SEORANG gadis kecil ingin membuat 1.000 burung bangau kertas, di
sebuah rumah sakit yang makin sepi di Hiroshima. Tiap hari
dikerjakannya sebuah. Konon ia berhasil lebih. Ia membuat 1.600
bangau. Tapi esoknya ia mati -- seperti banyak orang lain di
rumah sakit khusus korban ledakan bom atom 6 Agustus 1945 itu.
Baginyalah kemudian orang membuat monumen. Bangunan setinggi 5
meter, nampak buruk dan kikuk di Taman Museum Perdamaian
Hiroshima. Tapi di relungnya anak-anak tanpa nama kini
menggantungkan ribuan bangau kertas, berwarna-warni bagaikan
anggrek. Seolah hendak melanjutkan kerja gadis kecil Sadako
Sasaki --melanjutkan hidup.
Kita tak akan pernah tahu adakah ribuan bangau dari kertas tanpa
nama itu pada akhirnya bisa -- karena ikatan batin yang tak
terumuskan -- mengangkat roh kita ke angkasa yang lain. Kita tak
akan pernah tahu dapatkah nanti kita bisa menemukan langit lain
itu, yang tak gelap kena ratusan bayang-bayang senjata.
Memang, tiap suara antiperang nuklir kini selalu cenderung jadi
klise tentang kematian dan ketakutan dalam skala yang besar.
Juga Hiroshima agak terlampau banyak bicara. Sang korban --
apalagi dengan horor yang seperti itu -- selalu mengaduh
keras-keras. Tapi nampaknya memang mesti demikian: sang korban
ingin menjadi saksi. Dia tentu saja bisa kurang obyektif. Museum
Perdamaian di Hiroshima itu mengisahkan kengerian dan
penderitaan, setelah sebuah bom yang di Jepang disebut pikadon
meledak dalam cahaya di langit dan membunuh 247.000 manusia.
Tapi sementara kata 'perdamaian' banyak dipakai, museum itu
(setidaknya bagi orang asing) hampir tak bercerita tentang dosa
militerisme Jepang yang menarik picu Perang Dunia Kedua.
Sang korban memang selalu menjadi saksi, dan dalam sosok itu ia
seakan disucikan. Kita melihat Hiroshima dan selalu teringat
akan gadis kecil Sadako Sasaki. Kita melihat Hiroshima dan
selalu teringat gambar bayang-bayang manusia yang tercetak pada
aspal, jembatan, saking begitu dahsyat panas yang terlontar dari
bom itu. Kita teringat pada kota yang jadi gurun, sebuah kubur
radio aktif di bawah hujan yang turun hitam. Memang, kita selalu
teringat akan mereka yang tak bersalah, tapi dibinasakan juga
entah kenapa. Lalu kita pun lupa bahwa di Hiroshima hari itu ada
25.000 tentara, satu markas besar, sebuah jaringan logistik
untuk perang di Timur-Sementara Jepang harus dikalahkan, agar
perang berhenti.
Sadako, yang telah terbang dengan 1.600 bangau kertas, memang
layak untuk bebas dari dosa perang. Tapi dia hanya sebagian dari
Jepang yang kalah. Sadako tidak bisa menebus Jenderal Tojo.
Adakah Anne Frank, gadis kecil di loteng sempit di Amsterdam
itu, yang dibunuh hanya karena ia Yahudi, juga bisa menebus
Ariel Sharon?
Nampaknya memang setiap bangsa mempunyai dua sisi itu dalam
sejarahnya, sebagai potensi yang terpisah. Sang korban kemudian
bisa saja jadi pembunuh, atau sebaliknya, tapi sebenarnya kita
berbicara tentang dua wujud yang berbeda.
Karena itulah gerakan antiperang nuklir selalu terdengar semacam
pengkhianatan dan subversi di negeri sendiri. Ronald Reagan
mencurigai mereka diselundupi agen-agen Soviet. Di Uni Soviet
orang seperti Sakharov dibuang jauh-jauh.
Tentu, tak ada seorang ahli strategi nuklir pun yang ingin
terjebak dalam kategorisasi 'korban-atau-pembunuh' itu.
Setidaknya, mereka yang di Pentagon dan di Kremlin merasa bahwa
kelak, bila terjadi perang, mereka tak akan disebut sebagai
'penjahat perang'. Dan memang begitulah: bila kelak perang
nuklir pecah, tak akan ada lagi mahkamah. Semua hanya abu,
sejuta kali lebih mengerikan dibanding dengan Hiroshima, sejuta
kali lebih tanpa jejak.
Dan sang pembunuh pun tak akan ada lagi. Tapi benarkah semua
orang, setiap kita, adalah Sadako Sasaki?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini