Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARISAN bibit bakau itu seperti ribuan patahan lembing menancap di pinggiran pantai yang tandus, di Ulee Lheu, Meuraxa, Banda Aceh. Saat malam hari, laut yang pasang membasuh tumbuhan yang terendam air payau itu. Angin laut membangkitkan riak kecil pada genangan air, membuat bibit bakau itu menari-nari. Tingginya baru sepinggang orang dewasa dan masih sulit tegak tanpa penyangga kayu. Pada sejumlah pohon, satu-dua helai daun mungil menyembul tumbuh.
"Kami menanamnya sebulan yang lalu," ujar Ismail, 25 tahun, warga Meuraxa. Sekitar 20 ribu bibit bakau itu sumbangan dari Oxfam, lembaga nirlaba yang berbasis di Inggris. Di Peukan Bada, tetangga Kecamatan Meuraxa, aksi tanam bakau juga sudah dimulai. Dua pekan lalu, tanaman itu sempat pula dijenguk Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar.
Pelan-pelan, rupanya warga Banda Aceh sudah mulai membangun kembali kehidupan mereka. Problem utama mereka: soal rumah. Ismail, seperti ribuan korban tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, tak betah lagi menetap di barak pengungsi. Sejak sebulan lalu, kata Ismail, ribuan warga berusaha membangun kembali rumah mereka. Bantuan dari pemerintah untuk rumah, kata Ismail, memang belum turun. Soalnya, semua menunggu pengurus Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Status hukum badan itu sudah rampung. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengumumkan pembentukannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2005, bertajuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara. "Presiden sudah menandatangani peraturan ini," ujar Yusril, Senin pekan lalu.
Badan itu, kata Menteri Yusril, terdiri atas tiga organ, yakni Dewan Pengarah, Dewan Pengawas, serta Badan Pelaksana. Ketiganya bekerja dan bertanggung jawab kepada Presiden. Untuk melancarkan kerja, setiap organ itu boleh punya sekretariat sendiri-sendiri. Masa kerja badan tersebut, kata Yusril, empat tahun dan kalau perlu masih bisa diperpanjang.
Badan Pelaksana merupakan organ paling penting. Meski begitu, Dewan Pengawas akan bekerja secara independen mengawasi dan menindaklanjuti berbagai pengaduan masyarakat atas kinerja Badan Pelaksana. Badan Pengawas juga bisa menyewa auditor profesional serta memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada Presiden.
Selain itu, kata Yusril, pengawasan juga akan berlapis-lapis. Dalam soal ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan berkonsultasi dengan Presiden untuk pengawasan dan pemeriksaan atas dana, baik lewat APBN maupun non-APBN, termasuk juga dana yang digunakan pada saat tanggap darurat.
Proyek rekonstruksi Aceh menyedot dana yang sungguh besar. Pemerintah, kata Yusril, menganggarkan sekitar Rp 41 triliun. Tentu saja, agar dana tak mampir ke tempat yang salah, dibuat ketentuan pidana yang tegas. Disebutkan, setiap pencolengan dana akan dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi. Apalagi dana itu berasal dari luar APBN, yang langsung diatur oleh sejumlah negara pemberi bantuan. Jumlahnya cukup besar. "Kita harus sangat hati-hati," kata Yusril. Ini jelas bukan lagi badan darurat.
Secara struktur, Badan Pelaksana akan dipimpin seorang kepala yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara itu, wakil kepala secara ex officio dijabat Gubernur Aceh. Di bawahnya ada seorang Sekretaris Badan Pelaksana dan deputi-deputi. Mereka mengurus berbagai macam tugas, dari soal pelayanan publik, ekonomi, perbankan, dunia bisnis, sampai ke soal kesehatan, adat-istiadat, dan lain-lain. Proyek rekonstruksi itu mencakup tata ruang, lingkungan hidup dan sumber daya alam, perumahan dan permukiman, pendidikan, penciptaan lapangan kerja, keuangan, sampai ke agama dan adat-istiadat.
Sampai akhir pekan lalu, belum jelas siapa yang bakal mengisi jajaran pengurus di badan itu. Soalnya, semua nama itu ada di tangan Presiden. Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, mengatakan posisi jabatan di badan itu sangat strategis. Maka, sebaiknya pemerintah mengadakan fit and proper test. "Dengan begitu, semua pihak bisa melihat siapa paling cocok," ujar kader Partai Keadilan Sejahtera itu. Dengan fit and proper test, soal layak atau tidak layak bisa diukur oleh publik.
Selama ini, kata Nasir, memang sudah beredar sejumlah nama. Kuntoro Mangkusubroto, bekas Menteri Pertambangan dan Energi, adalah salah satunya. Sempat juga melintas nama Luhut Panjaitan, bekas Menteri Perdagangan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh Nasir, Kuntoro tampaknya punya peluang paling besar. "Katanya dia bersih dan punya reputasi internasional," ujarnya. Meski Kuntoro calon yang baik, kata Nasir, tak semua orang tahu apakah dia pilihan paling tepat memimpin badan yang nantinya berkantor pusat di Banda Aceh itu.
Selain itu, wewenang Badan Pelaksana rupanya juga menyimpan masalah. Dr Humam Hamid dari Aceh Recovery Forum melihat masih ada upaya pengendalian luar biasa dari pusat. Kecenderungan itu, kata Humam, bisa mematikan peluang lokal. Dia merujuk Pasal 20 pada peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu. "Semua alokasi dana yang tidak dibiayai dari APBN pun harus mendapat persetujuan Badan Pelaksana," ujarnya. Kalau wewenang itu dijalankan, kata dia, tak ada beda antara bantuan dan penanaman modal asing.
Sosialisasi soal Badan Pelaksana ini juga belum jalan. Menurut Humam, pemerintah harus menjelaskan status Aceh yang masih darurat sipil. Kalau dihadapkan dengan undang-undang darurat, wewenang Gubernur akan menjadi paling tinggi, sementara di Badan Pelaksana dia hanya menjadi wakil kepala. "Penting menegaskan siapa yang in charge dalam keadaan darurat begitu," ujarnya.
Pelaksana tugas Gubernur Aceh, Azwar Abubakar, mengatakan peran pemerintah daerah akan besar dalam struktur Badan Pelaksana. Badan itu juga akan melihat reputasi negara donor yang akan membantu rekonstruksi. Menurut dia, sudah banyak yang berjanji akan membantu. "Ada yang sudah punya program dan langsung terjun," kata Azwar.
Sayangnya, berapa kucuran duit bantuan itu belum bisa dibuka sampai Badan Pelaksana terbentuk. Prioritas pembangunan, kata Azwar, adalah rumah penduduk, sekolah, rumah sakit, jalan dan fasilitas publik lainnya. Untuk proses rekonstruksi, kata dia, setidaknya Aceh butuh 1 juta kubik kayu. Untung sudah ada negara yang bersedia membantu, seperti Finlandia, Swedia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jerman, dan Denmark. "Kayu olahan Aceh hanya tersedia 100 ribu kubik," ujar Azwar. Rencananya, dia akan terbang ke Amerika Serikat pekan depan untuk peluncuran perdana bantuan kayu itu.
Kebutuhan kayu memang sangat nyata di lapangan. Soalnya, warga lagi getol membangun rumah mereka setelah rata dihajar tsunami. Di Lambada Lhok, Baittussalam, Aceh Besar, warga di sana kini sangat membutuhkan rumah. Seorang warga Lambada, Sulaiman, 55 tahun, mengatakan memang ada bantuan yang mengucur. Tapi bantuan rumah belum pernah turun.
Bantuan lain juga ada. Misalnya, satu lembaga swadaya masyarakat asal Prancis menghibahkan 20 mesin kapal untuk nelayan yang telah kembali melaut. Harapan si donor, dari hasil melaut itu warga kembali membangun rumah sekadarnya. Dari mana kayu didapat? "Kayunya kami ambil dari puing bencana tsunami," ujarnya.
Di Lampuuk, Lhok Nga, Aceh Besar, semua warga di desa itu sepakat kembali ke tempat semula. Mereka membangun rumah di lokasi sekitar Masjid Rahmatullah, Lampuuk. Masjid itu adalah bangunan satu-satunya yang selamat di sana. Salah satu warga mengatakan mereka hanya betah tinggal sementara di barak pengungsi. Lampuuk adalah tanah kelahiran mereka. Sawah dan kebun juga berada di sana. "Kami sudah siap kembali bekerja," ujar Amri, salah satu tokoh di desa itu.
Aceh menggeliat bangun. Badan Pelaksana seharusnya mendorong kecepatan rekonstruksi, bukan menambah masalah baru.
Nezar Patria, Adi Warsidi, Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo