Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Bali, misalnya. Kamis malam lalu, rumah Made Suwija, Koordinator Kecamatan (Korcam) PDI Perjuangan di Desa Cempaga, Kabupaten Buleleng--yang merupakan basis Golkar--tiba-tiba ditimpuki ratusan warga desa. Saat itu, Suwija tengah dibesuk tujuh orang simpatisan PDI Perjuangan. Belasan anggota PDI datang membantu. Maka, terjadilah tawur massal yang menyebabkan belasan orang luka-luka dan beberapa nyawa melayang. Yang sudah ditemukan jasadnya baru empat, yaitu Gde Sukadana, Jro Tamat, dan Ida Komang Yudana, dari kubu PDI, serta I Putu Arta, Kepala Desa sekaligus Komisaris Desa (Komdes) Golkar Pedawa. Beberapa warga yang hingga kini nasibnya tak jelas diduga telah meninggal, walau mayatnya belum ditemukan.
Aksi brutal ini merupakan puncak dari perseteruan sebelumnya. Bermula dari pemukulan empat simpatisan PDI oleh massa yang diduga "golongan kuning" awal Oktober lalu, tindakan itu diikuti serentetan serangan dan saling bakar posko, rumah, dan mobil fungsionaris dari kedua belah pihak. Sampai-sampai, entah ada hubungannya entah tidak, setelah rumah Komdes Golkar Banjar diporak-porandakan massa, komdes dan sesepuh Golkar di sana hijrah ke kandang Banteng.
Bentrok serupa terjadi di Brebes, Jawa Tengah. Minggu dua pekan lalu, apel Golkar di Stadion Karangbirahi diobrak-abrik massa PDI Perjuangan. Akibatnya, 16 orang warga Beringin luka. Puluhan mobil dan motor pun dibakar. "Kami lari ke sawah, masih saja dikejar. Mereka baru berhenti setelah saya melepas jaket kuning," ucap Nyonya Tadjudin Nurally, istri Ketua DPD Golkar Brebes, dengan gemetar. Massa Banteng rupanya gemas melihat pamer kekuatan yang dinilai bergaya Orba itu--karena didukung birokrasi. Memang, dalam apel itu pejabat setempat berdiri berjejer-jejer. Menurut Ketua PDI Brebes, Tasroni Prayitno Budi, kepada setiap camat dan kepala desa diinstruksikan untuk mendatangkan massa. Juga ada pengerahan guru oleh kepala dinas pendidikan dan kebudayaan setempat. "Tiap desa mengirim 4-10 truk anggota," kata Ibung Bunyamin, Sekretaris DPD Golkar Brebes.
Tapi bentrok bukan cuma milik Golkar dan PDI. Di Pekalongan, Kamis dua pekan lalu, juru kampanye PPP K.H. Afifuddin dihajar massa. Pasalnya, sewaktu berdakwah di suatu resepsi pernikahan, ia menyelipkan berbagai hujatan terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Golkar--suatu hal yang juga dilakukannya dalam kampanye pemilu 1997 yang menyebabkan dirinya diadukan ke polisi. Tapi kali ini kemarahan segera merebak pada sebagian dari 2.000 undangan. Akhirnya, panggung pelaminan menjadi arena tawur massa. Dan pemimpin Pondok Pesantren The Holy Al Furqon itu pun babak-belur.
Rentetan bentrok ini mengingatkan pada berbagai kerusuhan yang selalu saja terjadi di seputar kampanye pemilu. Toh, pengalaman pahit itu tak membuat para anggota Panitia Kerja RUU Politik DPR menolak model pengerahan massa. Ketua Umum PPP Hamzah Haz kepada Edy Budiyarso dari TEMPO bahkan mengatakan, "Kampanye tanpa mengundang massa kan tidak semarak."
Tapi peserta Dialog Antar-Parpol di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dua pekan lalu, lebih awas. Forum itu merekomendasikan model kampanye melalui media massa, diadakan di gedung tertutup, dan melarang pawai kendaraan bermotor. Tiga parpol, PKB, Partai Amanat Nasional, dan PDI Perjuangan, pun tengah menggodok kesepakatan yang kurang lebih searah. "Pengerahan massa terlalu berisiko, rawan provokasi," ujar Bendahara PDI Perjuangan Laksamana Sukardi kepada Hardy Hermawan dari TEMPO.
Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pun sependapat. Ia berhitung, dengan kriteria sekarang, setidaknya ada 15 partai yang akan ikut pemilu. Jika tiap partai dijadwalkan berkampanye setiap minggu, itu berarti dalam satu hari ada dua partai berkampanye. Dan jika modelnya turun ke jalan, bentrok fisik sulit dihindarkan. Selain itu, Syarwan menyoroti "faktor Golkar" sebagai kerawanan dalam kampanye mendatang karena kejengkelan masyarakat atas berbagai rekayasanya di masa lalu. "Sepertinya Golkar itu merupakan musuh bersama dari banyak partai," ujarnya.
Karaniya Dharmasaputra, Bandelan Amaruddin (Jateng), I Nyoman Sugiharta (Bali), Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo