Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gerakan anti nuklir

Tiap suara anti perang nuklir kini selalu cenderung jadi klise tentang kematian dan ketakutan dalam skala besar. gerakan ini juga menjadi semacam pengkhianatan dan subversi di negeri sendiri.

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG gadis kecil ingin membuat 1.000 burung bangau kertas, di sebuah rumah sakit yang makin sepi di Hiroshima. Tiap hari dikerjakannya sebuah. Konon ia berhasil lebih. Ia membuat 1.600 bangau. Tapi esoknya ia mati -- seperti banyak orang lain di rumah sakit khusus korban ledakan bom atom 6 Agustus 1945 itu. Baginyalah kemudian orang membuat monumen. Bangunan setinggi 5 meter, nampak buruk dan kikuk di Taman Museum Perdamaian Hiroshima. Tapi di relungnya anak-anak tanpa nama kini menggantungkan ribuan bangau kertas, berwarna-warni bagaikan anggrek. Seolah hendak melanjutkan kerja gadis kecil Sadako Sasaki --melanjutkan hidup. Kita tak akan pernah tahu adakah ribuan bangau dari kertas tanpa nama itu pada akhirnya bisa -- karena ikatan batin yang tak terumuskan -- mengangkat roh kita ke angkasa yang lain. Kita tak akan pernah tahu dapatkah nanti kita bisa menemukan langit lain itu, yang tak gelap kena ratusan bayang-bayang senjata. Memang, tiap suara antiperang nuklir kini selalu cenderung jadi klise tentang kematian dan ketakutan dalam skala yang besar. Juga Hiroshima agak terlampau banyak bicara. Sang korban -- apalagi dengan horor yang seperti itu -- selalu mengaduh keras-keras. Tapi nampaknya memang mesti demikian: sang korban ingin menjadi saksi. Dia tentu saja bisa kurang obyektif. Museum Perdamaian di Hiroshima itu mengisahkan kengerian dan penderitaan, setelah sebuah bom yang di Jepang disebut pikadon meledak dalam cahaya di langit dan membunuh 247.000 manusia. Tapi sementara kata 'perdamaian' banyak dipakai, museum itu (setidaknya bagi orang asing) hampir tak bercerita tentang dosa militerisme Jepang yang menarik picu Perang Dunia Kedua. Sang korban memang selalu menjadi saksi, dan dalam sosok itu ia seakan disucikan. Kita melihat Hiroshima dan selalu teringat akan gadis kecil Sadako Sasaki. Kita melihat Hiroshima dan selalu teringat gambar bayang-bayang manusia yang tercetak pada aspal, jembatan, saking begitu dahsyat panas yang terlontar dari bom itu. Kita teringat pada kota yang jadi gurun, sebuah kubur radio aktif di bawah hujan yang turun hitam. Memang, kita selalu teringat akan mereka yang tak bersalah, tapi dibinasakan juga entah kenapa. Lalu kita pun lupa bahwa di Hiroshima hari itu ada 25.000 tentara, satu markas besar, sebuah jaringan logistik untuk perang di Timur-Sementara Jepang harus dikalahkan, agar perang berhenti. Sadako, yang telah terbang dengan 1.600 bangau kertas, memang layak untuk bebas dari dosa perang. Tapi dia hanya sebagian dari Jepang yang kalah. Sadako tidak bisa menebus Jenderal Tojo. Adakah Anne Frank, gadis kecil di loteng sempit di Amsterdam itu, yang dibunuh hanya karena ia Yahudi, juga bisa menebus Ariel Sharon? Nampaknya memang setiap bangsa mempunyai dua sisi itu dalam sejarahnya, sebagai potensi yang terpisah. Sang korban kemudian bisa saja jadi pembunuh, atau sebaliknya, tapi sebenarnya kita berbicara tentang dua wujud yang berbeda. Karena itulah gerakan antiperang nuklir selalu terdengar semacam pengkhianatan dan subversi di negeri sendiri. Ronald Reagan mencurigai mereka diselundupi agen-agen Soviet. Di Uni Soviet orang seperti Sakharov dibuang jauh-jauh. Tentu, tak ada seorang ahli strategi nuklir pun yang ingin terjebak dalam kategorisasi 'korban-atau-pembunuh' itu. Setidaknya, mereka yang di Pentagon dan di Kremlin merasa bahwa kelak, bila terjadi perang, mereka tak akan disebut sebagai 'penjahat perang'. Dan memang begitulah: bila kelak perang nuklir pecah, tak akan ada lagi mahkamah. Semua hanya abu, sejuta kali lebih mengerikan dibanding dengan Hiroshima, sejuta kali lebih tanpa jejak. Dan sang pembunuh pun tak akan ada lagi. Tapi benarkah semua orang, setiap kita, adalah Sadako Sasaki?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus