupan seharian. Tapi bagi Imaduddin, pelaksanaan aspirasi Islam di Indonesia dianggapnya belum berjalan bebas. Sebab, bagi doktor lulusan Iowa State University ini, aspirasi politik Islam tak dapat berjalan tanpa memegang kekuasaan. Dan karena mayoritas Islam saat ini, menurut Imaduddin, berada dalam lapisan ekonomi bawah, kekuasaan itu tidak berada dalam gengamannya. Karena itu. ia berharap ormas seperti NU dan Muhammadiyah dapat mengangkat perekonomian warganya hingga menjadi kelompok warga kelas menengah yang kuat. Selama ini belum terjadi, "Kita lupakan dulu soal politik. Kita bicara saja soal dakwah atau pendidikan dahulu," katanya. Perbedaan persepsi antara kedua doktor lulusan AS ini mungkin disebabkan juga oleh pengalaman hidup mereka. Maklum, Imaduddin, yang sempat lebih dari setahun bermukim di rutan Nirbaya menjelang Sidang Umum MPR 1978 itu, kini masih dalam pengawasan pihak yang berwajib. Ia, misalnya, sulit mendapatkan izin untuk berbicara dan berdakwah di depan mahasiswa di Bandung. Padahal, selama di AS ia bebas melakukan segala kegiatan ini. Wajar kalau bagi Imaduddin suasana Amerika yang berprinsip sekuler ini mungkin justru terasa lebih Islami. Bambang Harymurti, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini