Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berderet di sepanjang Jalan Bo-genvile, toko emas itu terlihat sepi. Hanya satu-dua pengunjung keluar-masuk ke kios-kios di samping Pasar Timika itu. Padahal biasanya banyak sekali orang yang datang untuk menjual atau membeli emas. Hasil jerih payah para pendulang tradisional di kawasan Freeport selalu bermuara ke sana.
”Saat ini memang sedang sepi,” ujar Hapsah, salah satu pedagang emas di Pasar Timika, Papua, yang ditemui Tempo pekan lalu. Dia mengatakan, bentrok-an antara penambang tradisional dan aparat keamanan beserta petugas Freeport Indonesia di mil 72 Tembagapura, dua pekan sebelumnya, yang jadi penyebab. Akibat kejadian itu, tak ada lagi pe-nambang yang berani mendulang lalu men-jual hasilnya ke Timika.
Sebelum insiden itu terjadi, kegiatan jual-beli emas di Timika amat marak. Para pedagang emas bahkan sering kehabisan duit untuk memborong serbuk emas dari para pendulang tradisional.
Tak hanya membuat toko emas sepi, bentrokan itu juga memicu demonstra-si di Jakarta dan Papua, menuntut pe-nutup-an kegiatan penambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Masa-lah ini juga memancing para pejabat dan politisi di Jakarta mempersoalkan lagi kontrak karya antara Freeport dan peme-rintah Indonesia (lihat Freeport Kembali Disorot).
Selama ini, para penambang tradi-sio-nal cukup leluasa mengais emas da-ri tailing alias ampas tambang Freeport. Lumayan, emas yang bisa dikumpulkan. Jika bekerja sepekan penuh, seorang pen-dulang bisa mengumpulkan 100 gram serbuk emas. Satu gram emas serbuk dihargai Rp 100 ribu.
Emas dari pendulang biasanya dipro-ses menjadi perhiasan dan dijual di Ti-mika atau dikirim ke Makassar dan Jaya-pura. Jika serbuk emas dilebur menjadi emas batangan, harganya bisa mencapai Rp 160 ribu per gramnya. Kalau dijadikan cincin atau kalung, harganya lebih mahal.
Keuntungan para pedagang emas di Timika bisa berlipat-lipat jika mereka membeli emas langsung ke lokasi pendu-langan. Di sana mereka bisa membeli- serbuk emas dari penambang dengan har-ga cuma Rp 50 ribu per gram. Jika t-idak memiliki uang, pedagang bisa juga menukar emas dengan makanan atau barang.
Pendulang emas tradisional bisa ditemui di sepanjang Kali Kabur, tepatnya di mil 34 hingga di mil 72, Tembaga-pura, dengan ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut. Sungai yang semula berwarna jernih itu berubah menjadi putih keperak-perakan karena bercampur lempung limbah.
Kali Kabur menjadi incaran pendulang karena lokasinya tepat di bawah me-sin pemecah batu raksasa milik Freeport. Mesin inilah yang melumat bongkahan batu-batuan yang mengandung emas, perak, dan tembaga. Bijih emas, pe-rak, dan tembaga kemudian dialirkan ke pipa menuju pelabuhan Amampare di Poumako, selatan Kota Timika.
Meskipun emas murni sudah disedot dan diangkut ke kapal oleh Freeport, pe-nambang tradisional masih bisa men-dapatkan sisa-sisa emas yang bercampur tailing yang mengalir di Kali Kabur. ”Sehari berendam di sungai, kami bisa dapat 10 hingga 20 gram emas,” ujar Pius Kogoya, salah satu pendulang tradisional yang tinggal di desa Kwamki Lama, Timika.
Meskipun kawasan di mil 34 dan mil 72 Tembagapura adalah daerah terlarang bagi pendulang, orang dari berba-gai daerah dan suku terus berdatangan ke kawasan ini. Sebelumnya kawasan tersebut hanya diincar pendulang tradi-sional dari tujuh suku di sekitar Kali Kabur, yaitu suku Amungme, Nduga, Damal, Dani Lani, Ekari, Moni, dan Komoro.
Para pendulang pendatang dan peda-gang emas bisa masuk ke sana de-ngan cara bermain mata dengan aparat ke-aman-an yang menjaga kawasan Freeport. Menurut beberapa pendulang, untuk bisa masuk ke mil 34 atau mil 72 Tembagapura cukup menyuap petugas dengan uang Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. ”Kami masuk dengan aman karena diantar dan diangkut petugas keamanan,” ujar Pius.
Lokasi pendulangan berada di bukit yang cukup tinggi dan bertepi jurang yang dalam. Untuk mencapai ke sana, pengunjung harus melewati enam pos pen-jagaan. Satu pos penjagaan biasanya- dijaga lima hingga tujuh petugas, dan me-reka berjaga secara bergiliran seha-rian penuh. Itu sebabnya diperlukan uang yang tak sedikit buat menyogok pe-tugas.
Pendulang yang telah lolos biasanya- akan bertahan di lokasi pendulang-an selama beberapa pekan, bahkan berbu-lan-bulan, untuk mengais tailing yang digelon-tor pabrik Freeport di mil 72. Ka-rena menguntungkan, kini mendulang emas menjadi pekerjaan pokok yang diminati penduduk, termasuk warga- Kwamki Lama dan Kwamki Baru, Ti-mika.
Jika beruntung, seorang pendulang bisa menghasilkan uang Rp 7 juta sampai belasan juta selama satu bulan. Contohnya Pius Kogoya. Meskipun dia tinggal di rumah sederhana dengan dinding separuh tembok dan beratap seng, kini Pius memiliki televisi 21 inci dan sebuah telepon genggam. ”Saya juga mau beli sepeda motor, tapi belum terpenuhi karena belakangan dilarang men-du-lang,” kata Pius.
Mendulang di kawasan Freeport memang dilarang. Menurut Kepala Kepolisi-an Sektor Tembagapura, AKP I Ketut Suratnya, sebelum terjadi bentrok de-ngan pendulang emas, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan agar mereka tidak menambang di kawasan Freeport. ”Namun tetap saja mereka melakukan pendulangan, bahkan jumlahnya terus ber-tambah,” kata Ketut.
Sebenarnya, agak sulit penambang tra-disional memasuki kawasan Freeport karena jalan di balik gunung Grasberg, Jayawijaya, yang dipakai pendulang, sudah lama ditutup. Untuk mencapai lokasi pendulangan, mereka harus melalui ja-lur Arwanop.
Ketut Suratnya tak menampik kemungkinan penambang tradisional da-tang lewat jalur Timika-Tembagapura. ”Soalnya, penjagaan di sana masih lemah,” katanya. Tapi pendulang yang lewat jalur tersebut umumnya bukan warga di sekitar pertambangan Freeport.
”Mereka masuk secara ilegal dan jumlahnya hanya sedikit,” kata Komandan Kodim Mimika, Letkol Inf. Gustav Irianto Kusumowibowo. Dia juga membantah adanya dugaan tentara telah menyelundupkan pendulang ke lokasi Freeport dengan imbalan sejumlah uang.
Hanya, perdagangan emas yang ma-rak di Timika selama ini menjadi bukti bahwa tak sedikit pendulang tradisio-nal telah mencicipi rezeki dari balik Gunung Grasberg.
Zed Abidien, Cunding Levi (Timika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo