Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKBAR Tandjung sedang pusing tujuh keliling. Partai Golkar yang dipimpinnya "digempur" dari segala penjuru. Dua tokohnya, Jenderal (Purn.) Edi Sudradjat dan Jenderal (Purn.) Try Sutrisno mendirikan partai baru. Upaya Golkar mempertahankan pegawai negeri sipil (PNS) dalam pembahasan RUU politik, yang tenggatnya 28 Januari ini, kelihatannya mendapat tentangan keras dari partai politik (parpol) lainnya. Jika PNS akhirnya tak boleh memihak, boleh jadi Partai Golkar berada dalam kesulitan yang serius dalam pengumpulan suara nanti. Bagaimana Akbar berkelit dari berbagai masalah ini, berikut wawancara Karina Andari Anom dari TEMPO dengan Ketua Umum Partai Beringin itu, Kamis malam pekan lalu. Petikannya.
Masih banyak perbedaan pendapat tentang tiga RUU politik padahal 28 Januari ini adalah batas akhir pembahasan, apa mungkin selesai?
Jadwal telah ditetapkan oleh DPR, kita mesti menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Saya sudah menugasi Fraksi Karya agar mencari jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati. Caranya dengan pertemuan antara pimpinan parpol, pimpinan fraksi, dan Menteri Dalam Negeri.
Apa yang belum disepakati Golkar dan pemerintah?
Dalam soal PNS memang ada perbedaan. Menurut Golkar, semua warga negara mempunyai hak yang sama: punya hak memilih dan dipilih. Sedangkan menurut pemerintah, PNS harus optimal menjalankan tugasnya sebagai abdi negara sehingga sebaiknya mereka tidak terlibat dalam parpol. Pemerintah ingin mengatur hak-hak politik PNS dalam UU politik, sementara Golkar mengusulkan supaya hal itu diatur dalam dalam UU tersendiri, misalnya UU Kepegawaian. Kalau dirasa belum cukup, kita bisa memperbaiki dan menyempurnakan UU Kepegawaian itu. Sebab, UU politik diperuntukkan bagi semua warga negara, bukan untuk PNS saja.
Pertentangan Anda dengan Mendagri Syarwan Hamid tampaknya tajam sekali, mengapa?
Banyak yang ingin mempertentangkan Golkar dengan kelompok lain. Mereka ingin membuat opini bahwa Golkar berkonflik dengan pemerintah. Kesan ini sengaja dibuat. Padahal, secara prinsip saya tidak melihat ada perbedaan. Banyak yang menilai soal PNS ini untuk kepentingan Golkar, padahal hanya sedikit anggota Golkar yang menjadi PNS. Apalagi menteri bukan PNS. Justru yang banyak dari partai lain, misalnya ada Amien Rais dan Faisal Basri di Partai Amanat Nasional yang menjadi PNS. Jadi, ini bukanlah untuk keuntungan Golkar tapi untuk kepentingan yang lebih luas.
Tapi bukankah selama ini Golkar sangat diuntungkan dengan monoloyalitas PNS?
Sikap kita soal PNS ini tidak ada kaitannya dengan perolehan suara Golkar. Golkar ingin abdi masyarakat itu netral. Bagaimana mekanismenya, kita serahkan ke pemerintah. Tidak perlu diatur dalam UU politik tapi diatur dalam UU tersendiri. Kita sepakat bahwa pemerintah harus netral. Kalau PNS mau menjadi pengurus parpol, ia harus menanggalkan jabatan PNS-nya sementara untuk netralitas. Jadi, soalnya cuma di mana hal itu diatur, apakah di UU politik atau di UU tersendiri. Mengenai substansinya tidak ada masalah.
Bagaimana dengan usul Golkar soal daerah pemilihan di kabupaten?
Kita menyetujui sistem pemilu proporsional dengan pendekatan distrik. Kita menilai, pemilihan di daerah tingkat dua (kabupaten) akan memungkinkan rakyat mengenal calon yang dipilihnya. Selama ini rakyat tidak mengenal calon yang dipilihnya. Ini sama saja dengan membeli kucing dalam karung. Ini sebenarnya merupakan suatu reformasi jika dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu. Jadi bukan sekadar menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi Golkar.
Ada yang bilang birokrasi di kabupaten akan memenangkan Golkar?
Belum tentu juga. Golkar memilih sistem ini karena paling tepat dan memungkinkan untuk memperhatikan aspirasi rakyat.
Bagaimana dengan jumlah kursi ABRI?
Selama ini ada usul 25 sampai 50 kursi. Menurut Golkar, 40 kursi ABRI di DPR cukup representatif.
Golkar disaingi parpol yang didirikan mantan kader Golkar, misalnya Edi Sudradjat, komentar Anda?
Ancaman itu dari luar dan dalam. Dari luar, ada kelompok yang berupaya mendiskreditkan dan mengidentikkan Golkar dengan semua kesalahan di masa lalu. Padahal bukan hanya satu parpol yang terlibat waktu itu. Ancaman dari dalam adalah dari kader-kader yang membentuk partai baru atau masuk ke partai lain. Padahal dalam munas luar biasa yang lalu, mereka termasuk kader yang aktif sekali, hasil munas adalah hasil mereka juga. Kalau sekarang mereka membentuk partai baru, biarlah masyarakat yang menilai. Tidak ada yang salah dengan prinsip Golkar, kita tidak tahu apa alasan mereka sebenarnya.
Mereka itu cuci tangan terhadap kesalahan masa lalu Golkar?
Saya rasa masyarakat lebih tahu. Masyarakat bisa menilai mana kader yang bisa dijadikan teladan, mana yang tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo