Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah Rumah Buat Hari Tua

R. Soedjono Soejoningprodjo, 70, mendapat hadiah rumah di Dukuh Menanggal, Surabaya. Sumbangan darahnya sudah ke-263. masih bekerja sebagai pegawai PMI. Sudah 20 tahun tidak makan nasi.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN pekan ini akan tercatat sebagai hari penting dalam sejarah hidup R. Soedjono Soerjoningprodjo, 70 tahun. Hari itu rumah kontrakan berukuran 3,5 X 6,5 meter yang selama beberapa tahun terakhir ini didiami, ditinggalkannya. Ia kini menempati rumah sendiri di perumahan Dukuh Menanggal, Wonocolo, Surabaya. Rumah baru itu sebuah rumah Perumnas tipe F-36 dengan dua kamar tidur, sebuah kamar mandi, ruang tamu, dan dapur. Luas seluruh bangunan cuma 36 m2, terletak di lantai dasar perumahan susun berlantai empat itu. Tapi rumah ini istimewa karena merupakan hadiah dari Presiden Soeharto. "Ya, saya akan mengadakan selamatan sederhana sebagai ungkapan rasa syukur," ujarnya pekan lalu. Riwayat hadiah Presiden itu bermula Juli silam, tatkala di Jakarta diselenggarakan Kongres Persatuan Donor Darah Indonesia. Waktu itu semua peserta kongres, termasuk Soedjono, diterima Presiden Soeharto di Istana Negara. Seusai bersalaman dengan Kepala Negara, Soedjono menyodorkan map. Isinya: minta rumah. Tak terduga, ternyata, Presiden memperhatikan permintaan itu. Agustus lalu Soedjono dikagetkan oleh sebuah telepon dari Tarsiwan, staf Sekretaris Militer Kepresidenan. Pak Harto ternyata meluluskan permintaan Soedjono. Di bidang donor darah, mungkin tak banyak orang yang bisa menyamai prestasi Soedjono. Dalam usia 70 tahun, awal November yang lalu, dia masih mendonorkan 250 cc darah ke PMI Surabaya. Itu sumbangan darahnya yang ke-263, sejak menjadi donor PMI pada November 1949. Kalau dihitung, sudah 65,75 liter darah Soedjono mengalir di tubuh orang-orang yang membutuhkan. Jumlah 263 kali itu, dalam catatan PMI, memang bukan merupakan angka tertinggi. Menurut dr. Mena Nababan, Kepala Pembinaan Lembaga Transfusi Darah, Dinas Transfusi Darah PMI Pusat, di Bandung ada Pak Akis, 67 tahun, yang pada 4 Juni yang lalu mendonorkan darahnya untuk ke-300 kali. Itu merupakan sumbangan darah terakhir dari bekas pegawai Poliklinik PMI Cabang Bandung itu, karena, "Kesehatannya kini agak menurun. Saat ini ia tidak bekerja, sedang sakit di Bandung," ujar Mena. Namun, Soedjono merupakan donor tertua. Malah mungkin ia merupakan donor darah tergaek di dunia. Di luar negeri, menurut dr. Mena, batas umur untuk donor darah lebih ketat: umur 18 sampai 60 tahun dan tiap tahun sumbangan darah tak boleh lebih dari enam kali. Artinya, seorang donor maksimal menyumbangkan darahnya 252 kali saja seumur hidup. Sumbangan darah Soedjono agaknya akan terhenti pada angka 263. Sebab, menurut dr. Lukman Ichsan, Ketua PMI Surabaya, patokan yang biasa dipakai PMI untuk umur para donor adalah 60 sampai 65 tahun. Disamping demi kepentingan kesehatan si donor, "Kualitas darahnya 'kan juga kian menurun." Lukman sendiri menganggap Soedjono sebagai suatu kasus. Selain diperbolehkan menyumbangkan darah hingga umur 70 tahun, kakek dengan lima anak, 29 cucu, dan 40 Cicit ini juga masih dipakai sebagai pegawai di PMI. Jabatannya Kepala Subbagian Pelayanan Donor yang sering memaksanya bekerja lembur. "Selama masih produktif dia akan terus kami pakai," katanya. Dalam umur 70 tahun, pundak Soedjono sudah tampak membungkuk, kumis, janggut, dan seluruh rambut sudah memutih. Kaca mata plus dua. Tapi gigi depannya masih utuh. Tubuhnya terlihat segar. Buktinya, setiap ke Jakarta dia naik bis. Setiap hari dia pergi ke kantor naik sepeda menempuh jarak 20 km pergi-pulang. "Otot-otot saya jadi lebih segar dengan bersepeda," katanya. Sebuah sepeda motor yang dimilikinya tiga tahun kini menganggur. "Paling-paling saya yang pakai," kata Tumiasih Yuni Ismiati, 27 tahun, istrinya, yang biasa dipanggil Yeni. Ia istri yang ketiga. Dua istrinya sebelum saya telah meninggal dunia. Yeni, yang dinikahinya lima tahun lalu, Agustus tahun ini memberinya seorang anak laki-laki. "Sebagai suami, Bapak itu tetap tongseng," kata Yeni. Mau sehat seperti Pak Djono? Simaklah ini: sejak kecil dia berpantang makan daging, tak minum teh atau kopi. Ia juga tidak merokok. Sejak 20 tahun yang lalu, setelah kakek, nenek, ibu, paman, dan bibinya meninggal karena diabetes, Pak Djono berhenti makan nasi. "Saya khawatir penyakit itu menurun," katanya. Sehari-hari dia cuma makan aneka sayur, seperti bayam dan kangkung, kemudian buah-buahan dan jamu godokan. Dia rajin berjalan kaki dan, ya itu, naik sepeda tadi. Pernah sakit? "Paling kena flu. Minum air putih flu segera hilang," ujarnya. Berbagai tanda penghargaan kini menghias dinding rumahnya. Ada peniti emas dari PMI pada 1981, ketika mendonor darah yang ke-201 kali. Ada pula Satya Lencana Kebaktian Sosial yang diterimanya dari Depsos ketika mendonor ke-132 kali tahun 1971. "Saya jadi donor itu karena rasa kemanusiaan, bukan karena pamrih," kata Pak Djono. Selain darah, kedua matanya juga sudah didonorkannya di bank mata. Amran Nasution, Moebanoe Moera (Jakarta, Herry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus