KINI terbukti sudah, Bintang tak sesakti Ka'bah dalam merebut suara umat Islam. Dalam Pemilu 1987, Bintang ternyata hanya mampu mendudukkan 63 wakilnya pada kursi DPR, turun drastis dibandingkan perolehan Ka'bah lima tahun silam yang 94 itu. Perbedaan penampilan PPP di kedua pmilu itu memang tak cuma pada tanda gambar belaka. Ada yang lebih mendasar dari itu. Dengan Bintang, PPP harus menanggalkan jubahnya sebagai partai politik Islam dan memangku Pancasila sebagai asas. Selain itu, inilah untuk pertama kalinya PPP bertarung tanpa dukungan NU, kelompok yang sejak Pemilu 1955 hingga 1971 konsisten merengkuh sekitar 18 persen suara pemilih di Indonesia. Minggatnya NU hanyalah satu reaksi atas kepemimpinan PPP yang penuh kemelut itu. Ketua Umum H.J. Naro mengakui, "Ada faktor intern dan NU yang mempengaruhi suara PPP." Namun, dengan bangga Naro menilai 13,8 juta pemilihnya sebagai, "Pemilih-pemilih yang mantap dan dapat dijadikan modal partai." Sayang, Naro tampaknya tak mau secara terbuka dan lebih dingin menganalisa kekalahan partainya. Padahal, hasil pemilu membuktikan, PPP seharusnya lebih banyak berbenah diri. PPP memang sedang mengalami ujian berat. "Selama ini PPP kurang peduli terhadap umat," kata Drs. Lukman Harun, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tentang gembosnya OPP ini. Hal ini agaknya disadari sejumlah pimpinan partai ini. "Sekarang yang kami tekankan bukan lagi aspirasi Islam, tetapi kaderisasi," kata Mardinsyah, Sekjen DPP PPP, kepada Bunga Surawijaya dari TEMPO. Niat Mardinsyah ini memang sesuai dengan arah perkembangan PPP saat ini: menuju partai tcrbuka. Konsekuensinya, seperti dikatakan Ridwan Saidi, anggota komisi X DPR RI fraksi PP, "PPP akan kehilangan pemilih tradisional yang mencoblos karena menganggapnya partai Islam, tanpa peduli yang lainnya." Namun, agaknya, itulah harga yang harus dibayar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan zaman yang terus berubah. Sebab, jumlah pemilih tradisional, masih kata Ridwan Saidi, akan terus berkurang dengan semakin kritisnya rakyat Indonesia akibat proses modernisasi." Lagi pula, apa yang terjadi pada pemilu kali ini bukan berarti akan berulang terus pada pemilu pemilu mendatang. "Kalau para pimpinan PPP bisa melakukan pembenahan diri, massa pemilih bisa ditarik kembali," kata Yunan Nasution, 74 tahun, Ketua Dewan Dakwah Jakarta. Kritik terhadap gaya kepemimpinan PPP saat ini bukan hanya datang dari Yunan. Tapi bagai sebuah koor, ia datan dari barisan umat Islam, baik yang proPPP maupun bukan. Syafruddin Prawiranegara misalnya. Tokoh Masyumi ini mengaku tetap mendukune PPP karena partai itu memperjuangkan akhlakul karimah. Tapi ia menganggap partai itu tak akan maju bila tetap dipimpin Naro. "Yang penting sekarang menyelamatkan wadahnya. Pimpinan 'kan temporer dan bisa diganti," katanya. Bahkan Kiai Hamam Ja'far, pimpinan pondok pesantren Pabelan, Jawa Tengah, mengatakan, "Untuk tidak banyak masalah, memang pimpinan PPP sebaiknya didubeskan saja." Tentu saja ucapan ini dilakukan dengan setengah bercanda. Kalaupun usul Kiai Hamam ini ditanggapi serius, bukan berarti permasalahan PP tuntas. Masih ada masalah lain yang tak kurang penting untuk segera dibereskan, yaitu identitas. Sebab, kendati kini berasas Pancasila dan diharuskan menjadi partai terbuka, PPP tetap tak dapat begitu saja melepaskan ikatan sejarahnya, bahwa ia dilahirkan dari fusi partai-partai politik lslam. Persoalannya sekarang adalah peran apa yang harus dilakukan PPP sekarang dan di masa depan. Jawaban atas persoalan ini, tampaknya, cukup beragam. Dalam pandangan Dr. Nurcholish Madjid, yang melihat PPP akan tetap hadir sebagai partai kecil, "Sebaiknya peran PPP adalah melemparkan ide-ide politik yang jauh menyongsong ke masa depan dan bukan berkonsentrasi pada upaya memenangkan pemilu." Artinya, PPP diharapkan tumbuh seperti Partai Sosialis Demokrat di Jerman Barat, yang selalu mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan politik bangsanya bahkan juga ke negara lain di Eropa. Padahal, partai yang berusia sekitar serarus tahun ini belum pernah menjadi partai penguasa. Seorang pejabat tinggi yang tak mau disebut nama melihatnya dari sisi yang lain. "Saya melihat PPP kelak akan menjadi partai konservatif, Golkar moderat, dan PDI progresif," katanya kepada TEMPO. Sedangkan Yunan Nasution tetap melihat PPP sebagai partai wadah umat Islam. "Saya lihat tak ada satu ketentuan atau hukum yang mengharuskan PPP menjadi partai terbuka. PPP, menurut saya, anggotanya ya umat," katanya tegas. Pendapat Yunan, untuk sementara waktu, disokong oleh Dr. Alfian dari LIPI. "Dalam jangka waktu tertentu dari kini, PPP masih beranggotakan umat Islam saja ," katanya. Ia tak merinci berapa tahun proses ini akan bertahan dan hanya memastikan suatu saat keadaan ini akan menghilang. Kalau ramalan Alfian benar, agakny Aceh akan menjadi tempat terakhir terbuka nya PPP. Pasalnya, para simpatisan PPP d Aceh tetap bersikeras mengaitkan partainya dengan Islam. "Pendapat kami beda dengar pendapat Pak Naro di Aceh ini," kata Zulkifli Amin, 42, ketua umum generasi muda persatuan Aceh. Pandangan seperti ini tampaknya akan dicoba diubah Gubernur Ibrahim Hasan. "Kita lebih senang kalau tak ada partai agama. Dengan demikian, agama menjadi milik kita semua," katanya kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. "Tak boleh lagi sesama Islam saling mengafirkan. Apa Anda pikir orang-orang Islam yang ada di Golkar dan PDI itu juga kafir?" tambahnya. Posisi pimpinan PPP pusat sendiri, keliha tannya, terletak antara pandangan Ibrahim dan Zulkifli. "Sejak dulu PPP partai terbuka," kata Mardinsyah. "Memang aspirasi Islam dapat disalurkan lewat ketiga OPP, tetapi sebagai orang PPP kami bilang ditampung di PPP," tambahnya. Walhasil, para OPP akan bersain merebut massa mengapung Islam yang hampir 90 persen itu. PPP sendiri rupanya merasa kecolongandalam bersaing merebut massa pemilih muda. Paling tidak, itulah yang dikatakan Mohammad Soleman. Anggota Majelis Pertimbangan Partai PPP ini menduga PDI bergema kembali karena sebagian massa tradisionalnya kembali lagi, seperti kaum buruh di Tanjungpriok. Selain itu, penggunaan figur Soekarno dianggapnya sangat efektif dalam memikat pemilih muda. "Anak bungsu saya, mahasiswa tingkat tiga, ikut kampanye PDI karena Soekarno," kata Soleman. Untuk menghadapi hal-hal seperti ini, PPP mulai memikirkan cara penanggulangannya. "Misalnya kami akan memperjuangkan berlakunya pengajaran agama Islam sejak masih taman kanak-kanak." kata Soleman. Saat ini pengajaran agama dimulai di tingkat SD di sekolah negeri. Rupanya, diharapkan, semakin dini seseorang mengenal agama Islam, semakin besar kemungkinannya akan mencintai partai bernapas Islam. Benarkah pemikiran ini ? "PPP kini tidak punya pemikir yang bisa diandalkan," ujar Ridwan Saidi sambil membandingkan PDI, yang mempunyai Kwik Kian Gwie yang muncul dengan pemikiran-pemikiran segar. Maka, bila dalam atmosfer yang sedang berubah, posisi tak segera ditentukan, entah siapa lagi yang akan mengikuti partai ini di masa datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini