RAHARIJO Priambodo namanya. Pada 6 Mei ini usianya 28 tahun. Putra ke-6 dari 8 anak Kolone Marinir (Purnawirawan) Kalim Imam Sudarsono ini bertubuh atletis. Tingginya 170 cm, beratnya 60 kio. Biasa dipanggil Bagong, ia ayah seorang putri. Pegulat di dua kali Kejurnas ini pada 1986 ia pernah meraih medali perunggu dalam Kejuaraan Daerah Judo Jawa Timur. Dan ia juga raja ski, menyikat berbagai medali kejuaraan, termasuk meraih emas untuk nomor Trick Riding dan nomor Overall kejuaraan ski air SEA Games 1987. Tapi sarjana IKIP Surabaya ini hampir terjebak dalam jemaah Imran. Simaklah kisah hidupnya di bawah ini. Orangtua saya abangan. Sewaktu saya masih di SD. keluarga mendatangkan guru ngaji ke rumah. Setelah masuk SMP saya mulai belajar di langgar. Sesudah setahun ngaji, saya makin serius mempelajari ajaran Islam. Saya tak pernah tinggal salat dan puasa. Waktu di klub ski air Kodikal (di situ sejak kelas dua SMP) saya senang diganggu teman Islam yang tidak pernah salat. Tapi saya diamkan saja. Akhir 1978 saya ikut Remaja Masjid Al-Falah (RMA) yang baru saja didirikan. Subuh dan magrib salat di situ. Saya banyak dapat masukan berarti, terutama dari kuliah-kuliah dhuha. Akhir 1979 saya kenalan dengan Robikon, orangnya Imran di Jawa Timur. Meski bukan orang RMA Robikon banyak simpatisannya. termasuk saya. Isi ceramahnya selalu memompa ayat-ayat jihad, menuduh pemerintah kafir, dan sebagainya. Kami cuma mendengar, tanpa wawasan yang jauh. Kami tidak mengikutinya, berbuat pun juga tidak. Suatu kali Robikon menyuruh kami merusak patung Joko Dolok di Taman Apsari Surabaya. "Kita bom saja patung itu," katanya. Bagaimana ngebom karena namanya bom saja belum tahu. Ketika diajak melakukan kekerasan itu, kami, yang rata-rata masih siswa SMTA, hanya terbengong-bengong. Setahun ikut pengajian Robikon sikap saya berubah drastis, misalnya tak mau lagi salaman dengan rekan putri. Bicara pun seperlunya saja. Celana selalu di atas mata kaki. Tidur tidak lagi di kasur, tapi di tikar musala. Sebab, menurut Robikon. Nabi sendiri tak pernah tidur di kasur. Makan malah selalu bersih. Tidak secuil nasi boleh tersisa. Sekolah sudah bukan sesuatu yang diutamakan. Ke mana-mana saya membawa Quran. bukan lagi buku pelajaran sekolah. Di kelas, jika waktu lohor datang, saya minta izin keluar, biar bisa salat tepat waktu. Saya jadi orang yang disegani. Teman-teman saya mulai takut pada saya. Keluarga juga mulai bingung. Mereka hanya tahu saya ini anggota RMA. Saya pernah duduk sebagai sekretaris umum RMA periode 1980. Mereka tak tahu bahwa dalam waktu bersamaan saya juga ikut pungajian Robikon. Awal 1981 setelah lulus SMA VI Surabaya, saya ikut tes pilot Garuda di Jakarta. Sejak itu saya sudah jarang bertemu Robikon Ketika tes di Garuda ditanya, ada berapa waktu di Indonesia. "Lima." jawab saya. Bukan tiga. Bukan waktu Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Tapi lima waktu salat. Keluguan dan kejujuran memang khas kami waktu itu. Tentu saya tak diterima di Garuda. Kami memang tidak punya wawasan lain kecuali mengikuti omongan Robikon melulu. Hanya untuk yang berhau perusakan, kami tidak pernah melakukannya. Kebanyakan kami bengong saja. dan praktis tidak berbuat apa-apa. Tak lama setelah pembajakan Woyla, Robikon ditangkap dan divonis 8 tahun penjara. Saya baru sadar: itu adalah gerakan politik yang menggunakan kekerasan. Tuhan masih melindungi saya. Pada saat-saat kejadian, saya sudah tak aktif lagi dalam jemaah Robikon. Saya kembali aktif di RMA. Setelah mendapat pelajaran dari gerakan Imran, saya bebenah diri, tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan saya benci kekerasan. Saya malah meyakinkan orangtua bahwa dengan menjalankan Islam secara baik, kita bisa berprestasi. Saya aktif lagi di ski air, sesudah absen sejak 1978. Saya tak melakukan perintah agama dengan omongan. tapi dengan sikap dan berprestasi. Tahun 1983, dua adik saya, Nining dan Nunung, juga masuk RMA. Keduanya mengikuti jejak saya, melaksanakan Islam dengan konsekuen. Mereka pakai jilbab. Alhamdulillah, ternyata dengan sikap itu, orangtua saya kian tertarik pada Islam. Kini mereka bukan lagi abangan. Insya Allah, tahun ini Bapak dan Ibu pergi haji. Mungkin karena usia dan wawasan keislaman makin luas, saya bisa melaksanakan ajaran Islam dengan penuh kedamaian. Tidak perlu main keras-kerasan. Dan saya tak mau terjebak untuk kedua kalinya. Dengan berislam. saya menemukan ketenangan. Prinsip hidup saya adalah kesederhanaan dan persaudaraan. Kini, bila ada teman yang mengajak herhuat kekerasan. ya, saya biarkan saja. Saya tak mau mengomentari, karena sampai saat ini saya belum punya terapi menyembuhkan mereka. Umumnya mereka itu berpendirian kaku. Dan menurut saja apa kata Imam, pimpinannya.Syafiq Basri dan Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini