Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, 23 Februari 2003, mereka mencoba mengulangi apa yang telah dilalui bersama. Ya, malam itu, malam acara penyerahan Grammy Awards di New York, suara Art Garfunkel masih seperti dulu: mengalir seperti kali yang jernih. Sedangkan Paul Simon mengalun pada garis melodi yang lain, tapi tak kedengaran bak suara "orang lain". Tak lama berselang, terjalinlah suatu harmonisasi keduanya yang sukar dilupakan.
Malam itu, pasangan Art Garfunkel-Paul Simon membawakan Sound of Silence seraya menyebut gelapnya dunia ini "kawan lama". Dunia seakan-akan tidak banyak berubah: apa yang mereka keluhkan dulu tetap berlangsung kini. Duet Art Garfunkel-Paul Simon di luar sana; Leo Kristi, Ebiet G. Ade, kelompok asal Bandung, Bimbo, serta sejumlah nama lain di dalam sini, masing-masing mempunyai lagu yang menembus batas-batas zamannya.
Dalam pertunjukannya di Galeri Kiai Langgeng, Magelang, Jawa Tengah, Rabu malam awal April lalu, Leo Kristi menyanyikan Bencana Tanah Negara. Sebuah lagu lama yang bercerita tentang rumah dan sekolah yang roboh, bertumpuk menjadi puing. Suara falseto Leo menggema, pilihan kata-katanya dan repetisinya pada kata tertentu seolah melahirkan suatu musik sendiri. Leo memikat, penonton bersorak, dan empati terhadap para korban bencana di tanah Aceh, Sumatera Utara, kemudian Nias, menyebar.
Balada memang musik yang istimewa. Setiap kali bencana besar pecah di negeri ini, pelbagai stasiun televisi rajin memutar Berita kepada Kawan, sebuah lagu Ebiet G. Ade yang dirilis pada 1979. Lagu yang mencoba menangkap makna di balik geliat alam: barangkali di sana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana, mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita.
Musik, penyanyi yang memetik gitar akustik, syair yang bagussemua elemen penting dalam balada. Balada bersahaja, tapi membawakan pesan yang kuat. Ya, di Amerika ada Bob Dylan atau Joan Baez, yang kerap menyanyikan sebuah pernyataan antiperang. Where Have all the Flowers Gone, karya Peter Seeger, berkisah tentang para pemuda yang terjun ke medan perang, yang tak mendapat apa-apa kecuali mencium tanah pekuburan. Dan di Indonesia ada Iwan Fals, yang menulis Galang Rambu Anarki, lagu perlawanan yang berani, yang langsung terasa aktual begitu pemerintah memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak.
Balada berpijak di atas bangunan puitis, tema-tema universal yang tak kunjung layu. Tapi dunia musik berubah, dan tempat para penyanyi individual bergitar, bercelana jins, digantikan oleh kelompok-kelompok musik, band remaja. Memang, sejauh ini Ebiet G. Ade pada 2002 pernah merekam album baru Bahasa Langitalbum yang cepat ditarik dari peredaran karena pembajakan yang menurut istilah Ebiet "gila-gilaan". Juga ada Ully Sigar Rusadi, guru musik yang juga menyanyi, yang yakin bahwa penyanyi balada tak pernah tenggelam. Atau Bimbo, yang Juni nanti merilis satu album. Atau Iwan, yang terus beradaptasi dengan perkembangan musik. Pendeknya, kreativitas para penyanyi balada tak berakhir. Namun, bagaimana dengan regenerasi para pemusik balada?
Indonesia dan Amerika sama saja. Era 1980-an berjalan dengan kecenderungan baru: Westlife menjadi sasaran kegandrungan massa pencinta musik pop. Musisi-penyanyi individual tenggelam, dan kelompok anak muda yang membawakan lagu-lagu cinta menular sampai Indonesia. Kita tahu, munculnya Dewa, Padi, Sheila On 7, Jikustik, dan Peterpan cepat menyurutkan warna musik sebelumnya. "Sekarang tidak ada tokoh baru sekelas Bob Dylan yang bisa jadi idola generasi muda sehingga generasi baru musik balada tidak muncul," ujar Remi Silado, novelis sekaligus pengamat musik.
Yang memprihatinkan, kiblat musik anak-anak muda sekarang lebih mengaitkan hubungan popularitas dengan uang, hubungan sebab-akibat yang instan. American Idol, mungkin juga beberapa tayangan serupa di Indonesia, memperlihatkan gejala itu. "Dulu, Bob Dylan tidak seperti itu, orientasinya bukan uang," tutur Remi.
Di zaman seperti ini, penyanyi balada sulit menembus industri rekaman. Industri rekaman, yang berpijak pada pasar, jelas tidak mau berspekulasi, demikian tutur pemilik Musica Studio, Indrawati Wijaya. Sedangkan pasar mengikuti kiblat televisi, yang programnya seragam. "Televisi Indonesia latah. Kalau satu TV menyiarkan sesuatu, semuanya begitu. Rakyat Indonesia ini cuma dicekoki apa maunya TV," kata Sam Bimbo.
Sam mengeluh. Tubuhnya tak seramping dulu, rambutnya masih panjang tergerai, tapi tidak lagi selebat dulu. Mungkin benar kata Franky Sahilatua, penyanyi balada yang pernah jadi bagian dari duet Franky and Jane pada awal 1980-an. Franky, kini seorang aktivis, punya keyakinan bulat: penyanyi balada terlahir hanya dalam satu dekade. "Tanah yang melahirkan kami berbeda. Dulu, tanah itu melahirkan buah seperti kami. Sekarang, zaman itu tidak datang lagi." Tapi, begitukah kenyataannya?
Di Amerika, generasi bunga tidak serevolusioner dulu, dan pasangan Paul Simon-Art Garfunkel sudah lama bubar. Tapi malam itu, dua tahun lalu, mereka naik panggung bersama: keduanya menyabet penghargaan khusus dari National Academy of Recording Arts and Sciences. Mereka tahu, dunia berubah, tapi jumlah orang yang tersisih tak kelihatan berkurang. Dan Simon-Garfunkel tidak mencari penyebabnya, tidak menawarkan solusinya. Seperti lirik Bridge over Troubled Water, mereka mungkin hanya ingin menyerukan sesuatu yang universal, warisan dari generasinya dulu: sensitiflah terhadap penderitaan orang lain.
L.N. Idayanie, Dwi Wiyana (Bandung), Heru C.N. (Magelang), IFS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo