Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bagi kelompok masyarakat tunarungu atau tuli dan tunawicara atau bisu, bahasa isyarat menjadi alat komunikasi antara satu dan lainnya. Di Indonesia, setidaknya terdapat dua bahasa isyarat yang digunakan, yaitu Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo dan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau Sibi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Tempo, Adi Kusumo Baroto, peneliti bahasa isyarat di Universitas Indonesia, mengatakan Bisindo lahir dari komunikasi alamiah kelompok Tuli di Indonesia, sedangkan Sibi merupakan bahasa isyarat buatan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan mendasar keduanya dapat dilihat dari jumlah penggunaan tangan. Secara umum, Bisindo cenderung menggunakan dua tangan untuk merepresentasikan satu huruf, sedangkan Sibi cukup menggunakan satu tangan saja.
Penggunaan satu tangan pada Sibi tidak jauh berbeda dengan bahasa isyarat di Amerika, yaitu American Sign Language atau ASL. Di tingkat dunia, selain ASL, bahasa isyarat lain yang cukup terkenal dan kerap menjadi rujukan adalah bahasa isyarat di Inggris, yaitu British Sign Language atau BSL.
Lantas, apabila terdapat perbedaan bahasa isyarat dalam negeri, bagaimana komunitas Tuli antarnegara saling berkomunikasi?
Merujuk laman resmi National Institute on Deafness and Other Communication Diseases, tidak ada bahasa isyarat universal yang disepakati. Artinya, bahasa isyarat setiap negara atau daerah akan berbeda dengan wilayah lainnya.
Singkatnya, kelompok Tuli yang memahami Bisindo atau Sibi belum tentu dapat berkomunikasi dengan kelompok Tuli yang menggunakan ASL ataupun BSL. Sama halnya dengan penutur asli lisan bahasa Indonesia yang kesulitan berkomunikasi dengan penutur asli lisan bahasa Inggris.
Merujuk laman wecapable.com dan babbel.com, upaya untuk menyeragamkan bahasa isyarat atau menciptakan bahasa isyarat universal sebenarnya pernah terjadi pada 1924 ketika kelompok Tuli mengembangkan metode komunikasi dalam ajang Internasional Games for the Deaf yang sekarang lebih dikenal sebagai Deaflympics.
Kemudian, pada 1970-an, World Federation of the Deaf mencoba membuat Bahasa Isyarat Standar Internasional untuk memudahkan komunikasi selama pertemuan-pertemuan bertaraf internasional. Dalam buku tersebut, setidaknya terdapat 1.500 tanda yang dapat digunakan oleh kelompok Tuli internasional. Sayangnya, upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.
Dikutip dari laman wecapable.com, hal tersebut disebabkan setiap bahasa isyarat di masing-masing negara kerap kali memiliki keunikan dan komunitas Tuli internasional yang bertemu dalam kegiatan sehari-hari biasanya mengembangkan bahasa isyarat alamiah dan informal tersendiri.
Kendati demikian, pengecualian biasanya muncul dalam forum global yang membutuhkan penerjemah bahasa isyarat. Dikutip dari laman wecapable.com, biasanya dalam forum tersebut terdapat bahasa isyarat internasional atau International Sign yang disepakati sebagai pidgin atau alat bantu selama forum berlangsung.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa International Sign tersebut bukanlah bahasa isyarat universal sebab hanya berlaku dan digunakan selama forum dan berdasar kesepakatan beberapa penerjemah dalam kegiatan tersebut sehingga dapat berbeda-beda pada forum lainnya.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN