Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berkelit dengan Jejaring Lama

Noor Din M. Top kembali lolos dari sergapan polisi. Ia dibantu banyak aktivis pergerakan.

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keyakinan itu bersemi di r-uang keluarga di pojok Jalan Men-teng Raya, Jakarta. Lima anak lelaki tersebut begitu terkesan oleh petuah ayah mereka, almar-hum Ahmad Kandai, seorang aktivis Ne-gara Islam Indonesia, untuk memilih ja-lan ke surga atau ke neraka. Mereka kompak. Jalan yang dipilih adalah ”hidup berjuang demi agama”.

Rupanya, keyakinan itu belakangan mendekatkan mereka ke sel-sel tahanan. Kini, hanya si bungsu, M. Yasir, 24 tahun, yang belum pernah berurusan de-ngan aparat. Pengais bungsu, Solahuddin, 30 tahun, Sabtu dua pekan lalu jadi berita ketika anggota Detasemen Khusus 88, satuan pemburu teroris kepolisi-an, menyergapnya di sebuah rumah di De-sa Krakaldawung, Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah. Di rumah berdinding batako itu ia tinggal bersama istri dan empat anaknya sejak 19 Februari lalu.

Solahuddin yang memiliki banyak na-ma alias seperti Solah, Agung, dan Wa-wan dituduh terlibat pengeboman At-rium, Senen, Jakarta Pusat, pada 2000. Ia juga diduga mengebom Gereja Santa Ana, Duren Sawit, Jakarta Timur, pada malam Natal tahun yang sama.

Aksi kekerasan menjadi hal yang bia-sa bagi lima bersaudara ini untuk menjalankan keyakinan mereka. Si sulung, Fa-rihin alias Yasir, 39 tahun, ditangkap- pada 2000-an karena menyerang permu-kiman kaum Nasrani pada konflik di Palu, Sulawesi Tengah. Ia juga di-tuduh mengedarkan peluru dan senjata g-elap. Pengadilan mengganjarnya dua setengah- tahun penjara. Adiknya, M. Islam, 33 tahun, juga sempat ditangkap untuk kasus serupa meski dibebaskan.

Abdul Jabar, 36 tahun, anak kedua- Ahmad Kandai, adalah pengebom ru-mah Duta Besar Filipina di Jakarta, 1 Agus-tus 2000. Ia menyerah kepada polisi di Nusa Tenggara Barat tiga tahun kemudian. Kini ia sedang menjalani hu-kum-an 20 tahun di bui.

Tak ada penyesalan di antara me-reka, meski Solahudin kini akan menyusul masuk bui. ”Risiko perjuangan kan ka-lau tidak mati, ya ditangkap musuh,” kata si sulung, Farihin, yang ikut berpe-rang di Afganistan pada 1987-an, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Solahuddin bakal terjerat pasal pe-lang-garan pidana serius: membantu- pe-lari-an Noor Din Mohammad Top, ter-sangka- pelbagai aksi teror di Tanah Air. Ya, penggerebekan Sabtu pagi buta tadi memang untuk mencari sang buron berkewarganegaraan Malaysia itu.

Buron dari jiran itu ternyata banyak merekrut anak buah untuk menjalankan- aksinya. Selain Solahuddin, Detasemen Khusus 88 juga beraksi di rumah yang dihuni oleh Jabir alias Gempur Budi Angkoro, Abdul Hadi, dan Mustaghfirin di Dusun Binangun, sekitar dua kilome-ter dari tempat itu. Mereka, menurut po-lisi adalah para kaki tangan Noor Din.

Mustaghfirin, yang disebut-sebut men-jadi kurir Noor Din selama pelarian, menyerah. Adapun Jabir disebutkan seba-gai ahli perakit bom, dan Abdul Hadi, pengatur persembunyian Noor Din, te-was. ”Jabir tewas dengan dua peluru: sa-tu di dada dan satu di kepala,” kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI Bri-gadir Jenderal Anton Bahrul Alam.

Lalu, ke mana Noor Din? Ia lenyap tak berjejak. Padahal, menurut seorang perwira polisi yang mengetahui detail penyer-gapan, rumah di Binangun itu hampir se-bulan diawasi. Seorang petinggi De-ta-se-men Antiteror bahkan sudah meng-inap di daerah itu tiga hari sebelum aksi.

”Tadinya kami memang mengira Noor -Din ada di rumah itu (saat digerebek), tapi ternyata tidak,” kata Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Gorries Mere kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Sumber Tempo menyebutkan, Noor Din- sebenarnya hanya sesekali tinggal di tem-pat itu. Selama pengintaian polisi, pria 38 tahun itu tak muncul. Namun, polisi akhirnya memutuskan tetap beraksi karena menganggap tiga penghuni rumah itu juga buron kelas kakap. ”Mereka orang penting dalam komplot-an Noor Din,” kata sumber itu.

Bagi polisi, penangkapan anak buah Noor Din itu juga untuk mempersempit- ruang pelarian sang buron. Semakin sedikit kaki tangan yang dimiliki Noor Din,- kata si sumber, akan lebih mudah untuk menangkapnya.

Pertanyaannya, siapa saja yang membantu Noor Din terlepas dari borgol polisi? Sumber-sumber di kepolisian mau-pun di kalangan lain menyebutkan, sang buron banyak disokong oleh aktivis pergerakan. ”Noor Din bisa tetap lolos karena dia hidup di habitatnya,” kata seorang petinggi polisi.

International Crisis Group (ICG), lembaga yang meneliti sepak terjang kelom-pok itu, dalam laporan terbarunya menyebutkan, Noor Din banyak dibantu oleh jaringan Jemaah Islamiyah di Suma-tera, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ju-ga oleh sejumlah anggota Darul Islam di Jawa Barat.

Saat bersembunyi di Surabaya pada 2003, Noor Din dibantu oleh Usman alias Fahim, yang disebut-sebut sebagai pemimpin Jemaah Islamiyah Jawa Timur. Ia juga dibantu sejumlah aktivis Jemaah Islamiyah, saat berpindah-pindah dari Blitar, Pasuruan, dan Kediri.

Noor Din, menurut ICG, juga memperluas jaringannya. Ia berusaha mere-krut pa-ra aktivis- Komite Penanggulangan Kri-sis (Kompak), kelompok pimpinan Abdullah Sunata yang terlibat dalam konflik antaragama di Maluku dan Sulawesi. Dengan bantuan aktivis kelompok ini, Noor Din—juga Azahari—pindah dari Jawa Timur ke Pekalongan, Jawa Tengah, pada 2004. Ia beberapa kali juga bergeser ke Solo dan Semarang. Di kota inilah Noor Din nyaris di-sergap polisi, se-belum kemudian lari ke arah Temanggung dan Wonosobo.

Abdullah Sunata yang divonis tujuh tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin lalu, mengaku dua kali bertemu Noor Din pada 2004. Namun, ia menyatakan menolak ajakan sang buron untuk bergabung.

Ia pun tak membantah, Noor Din mendekati banyak anak buahnya di Kompak.- ”Tapi saya tak pernah meme-rintahkan atau melarang mereka,” ia menambahkan (lihat Teror Itu Le-bih Banyak Mudaratnya di rubrik wa-wancara).

Farihin yang memimpin Kompak Poso pun mengaku sempat dihubungi para aktivis Is-lam Indramayu,- Ja-wa- Barat, dua tahun lalu. Mereka,- kata-nya, mengajak-nya ber-temu Noor -Din dan ko-leganya, Dr Azahari, bu-ron yang ma-ti dalam penyergap-an- Detasemen Khusus 88 di Batu, Jawa Timur, November ta-hun lalu.

Farihin, kakak sulung So-lahuddin, me-ngaku saat itu tidak bersedia ha-dir pada pertemuan dengan Noor Din. ”Karena saya tahu mereka buron, saya tak mau terlibat lagi,” tuturnya kepada Tempo.

Melalui pertalian-perta-lian para ”pe-juang” itu-lah Noor Din mem-bentuk jejaring persembunyiannya. Itu sebabnya, anggota kelompok Noor Din seperti-nya memang da-ri kalangan ”itu-itu saja”. Contohnya, ya Solahuddin yang berasal dari keluarga mujahid itu.

Yang lainnya, Jabir yang tewas di Wo-nosobo. Ia adalah sepupu Fathur Rohman al-Ghozi, tersangka teroris yang te-was ditembak tentara Filipina. Abdul Ha-di pun tak jauh-jauh: ia menikah de-ngan adik Al-Ghozi.

Ada satu lagi saudara Al-Ghozi yang bergabung dengan kelompok Noor Din. Ia adalah Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein alias Allen yang disebut-sebut berperan sebagai penghubung. Ali Zein ditangkap Juli tahun lalu dan dihukum tujuh tahun penjara.

Sebaliknya, polisi sebenarnya juga ber-usaha memakai para aktivis pergerakan untuk menjerat Noor Din. Seorang mantan pejuang Afganistan mengaku pernah diundang ke Hotel Intercontinental, Jakarta, oleh petinggi polisi berpangkat inspektur jenderal.

Sang jenderal ternyata meminta sang veteran Afganis-tan itu membantu menc-ari Noor Din. ”Ia mengajak saya bersalam-an,” tuturnya, ”lalu ia menyodorkan uang Rp 500 juta, tunai.”

Selain bantuan jaringan, me-nurut sum-ber, Noor Din memang lihai meloloskan diri. Itu karena sang buron ketat menjalankan sistem sel tertutup. Ia selalu menggunakan nama berbeda saat m-engenalkan diri pada orang-orang yang baru digaetnya. Satu anggota kelompok Noor Din, kata si sumber, belum tentu mengenal anggota lainnya.

Noor Din juga selalu menyewa lebih da-ri satu rumah untuk pos persembunyi-annya. Di Wonosobo, setidaknya ia me-nye-wa tiga rumah; dua di antaranya di-sewa atas nama Solahuddin. Selain rumah yang digerebek dan yang ditempati Solahuddin, satu rumah lagi disewa di Lembujati, Gemawang, Temanggung. Di sini, polisi menemukan bom rakitan Jabir.

Sewaktu tinggal di Bandung pada 2003, Noor Din—saat itu masih bersama Dr Azahari, menyewa dua rumah. Yang pertama, rumah di Jalan Kebon Kembang 24A, Taman Sari, tempat ke-duanya lolos dari sergapan polisi. Rumah kedua di Cipadung Raya Timur 76A.

”Anggota kelompok yang tinggal di satu rumah, belum tentu tahu rumah lain yang disewa Noor Din,” kata sumber di kepolisian yang mengikuti perge-rakan kelompok itu.

Pembuatan banyak pos persembunyi-an itu menimbulkan masalah bagi Noor Din. Menurut Nasir Abbas, bekas atasan sang buron di Jemaah Islamiyah, kelompok itu semakin kesulitan dana. ”Sebagian besar uang untuk menyewa rumah persembunyian,” kata penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah itu kepada Tempo pekan lalu

Budi Setyarso, Ari Aji H.S. (Wonosobo), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus