RISWAN Sinaga, nampak memelas muncul di Pengadilan Negeri
Tanjungbalai, Sumatera Utara, Kamis pekan lalu. Pemborong yang
sekali gebrak bisa membeli sepeda motor dan sebuah mobil itu
duduk di bangku terdakwa dengan kaki bersandal jepit dan handuk
kecil di tangan. Jaksa menuduhnya telah menyelewengkan bestek
pembangunan Kantor Departemen Agama Tanjungbalai senilai Rp 49
juta. Atap seng, kaca jendela, fondasi, plafon dan kayu, menurut
tuduhan jaksa, diganti oleh Riswan dengan kualitas murahan.
Riswan yang sehari-hari lebih dikenal sebagai pedagang nasi soto
di pinggir jalan, nampak sekali tak tahu banyak soal bestek dan
bangunan. Ia bekerja sama dengan "orang dalam". Begitu mendapat
proyek, ia mengaku menghabiskan Rp 15 juta untuk dibagi-bagikan.
Pimpinan proyek, Awar Annas yang merangkap Kepala Kantor
Departemen Agama Tanjungbalai, katanya, ia beri hadiah Rp 2
juta. Jumlah yang sama diberikan kepada Wismar A. Batubara,
Kepala Dinas PU Seksi Asahan, sedang Bendaharawan proyek Ishak
Sirait, kebagian Rp 1,65 juta. Para pengawas dan konsultan
proyek, mendapat pula bagiannya.
Riswan, barangkali pemborong pertama yang diajukan ke muka
sidang dengan tuduhan menyelewengkan bestek. Padahal Mayjen E.Y.
Kanter, Koordinator Opstibpus, yang kini tengah gencar
melakukan Operasi Vidya Griya, banyak sekali menjumpai
penyimpangan bestek pada bangunan SD Inpres.
Untuk tahun anggaran 1982/1983 lewat Inpres No. 4/1982, dana
bantuan pembangunan Sekolah Dasar memang besar sekali: Rp 589
milyar lebih. Tepatnya Rp 589.159.000.000, meski tak seluruhnya
untuk membangun dan merehabilitasi gedung SD.
Penyimpangan bestek -- yang berarti merugikan negara -- tak
hanya dalam pembangunan gedung SD. "Penyakit" itu nampaknya
sudah mewabah, dan dianggap lumrah. Di Sumbawa Besar, misalnya,
fondasi Pasar Seketeng hanya digali sedalam 70 sentimeter oleh
pemborongnya, sedangkan atapnya dibuat agak rendah. Padahal
dalam bestek, yang dibuat kantor PU setempat, jelas disebut
fondasi harus sedalam satu meter. Lantai, memang dibuat sesuai
bestek, tapi hanya di tepinya saja, sebab bagian itulah yang
sering diperhatikan oleh pengawas bangunan. Lantai bagian
tengah, cukup menggunakan campuran kapur, pasir dan sedikit
semen.
Kepala PU setempat ternyata bisa mentoleransi penyimpangan itu.
Sebab, kata Ahmad Zuhri Mohtar -- teknisi dari pihak pemborong
-- ia bisa menunjukkan kelemahan gambar rencana Pasar Seketeng,
yang kabarnya dibuat seorang tamatan STM. Tanah di situ, menurut
Ahmad, cukup padat hingga fondasi tak perlu sampai satu meter.
Lagi pula yang dibangun hanya los pasar, bukan gedung bertingkat
yang perlu fondasi ekstra.
"Penghematan" yang dilakukan Ahmad, cukup membawa untung besar.
Namun demikian, ia tak merasa telah 'mencuri'. "Saya hanya
menggunakan kesalahan PU untuk keuntungan kami," kata Ahmad
tenang. Sampai kini, alhamdulillah, Pasar Seketeng masih
baik-baik saja.
Tapi proyek tersier di daerah Trukuh, Kabupaten Grobogan, Jawa
Tengah, yang dimaksudkan bisa mengairi tanah pertanian seluas
800 hektar, mengalami retak di beberapa bagian. Padahal proyek
bernilai Rp 80 juta itu belum selesai dikerjakan. Pemborongnya,
PT Tirta Manggala, yang kabarnya membuat coran beton tak sesuai
bestek, telah ditegur. Entah mengapa, perbaikan belum juga
dilakukan.
Di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, juga ada sebuah
irigasi yang hanya tahan selama setahun. Setelah itu, dam,
saluran induk dan saluran pembaginya di Desa Indra Pura itu
ambruk. Proyek serupa di Desa Lubuk Sariak, bahkan "hanya bisa
kami nikmati untuk satu kali panen," kata seorang penduduk.
Di Pesisir Selatan itu pula ada proyek pencetakan 2.148 hektar
sawah yang menelan biaya Rp 1 milyar, yang kini tak lebih berupa
semak belukar di tengah rawa yang penuh pohon bergelimpangan.
Proyek yang digarap 1976 itu, menurut seorang pejabat di Pesisir
Selatan, mestinya sudah rampung tiga tahun lalu. Proyek irigasi
dan penceukan sawah jadi tak beres, menurut pejabat itu lagi,
bertepatan dengan "hijrah"nya kontraktor CV Nugraha Karya.
Kebetulan, yang empunya kontraktor itu tak lain pejabat di PU
Painan (Ibukota Pesisir Selatan) yang kini pindah tugas ke PU
tingkat I Sumatera Barat di Padang.
Di Kudus, Jawa Tengah, proyek pelebaran jalan yang tak sesuai
bestek pan jangnya 5.680 meter, yaitu di Jalan Johar, Agus
Salim, Basuno, Niti Semito dan Jalan Subchan Z.E. Proyek bernila
Rp 48 juta itu, setelah diteliti, lebar jalan yang mestinya 2,48
meter, kurang sampai 50 sentimeter. "Kualitas jalan pun jelek
sekali," kata sebuah sumber di Pemda Kudus. Dan di Pekalongan,
pembangunan Jalan Slamet dan Jalan Kurinci yang dikerjakan CV
Yudhistira sudah bopengan, meski baru selesai awal Februari
lalu.
Proyek pemukiman transmigrasi yang diperuntukkan bagi pendatang
dari Jawa yang ingin mengubah nasib dan hari depan, tak urung
jadi ajang permainan. Pemukiman di Kembayan, Kabupaten Sanggau,
Kal-Bar, misalnya, yang diperuntukkan bagi 400 kepala keluarga,
dilaporkan ke Pusat seolah sudah selesai Maret 1982. Dengan
begitu seluruh dananya bisa dicairkan. Padahal, secara fisik
lahan baru selesai Januari lalu. Akibatnya, para transmigranlah
yang mendapat getahnya tak bisa berbuat banyak karena lahan
masih berantakan.
Yang keterlaluan ialah proyek lahan kering di Tanjung Satai,
Kabupaten Sambas. Begitu kontraktornya, PT Mitra Amerta,
mengambil uang muka sebesar 20% (nilai proyek Rp 1,39 milyar),
dia langsung kabur. Toh proyek itu tak dianggap gagal. Sebab
kini, menurut seorang pejabat di Kalimantan Barat, penggarapan
lahan dilanjutkan oleh konsorsiumnya, PT Tanjungpura Bhakti.
Di Lampung Utara, meski proyek tak ditinggal kabur pemborong,
para transmigran lokal di Mesuji E mengurut dada. Desember lalu,
80 buah rumah di situ ambruk ketika hujan -- yang tak kelewat
deras -- mengguyur. "Lihat saja, rumah-rumah di sini tak
dipasangi siku-siku dan ompaknya (ganjal tiang) hanya dari
potongan kayu kecil. Mana ada kekuatan?" kata Sumadi, yang
rumahnya ikut roboh.
Proyek pemukiman translok di Lampung Utara itu memang belum
diketahui pasti, apakah akibat penyimpangan dari bestek. Tapi,
menurut pejabat di Ditjen Transmigrasi Lampung, sebuah rumah
yang nilai kontraknya Rp 475 ribu itu ditaksir bisa dibuat
lebih baik hanya dengan uang Rp 250 ribu. Maklum, rumah
pemukiman itu hanya berukuran 3 x 5 m, beratap seng, berdinding
papan.
Banyak lagi contoh lain yang bisa disebut. Sampai-sampai seorang
mandor dari CV Eksakta, Sukabumi, yang banyak tahu sepak terjang
pemborong di lapangan dengan bersemangat bilang bahwa, "sembilan
puluh sembilan persen kontraktor pasti tukang menyelewengkan
bestek!" Kontraktor lain di Pekalongan pun, atau yang di Jawa
Timur dan Sumatera Utara, menyatakan hal yang kurang lebih sama.
"Sulit bagi kami untuk menghindari penyelewengan bestek," ujar
seorang pemborong dari Surabaya. Dan rekannya di Medan bilang,
"tanpa menurunkan mutu, saya jamin tak ada pemborong yang bisa
untung."
Mengapa bisa begitu? Sebabnya, ternyata cukup banyak. Seorang
pemborong di Surabaya, bila ia mendapat proyek, sudah membuat
kalkulasi begini: Dari keuntungan sebesar 30%, yang 10% jatah
pimpinan proyek, 2,5% sampai 5%, untuk para pengawas dan
pengeluaran tak terduga lain. Jadi untung bersih 15%.
"Kalau tak mau memberi 10%, jangan harap bisa mendapat proyek,"
kata seorang pemborong di Sumbawa Besar. Di Pekalongan, bila
pemborong memenangkan tender seharga Rp 30 juta, imbalannya satu
set video untuk yang memberi proyek. "Itu sudah biasa. Memang
'tarifnya' sebegitu," kata seorang pemborong yang enggan disebut
nama.
Ada lagi model pemborong yang hanya bekerja sampai mendapatkan
Surat Perintah Kerja (SPK). Lalu ia "menghibahkan" SPK tersebut
kepada pihak kedua, tentunya setelah ia -- dengan goyang kaki --
mengantungi sejumlah keuntungan. Celakanya lagi bila pihak kedua
menawarkan pada pihak ketiga. Dan baru pihak keempat yang
akhirnya menggarap proyek. Dia ini, seperti terjadi di
Pekalongan, hanya menerima 50% dari nilai proyek. Padahal ia
harus pula mengambil untung. "Kalau sudah begitu, mana mungkin
proyek dikerjakan sesuai bestek?" kata Eddy Lesmono, dari Bagian
Pembangunan Kodya Pekalongan.
YANG turut membuat keadaan tambah kisruh, karena banyak
pemborong -- terutama yang muncul sejak keluarnya Keppres No. 14
A/1980 -- yang sebenarnya tak mampu. Dan pemborong kelas ini
amat banyak jumlahnya. Gabungan Pemborong Nasional Seluruh
Indonesia (Gapensi) mencatat kini punya 23 ribu anggota, lebih
50% muncul setelah ada Keppres itu.
Meski begitu, mereka tak jarang mendapat proyek, karena 'tahu
diri' kepada yang membaginya rezeki. Dan segala kekisruhan itu,
nampaknya sebagian besar terjadi di proyek-proyek kecil yang
bernilai di bawah Rp 100 juta. "Sampai sekarang belum ada
anggota Asosiasi Kontraktor Indonesia terbukti menyalahi
bestek," kata Siswno Judo Husodo, Wakil Ketua Umum ASI dan
Dirut PT Bangun Tjipta Sarana. Proyek yang digarap anggota ASI,
karena besar, prosedurnya amat ketat. Prosedur sejak pengajuan
tender sampai menandatangani kontrak, menurut Siswono, ada yang
memakan waktu sampai setahun.
Tapi, ada juga proyek kelas kakap yang menyalahi bestek.
Contohnya proyek pembangunan Balaikota Bandung yang menghabiskan
dana Rp 1,9 milyar. Bangunan megah yang dirancang arsitek Slamet
Wirasondjaja itu, lantai empatnya yang menjorok keluar, didapati
melengkung ke bawah. Akibatnya dinding ikut turun. Padahal
bangunan yang dikerjakan pemborong PT Raka Utama itu sempat
dikagumi para walikota yang hadir dalam pertemuan Musyawarah
Antar Kotamadya Seluruh Indonesia (Maksi) di Bandung, Oktober
1981.
Ir. Suhardjo Djojosuparno, Ketua Pappeda Kodya Bandung yang
ditunjuk mengetuai tim penyelidik retaknya bangunan, menjumpai
bahwa campuran serta ketebalan beton yang dibuat ternyata tak
sesuai bestek.
Selain pimpinan proyek yang ada main dan pemborong yang tak
mampu, faktor pengawasan berperan amat besar dalam hal
penyimpangan bestek. Boleh dibilang, di tangan merekalah
sebenarnya sebuah proyek itu menyimpang dari bestek atau tidak.
Sayangnya, tenaga pengawas, seperti diakui Inspektur Jenderal
Departemen Pekerjaan Umum, Herman Rusdi dalam rapat kerja dengan
Komisi V DPR Jumat pekan lalu, tenaga pengawas amat terbatas.
Untuk mengawasi 1.200 proyek senilai Rp 1,2 trilyun di
Departemen PU, kini hanya ada 136 pengawas. Akibatnya yang bisa
diawasi secara efektif hanya 305 proyek, atau sekitar 25 %.
Pengawas yang mempunyai keterampilan teknis investigasi
mendalam, menurut Herman, lebih-lebih jumlahnya amat terbatas.
Pengawas untuk proyek kecil seperti SD Inpres atau jalan di
kabupaten, bahkan sering tak tahu apa-apa tentang masalah
teknik. Memang, kata mandor dari CV Eksakta Sukabumi itu,
pengawas dua hari sekali datang ke proyek yang sedang
digarapnya. Mereka banyak mencatat kesalahan sambil tak hentinya
menuding bila melihat penyimpangan bestek. Tapi, katanya,
setelah diberi uang rokok, "mereka tak omong banyak lagi." Maka,
mandor bekas petinju prof itu tahu kewajibannya: tiap kali
pengawas datang, ia menyediakan Rp 5 ribu, dan semua akan
berjalan lancar.
Apalagi bila proyeknya jauh di daerah terpencil, setelah
ditunjuki foto dan uang rokok, "dia gampang saja disuruh tanda
tangan seolah pembangunan berjalan sesuai bestek," kata
pemborong di Jawa Tengah. Memang, kata Direktur Jenderal
Pembangunan Daerah (Bangda) Departemen Dalam Negeri, Atar
Sibero, karena jumlah pengawas yang terbatas, tak mungkin sebuah
proyek ditongkrongi terus olehnya. Apalagi sampai pengawas tadi
melihat pekerjaan membuat adonan semen setiap hari. Di beberapa
tempat, menurut Atar, bahkan ada pimpinan proyek atau camat dan
bupati yang belum pernah datang ke lokasi. Maklum, kata Atar,
"di sebuah kabupaten, proyek bisa banyak sekali."
Atar menilai, penyelewengan bestek atau penyalahgunaan wewenang
dan jabatan, sebenarnya terjadi karena volume pembangunan yang
melaju pesat, sementara kemampuan melaksanakan dan pengawasannya
masih amat terbatas. Sementara, "kita tak mungkin baru mulai
bekerja setelah semuanya siap dan mampu." Maka Atar menganggap,
adanya penyimpangan sebagai suatu yang tak terhindarkan.
Penyimpangan yang terjadi, menurut Atar, bisa disebut sebagai
"uang sekolah" yang mesti dibayar, karena kita memang sedang
dalam proses belajar (lihat box wawancara).
Adanya kesenjangan antara laju pembangunan dan kemampuan
mengerjakan (tenaga terampil), juga dilihat Ir. Hindro Tjahjono
Soemardjan, seorang Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI).
Maka, menurut Hindro, "ketidaksesuaian pekerjaan dengan bestek,
belum tentu disebabkan iktikad jelek." Keteledoran oleh
pelaksana di lapangan bisa jadi karena tak mengerti, atau karena
kesalahpahaman menafsirkan bestek, akan melahirkan proyek yang
tak sesuai dengan yang dimaui si perencana.
Kesalahan para pekerja di lapangan kata Hindro lagi, kebanyakan
dalam hal membuat beton. "Campuran air sering terlalu banyak,
sehingga kekuatan beton bisa berkurang sampai 40%," katanya.
Siswono menambahkan, menurunnya mutu bangunan, karena sulitnya
diperoleh tenaga tukang kayu dan tukang batu yang bermutu.
Tapi tentu, yang dikatakan Hindro dan Siswono tak lalu bisa
menghalalkan proyek yang memang tak memenuhi syarat. Bupati
Purbalingga, Jawa Tengah, Soetarno, misalnya, akhir Januari lalu
menolak meresmikan rumah sakit umum di kota itu, yang fondasinya
miring sehingga lantainya ambles.
Namun di banyak tempat lain, ketidakberesan tetap menjadi
rahasia pemborong, pengawas dan yang empunya proyek. Dan bila
suatu saat bangunan itu ambruk, misalnya, cukup banyak kambing
hitam yang bisa dituding sebagai biang keladinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini