PEMILU kelima semenjak Republik berdiri berakhir sudah. Hasilnya sudah diketahui. Tapi satu hal masih terus diperdebatkan: mengapa perolehan suara PPP anjlok dramatis di beberapa tempat penting. Misalnya di Aceh dan Sumatera Barat. Penduduk kedua provinsi ini dikenal sebagai pemeluk Islam yang kuat, yang secara tradisional menyatakan dukungan dan kesetiaannya pada apa yang disebut sebagai "partai Islam". Bahkan di Aceh, Golkar sebelumnya tak pernah berhasil mendapatkan suara terbanyak. Kini, keadaan berbalik. Golkar menang di kedua provinsi itu. Kini tak ada lagi provinsi yang dimenangkan PPP. Bahkan, perolehan suara partal yang mengerek slmbol Blntang ini merosot merata hampir di semua tempat. Selama empat kali pemilu, daerah-daerah tersebut relatif dapat d1ipertahankan sebagai "kantung atau basis partai Islam". Mengapa daerah yang "alot" itu sampai jatuh ke tangan Golkar? Mengapa ini terjadi? Untuk daerah SumBar dan Aceh, tentulah bukan karena faktor penggembosan NU. Sebab, keduanya tidak tergolong daerah basis NU. Kalau begitu, adakah ini contoh kegagalan PPP meraih para pemilih muda? Atau, seberapa besar karena faktor ketidakberesan kepemimpinan dalam tubuh PPP sendiri? Ataukah, karena sesuatu yang lebih serius, yakni memudarnya PPP sebagai partai Islam? Jika benar, bagaimanakah kini dan kelak aspirasi politik Islam disalurkan? Memang, pemilu kali ini mcrupakan pemilu yang paling bersih dari pertarungan ideologi. Setelah diterimanya asas tunggal Pancasila, kampanye pemilu kali ini boleh dikata tergolong mulus dari bentrokan fisik, dan juga relatif bersih dari pertarungan ayat-ayat suci. Tak ada lagi kontestan yang mengklaim dirinya yang memonopoli agama. Bandingkanlah, misalnya, dengan Pemilu 1982. Kala itu pecah peristiwa Lapangan Banteng, dan muncul sebutan "keberingasan sosial". Bendera agama masih dikerek tinggi-tinggi oleh PPP, dan ayat-ayat Quran masih dijadikan jualan kala kampanye. PPP mengaku dirinya sebagai satu-satunya pewaris kebenaran agama Islam. Di lain pihak, Golkar mengklaim dirinya sebagai satusatunya kontestan yang paling Pancasilais. Pada Pemilu 1977, suasana emosional scmacam itu lebih kental. Inilah pertama kali partai Islam tampil ke pemilu dalam bentuk fusi. Isu Kristenisasi masih menghangat, dan beberapa tahun sebelumnya terjadi pembahasan UU Perkawinan, yang mendapat perlawanan keras dari kalangan Islam - baik di dalam maupun di luar parlemen. Juga, tahun 1974, terjadi Peristiwa Malari. Di kalau pemilu inilah pula muncul gerakan mahasiswa di beberapa kampus terkemuka. Mereka misalnya, mencalonkan Ali Sadikin sebagai presiden . Waktu itu terasa sekali bahwa pemerintah "mengincar" PPP. PDI kala itu senantiasa digigit pertikaian di dalam, dan PPP memang relatif lebih kukuh karena ada Islam selaku ideologi pengikat. Bahkan PPP dapat tampil sebagai kelompok politik Islam, yang di sana-sini bertindak selaku oposisi. Hasilnya, ia dapat "menahan" laju kemenangan Golkar. Buktinya, perolehan suara Golkar - partai yang didukung pemerintah dan militer ItU - turun dari 62,80% (1971) menjadi 62,11% (1977). Sedangkan PPP meningkat dari 27,11% menjadi 29,29%. Bahkan secara mengagetkan PPP memenangkan suara di Ibu Kota Jakarta. Tak hanya itu. PPP setelah Pemilu 1977 lebih jauh, menampilkan diri sebagai partai Islam, yang menjadi mata rantai penghubung antara umat dan pemerintah. Dalam beberapa hal ia malah melangkah sebagai kekuatan oposisi utama. Hal ini tampak nyata di DPR. Fraksi Persatuan Pembangunan, misalnya, merupakan perantara tunggal bagi penolakan Islam terhadap aliran kepercayaan. FPP mengambil sikap walk out kala masalah ini dibahas di DPR. Islam memang agama mayoritas di negeriini. Dan partai politik Islam berakar jauh dalam sejarah modern Indonesia. Sarikat Islam, misalnya, merupakan satu-satunya partai politik kebangsaan yang bcrpengaruh besar pada tahun-tahun belasan. Benar, ada Muhammadiyah yang berdiri 18 November 1912. Tapi organisasi yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini lebih bersifat sosiokeagamaan ketimbang politis. Di awal berdirinya, NU alias "Kebangunan Para Ulama", lebih dikenal sebagai gerakan yang lahir untuk mempertahankan serangan-serangan pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah. Peranan politik itu seutuhnya dimainkan oleh SI. Dan itu adalah pilihan yang diambil dengan sadar. Hal itu antara lain dibuktikan oleh perubahan dari Serikat Dagang Islam menjadi SI. Ia tak hanya sekadar perubahan nama. Menurut Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam disertasinya di Universitas Chicago, AS, perubahan itu terutama perubahan orientasi, dari komersial ke politik. Bahkan, menurut ahli ilmu politik Dr. Deliar Noer asal-usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan Muslim Indonesia adalah identik dengan asal-usul dan pertumbuhan SI. SI memang contoh organisasi politik yang sangat cepat populer, dan pengikutnya bertambah dengan "fantastis". Bayangkanlah, hanya dalam tempo dua tahun sejak didirikan, anggotanya naik dari 4.500 menjadi hampir 367.000. SI memperoleh keanggotaannya sungguh karena watak keislamannya. Kukuhnya SI sampai ke pedesaan Jawa tidaklah dapat dipisahkan karena dukungan luas para kiai. Para kiai inilah yang bertindak selaku perantara budaya, yang berwatak transisional. Para ulama mengambil peran berdiri di antara elite yang berwatak hidup kekotaan di satu pihak, dan kelompok petani tradisional di pedesaan di ujung yang lain. Di tangan pemimpin baru H.O.S. Tjokroaminoto, SI mendapat bentuk organisasi yang jelas, dan menjadi pendorong bangkitnya umat dengan Islam sebagai alat pemersatu. Secara ringkas, ideologi Islam sebagai dasar partai politik di Indonesia dimulai dan dibentuk dasarnya oleh SI. Tapi, kemudian muncullah ideologi kebangsaan. Bangkitnya ideologi kebangsaan ini, antara lain juga dipelopori oleh tokoh yan dekat dan banyak berguru pada Tjokroaminoto. Dialah Bung Karno, yang semasa sekolah pernah mondok di rumah pemimpin SI itu, bahkan sempat pula ditunangkan dengan salah seorang putrinya. Tapi pada pekembangan kemudian, peranan sentral ideologi Islam sebagai pemersatu yang dibawakan SI secara perlahan bergeser. Peranan sentral itu diambil alih oleh paham kebangsaan itu. Tak mudah memang, seperti tampak dalam perdebatan ideologis yang terjadi antara Bung Karno dan M. Natsir. Dan perjalanan sejarah selanjutnya memang menunjukkan betapa perdebatan serius antara wakil golongan Islam dan kalangan nasionalis sekuler itu - membekas dalam, jauh, dan panjang dalam kehidupan kita bernegara. Adalah pemerintah Jepang yang kemudian mendirikan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggotanya mula-mula 62, kemudian bertambah menjadi 68. Persoalan mendasar yang dikaji dalam badan ini ialah bentuk negara, dasar negara, dan hal-hal yang bertautan dengan konstitusi negara. Ada dua ahran pandangan yang muncul, yakm paham yang memisahkan urusan negara dengan agama yang dianut kaum nasionalis sekuler, serta paham yang bertujuan mendirikan negara Islam. Keputusan akhirnya dicapai lewat sebuah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang - semuanya beragama Islam kecuali A.A. Maramis yang Kristen. Inilah kompromi yang dituangkan dalam klausul, " . . . dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Kesepakatan ini kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Tapi kemudian, sehari setelah Proklamasi, wakil-wakil umat Islam menyetujui penghapusan anak kalimat itu. Keputusan sidang, yang cuma berlangsung 2 jam 15 menit itu, kemudian hari melahirkan pertikaian berlarut-larut Islam atau Pancasila. Bahkan, empat tahun kemudian, pecahlah upaya bersenjata untuk mendirikan Neara Islam itu melalui gerakan Darul Islam yang dipimpin Kartosuwirjo. Suatu pemberontakan yang baru tuntas bisa dipadamkan setelah 11 tahun (1960). Ihwal ideologi negara ini juga mengimbas Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955. Mcnurut UUDS 1950, konstitusi bisa diubah jika disetujui oleh paling kurang 2/3 anggota. Padahal, hasil Pemilu 1955 itu, hanya 43,5% suara yang diperoleh partai Islam. Toh perjuangan menjadikan Negara Islam terus berlanjut, dalam perdebatan yang sengit secara konstitusional, yang kemudian menyebabkan Presiden Soekarno membubarkan Dewan Kostituante. Yang unik ialah selama perdebatan yang berlarut-larut itu, bahkan sejak masih di kalangan BPUPKI, sebenarnya tak pernah muncul dengan jelas bagaimana isi dan bentuk gamblang Negara Islam yang dimaksudkan. Terutama bagaimana operasionalnya. Apa pun, yang terang, kata Dr. Alfian, "Harus diakui bahwa parpol-parpol Islam pernah memperluangkan adanya konstitusi Islam dan negara Islam." Yakni, ada yang melalui perjuangan yang sah secara konstitusi, dan ada yang memaksakan melalui DI/TII. Akibatnya, "Golongan lain melihat usaha umat Islam itu dengan curiga dan waswas." Ini mempertajam perbedaan antara Pancasila dan Islam. "Jadi, yang dilihat dari kedua sisi hanyalah segi yang negatifnya saja," kata ahli dari LIPI ini. Begitulah, ada pengalaman traumatik di sekitar ideologi negara. Dan, sebagian itulah yang kemudian agaknya mendorong pemerintah melaksanakan penataran P4. Inilah pula yang kemudian mendorong pemikiran Presiden Soeharto untuk mengubah UU Parpol dan Keormasan - sehingga kini semua berasas tunggal Pancasila. Kini setelah PPP cumameraih suara 16,01% - anjlok dari 27,78% pada Pemilu 1982 - ke manakah aspirasi Islam disalurkan? Bagi Nurcholish Madjid, dewasa ini sudah tak diperlukan lagi partai penyalur aspirasi Islam. "Sebab, Islam itu suatu nilai etik, yang mampu menyebar ke mana-mana. Tidak hanya lewat PPP, tapi bisa lewat Golkar, dan juga PDI," katanya. Bahkan Golkar, katanya sudah lama, penampilan politiknya dijiwai oleh aspirasi Islam. Pandangan yang senada juga dilontarkan dari kalangan Muhammadiyah. Lukman Harun, anggota PP Muhammadiyah, tegas berpandangan, setelah asas tunggal, "Kini Indonesia tidak memiliki lagi partai politik Islam." Ia mengambil contoh Muhammadiyah - yang meski merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia - tidak pernah menjadi partai politik. "Dan sejak dulu, aspirasi Islam kami berikan ke berbagai saluran," ujar Lukman. "Bahkan, Muhammadiyah pernah dianjurkan oleh Pak Harto agar menjadi partai politik. Tapi itu kami tolak," tambah Ketua Umum PP Muhammadiyah K.H. A.R. Fachruddin. Bagi dia, penyaluran aspirasi itU cukup dihubungkan dengan kewarganegaraan saja, dan tak perlu merujuk berdasarkan Islam. Menurut K.H. Hasan Basri, Ketua MUI, berkurangnya perolehan suara PPP bukan karena digembosi NU. "Tapi, karena makin banyak orang Islam menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar," katanya. Ada fenomena kini, pemilih tak lagi melihat lembaganya, tapi individu yang berada di lembaga itu. "Orang memilih Golkar, dengan menyorot orang-orang Islam yang ada di sana." Boleh jadi, tak relevan lagi masalah adanya partai yang secara formal disebut partai Islam. Meski, setelah asas tunggal Pancasila, tentu masih ada partai yang sedikit atau banyak bersifat ideologis. Apa pun, ketiganya diharapkan akan terlibat persaingan secara terbuka, untuk memenangkan kekuasaan dengan jalan persuasi - lalu diakui memiliki keabsahan sebagai penampung aspirasi rakyat yang notabene mayoritas adalah Islam. "Tidak ada alasan asas tunggal Pancasila mematikan aspirasi umat Islam," ujar Syafii Maarif. Saur Hutabarat, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini