Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berbeda Bukan Berarti Pecah

Kedudukan Abdurrahman Wahid gagal digeser pada Munas dan Konbes NU di Cilacap. Mahbub Junaidi mengusulkan ide khittah plus. Beberapa sikap dan ucapan Abdurrahman Wahid dianggap sudah menyimpang.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH Kiai As'ad Syamsul Arifin pernah menyetujui untuk menggeser Abdurrahman Wahid dari kedudukannya sebagai Ketua PB NU? Sepekan setelah Munas dan Konbes NU di Cilacap, beberapa pertanyaan itu masih juga muncul. Ditemui wartawan TEMPO M. Baharun di pesantrennya pekan lalu, Kiai As'ad, 90 tahun, tampak kurang sehat. Sejak beberapa pekan lalu penyakit asmanya kambuh. "Karena itulah saya tidak dapat hadir di Munas Cilacap," katanya sembari terbatuk-batuk. Kiai As'ad membenarkan bahwa Mahbub Djunaidi dan K.H. Mujib Ridlwan, Rais Syuriah NU Jawa Timur, datang menemuinya, 30 Oktober yang lalu. Ketika itulah Mahbub menyampaikan ide Khittah Plus dan keinginan menggeser Abdurrahman Wahid. "Saya tidak menanggapi. Bahkan saya menyarankan agar diminta pendapat dari mustasyar yang lain," tuturnya. Untuk menghimpun pendapat para mustasyar lainnya, dia meminta diadakan suatu pertemuan, agar saran yang keluar dari mustasyar bersifat kolektif. Anggota mustasyar sebetulnya sembilan aorang, tapi dua di antaranya, Kiai Machrus Ali dan Saifudin Zuhri, sudah meninggal dunia. Tujuh yang tinggal adalah As'ad, Masykur, Imron Rosjadi, Anwar Musaddad, Idham Chalid, Ali Ma'shum, dan Munasir. Pertemuan itu kemudian berlangsung pada 7 November 1987, di rumah Kiai Mujib Ridlwan di Jalan Bubutan, tak jauh dari Pasar Turi, Surabaya. Ternyata, beberapa mustasyar absen, sekalipun telah diundang. Selain Kiai As'ad, yang datang adalah Kiai Masykur dan Imron Rosjadi. Hadir juga Mahbub Djuanaidi, Wakil Ketua PB NU, K.H. Syaiful Masykur, putra Kiai Masykur, Koen Solehuddin, pengurus wilayah NU Jawa Timur, Zahrowi Musa, pembantu Kiai As'ad, dan Mujib Ridlwan selaku tuan rumah. "Ketika itu saya mengimbau agar mengartikan kembalinya NU ke Khittah 1926 itu dengan meneladani pengabdian ulama pendiri NU, seperti K.H. Hasjim As'ari, K.H. Abdul Wahab, Kiai Haji Bisri Sjansuri." kata Kiai As'ad. Pertemuan menghangat ketika K.H. Imron Rosjadi menyampaikan berbagai sikap dan ucapan Abdurrahman Wahid yang dianggap sudah menyimpang. Malah Imron Rosjadi menginformasikan di pertemuan itu bahwa sebenarnya Gus Dur -- panggilan akrab Abdurrahman Wahid -- tak disenangi pemerintah. "Tapi kepada para hadirin saya minta agar informasi itu dilengkapi dengan fakta-fakta. Gunanya akan saya cocokkan dengan pihak lain." kata Kiai As'ad. Kiai As'ad kemudian memang mencoba mencocokkan informasi yang diterimanya. Ia mengirim Zahrowi Musa menemui seorang menteri di Jakarta untuk mengecek betulkah Gus Dur sudah "tak disukai". Hasilnya: "Ternyata, tidak betul. Yang jelas, pemerintah suka Gus Dur," ujar Kiai As'ad. Kalau begitu. gagalkah pertemuan Bubutan? "Tidak. Rapat ini hanya mengumpul masukan," katanya. Memang salah satu tugas mustasyar adalah untuk menampung uneg-uneg pengurus NU. Dan yang bisa dihasilkannya adalah saran-saran. Misalnya, bila Abdurrahman Wahid harus digusur, Kiai As'ad menyarankan agar pengurus wilayah dan cabang-cabang NU membuat surat tertulis. "Saya menghargai tatanan organisasi, tak akan bertindak sendiri-sendiri," katanya. Apakah saran ini sudah dilaksanakan, tak jelas. "Saya tunggu sampai sekarang kok tak ada kelanjutannya," katanya. Kiai itu melihat yang terjadi di NU sekarang adalah perbedaan pendapat, bukan perpecahan. Dia menganggap perbedaan pendapat bukan masalah sepanjang itu bukan demi kepentingan pribadi, tapi untuk NU. Dengan melempar gagasan Khittah Plus, Mahbuh Djunaidi, menurut Kiai As'ad, masih dalam batas menjalankan haknya di negara demokrasi Pancasila. Berhasil atau tidak, itu soal lain. "Tapi saya percaya Mahbub tidak punya ambisi pribadi." Menanggapi Khittah Plus sendiri, Kiai As'ad berkata, "Jika yang dimaksudkan NU harus jadi parpol kembali, saya tidak setuju. Sebab, Khittah 1926 sudah mencakup pekerjaan politik dalam arti luas atau makrifat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus