MEDAN mungkin satu-satunya kota tempat selembar stiker dihargai bagai saham. Pernah barang itu diminati orang dengan harga tinggi, sebelum kini, setelah bentrokan polisi dengan anggota Lintas Udara 100 dua pekan lalu, stiker berisi lambang organisasi militer atau kepolisian jatuh tanpa harga. Tak ada lagi mobil dengan stiker seperti itu berani lalu-lalang di kota.
Dulu hampir semua orang Medan percaya kepada rahasia ganjil ini: agar aman, tempellah stiker polisi atau organisasi militer di kaca mobil. Sebagaimana masyarakat Tionghoa percaya tempelan ciamsi bisa mengusir setan, orang Medan percaya stiker militer bisa menghalau preman. Hampir tak ada mobil bernomor Medan dan sekitarnya yang alpa membawa stiker ini. Tapi kini, jangankan menjadikannya aksesori kendaraan, masyarakat memilih mencopotinya. ”Kita tak mau jadi pelanduk yang mati konyol saat dua gajah bertarung,” kata seorang pemilik toko di pusat kota kepada TEMPO.
Banyak kota besar punya preman terorganisasi. Tapi ”preman Medan” memang punya reputasi lebih mengerikan. Menurut Loren Ryter, peneliti premanisme di Medan dari University of Washington, mobilisasi militer untuk menumpas pemberontakan pada akhir 1950-an membuat Medan dibanjiri pendatang dari suku Batak dan Mandailing. Meski kedua suku ini menjadi minoritas, kedekatan dengan aparat militer membuat mereka cepat menonjol di dunia hitam ketika kota itu mengalami surplus ekonomi dari hasil perkebunan. Kemakmuran, seperti di tempat lain, memang membawa eksesnya sendiri: perjudian, pelacuran, dan perdagangan narkotik.
Ketika militer ditarik, para pemuda kedua suku ini menganggap sektor ekonomi informal menjadi jatah mereka. Belakangan, mereka bahkan menggeser posisi Tjong A Fie, pentolan geng Tionghoa yang sudah merajai dunia hitam Medan sejak zaman kolonial. Pada awal 1960-an, kata ”preman”, yang identik dengan kehidupan dunia hitam, telah menjadi kosakata baru dalam masyarakat Medan dan belakangan menyebar ke mana-mana.
Pada masa Orde Baru, simbiosis antara penguasa dan dunia hitam muncul dalam organisasi-organisasi mentereng. Seperti di mana-mana, Pemuda Pancasila adalah salah satu yang paling menonjol. Di Medan, organisasi ini bahkan sukses mengantarkan Sjoerkani menjadi wali kota periode 1966-1974 dan menjadi kekuatan dominan.
Dominasi itu menjengkelkan para pengusaha Tionghoa dan sebagian petinggi militer. Karena itu, pada 1980-an, mereka berusaha menciptakan organisasi tandingan, Ikatan Pemuda Karya. Tapi ini bahkan membuat situasi bertambah runyam. Ikatan Pemuda Karya mengoperasikan tempat-tempat perjudian sendiri, sementara Pemuda Pancasila memilih sekadar menjadi beking, pengutip ”uang keamanan”.
Diketuai Oloan Panggabean, seorang Batak Toba yang fasih berbahasa Hokien, Ikatan Pemuda Karya kemudian menjadi salah satu penguasa bisnis perjudian di kota itu. Mereka memulai bisnisnya di kawasan Medan Fair, tempat Oloan pernah menjadi petugas keamanan di sana. Saat ini Oloan juga menguasai beberapa kawasan di Medan, Langkat, dan Binjai.
Derasnya rezeki di dunia hitam ini—yang tak hanya melibatkan perjudian, tapi juga aksi kriminal lain—membuat sementara kalangan aparat, baik polisi maupun militer, terkadang tergoda untuk terjun langsung. Misalnya, telah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Medan bahwa jalur lalu lintas kayu curian di sepanjang Binjai-Stabat-perbatasan Aceh dikuasai aparat bersenjata. Sebelum militer dan polisi dipisahkan pada 1999, banyak perwira militer menjadi raja di kawasan ini. Iming-iming uang membuat semua pihak ingin kecipratan. Apalagi setelah polisi juga memutuskan ikut bermain. Akibatnya, ”Semua aparat, mulai oknum Polres Langkat, Brimob Binjai, sampai tentara dari Medan, bermain di sini,” kata seorang pengusaha di kawasan itu.
Masalahnya, bertambahnya pemain membuat ajang permainan jadi kian sesak. Dari sini muncul berbagai pertikaian di antara mereka, yang memuncak dua pekan lalu. Persaingan ketat terutama terjadi di Langkat—daerah makmur bisnis kayu curian. Dulunya bisnis ini dikuasai tentara dari berbagai kesatuan yang ada di Langkat, termasuk Batalion Lintas Udara 100. Sejak pemisahan, secara perlahan penguasaan bisnis ini beralih kepada Satuan Brimob, yang kerap terlihat mengawal konvoi truk kayu dengan menggunakan mobil patroli, sepeda motor kesatuan, bahkan walkie-talkie. Ketika tentara Lintas Udara 100 mencoba melakukan hal yang sama, Brimob menangkapi mereka. ”Semua itu menjadi benih-benih subur buat peristiwa Binjai kemarin dulu,” kata Imam, warga Langkat.
Para preman dan oknum aparatlah yang telah membuat kawasan Medan dan sekitarnya panas sejak dulu. Dan kemarin, mereka membuat Kota Binjai terbakar.
Darmawan Sepriyossa, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini