Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perjalanan aspirasi

Perjalanan aspirasi politik islam dari masa ke masa, mulai dari lahirnya serikat dagang islam (1911) muhammadiyah (1912), nu (1926), masyumi (1943), piagam jakarta (22 juni 1945), hingga ppp.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CIRI peting Pemilu 1987 ialah memudarnya "isu agama" sebagai bahan jualan. Boleh dikata, sepanjang kampanye orang tak menemukan lagi sentimen-sentimen agama dikilik-kilik. Tapi, perolehan suara PPP anjlok -- dan orang mulai mempertanyakan aspirasi politik Islam. Kemanakah ia kini disalurkan? Aspirasi politik Islam memang selalu menjadi masalah serius bagi sistem politik di Indonesia. Inilah negeri majemuk dengan mayoritas pemeluk Islam, dan di masa lalu pernah timbul persoalan besar dengan aspirasi Islam itu. Yakni apakah republik ini berdasarkan Islam, ataukah harus ada pemisahan antara urusan negara dan urusan agama. Berikut semacam ringkasan perjalanan aspirasi itu dari masa ke masa: 1911--1926: Tumbuhnya gerakan politik Islam di sini berpangkal dari lahirnya Serikat Dagang Islam. Organisasi ini lahir di Solo, untuk menjawab dua hal. Pertama agar mampu mengatasi persaingan yang meningkat antara pribumi Islam dan pedagang keturunan Cina terutama dalam perdagangan batik. Kedua untuk menghadapi tekanan dari kalangan bangsawan Solo. Pendeknya ini organisasi untuk melindungi kalangan pedagang batik. Tapi akhirnya SDI berubah menjadi SI, dan kemudian menjadi organisasi politik Islam pertama. Tokoh penting yang menggerakkan organisasi ini adalah Tjokroaminoto, yang kemudian banyak mewarnai SI. Pasang surut SI adalah cerminan naik turunnya posisi umat Islam dalam berhadapan dengan Belanda. Bekas tokoh SI inilah yang kemudian banyak menguasai Masyumi. 1912: Muhammadiyah berdiri di Yogya. Inilah Organisasi sosial Islam yang menerima pengaruh perlunya usaha reformasi dan pembaruan pendidikan Islam. 1926: NU lahir di Surabaya, terutama sebagai reaksi terhadap pembaruan Muhammadiyah. Menyebar terutama di pedalaman Jawa. Sampai zaman Jepang NU lebih merupakan organisasi sosio-agama. 1937: MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) berdiri di Surabaya. Inilah badan federatif pertama yang menyatukan partai-partai dan organisasi Islam. Dengan persatuan, diharapkan timbul pengerahan kekuatan Islam untuk menghadapi penjajah Belanda. Tapi kemudian Jepang mendarat. 1940: Ada polemik antara Natsir dan Soekarno. Inilah embrio perdebatan antara paham nasionalis sekuler dan yang menginginkan negara Islam. 1943: Jepang membubarkan MIAI dan membenuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Rupanya, Jepang ingin federasi kekuatan Islam buatannya sendiri -- sehingga lebih bisa dikendalikan. Seperti juga pada MIAI. NU dan Muhammadiyah merupakan pendukung utama Masyumi. Mei 1945: Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah perdebatan soal Negara Islam dan pemisahan urusan agama dengan urusan negara berlanjut. 22 Juni 1945: Panitia kecil 9 orang -- seorang di antaranya Kristen (A.A. Maramis) -- menerima klausul "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Keputusan ini kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. 18 Agustus 1945: Kalangan Islam dalam BPUPKI menerima perubahan klausul di atas. Ini kemudian yang menjadi masalah berkepanjangan dalam kehidupan Republik. Antara lain, meletup sebagai gerakan Darul Islam. 1955--1959: Pemilu pertama berlangsung (1955). Di luar dugaan partai Islam hanya mendapat 43,9% suara. Tak cukup untuk mengubah konstitusi, tapi toh perjuangan menjadikan Negara Islam terus berlanjut. Dewan Konstituante berdebat berlarut-larut sampai akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 45. 1960--1965: Masyumi dibubarkan. NU menerima ide Nasakom. G-30-S/PKI pecah. 1966--1971: Parmusi lahir, sebagai penampung dan penerus aspirasi warga Masyumi. Pemilu berlangsung (1971), dan cuma NU yang berhasil mempertahankan perolehan suara pada 1955. 1971--1976: Terjadi penyederhanaan parpol. Semua partai Islam bergabung dalam PPP. Meski fusi belum mulus benar dan terjadi pertikaian antara NU dan MI, PPP berhasil menambah perolehan suara. Pada masa ini PPP muncul sebagai oposisi, dan di motori oleh unsur NU -- terjadi walk-out menolak aliran kepercayaan (1978). 1978--1987: Pada kurun ini pertikaian antara unsur NU dan MI kian menjadi. NU makin kecewa ketika daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982 disusun. Naro makin menyingkirkan orang-orang NU. Ketidakpuasan NU akhirnya memuncak dengan keputusan Muktamar Situbondo bahwa NU melepaskan diri dari PPP. Makin dekat Pemilu 1987, NU makin melakukan aksi penggembosan PPP. Setelah asas tunggal diterima semua pihak, tidak haram untuk tidak mencoblos PPP, dan halal mencoblos Golkar atau PDI. Perolehan suara PPP anjlok. Bahkan, di Jakarta, ia kalah dengan PDI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus