BUKAN perbuatan dosa kalau bupati dan wali kota menjadi mata duitan. Yang mengucapkan "fatwa" ini tidak lain dari Mendagri Soepardjo Rustam dalam pelantikan Wali Kota Administratif Cilegon di Serang, Jawa Barat, akhir bulan lalu. "Wajar kalau ada yang mata duitan, asal pada hal-hal yan halal saja," kata Soepardjo. Maksud Mendagri, daerah dianjurkan berani melakukan terobosan guna meningkatkan pembangunan daerahnya. Misalnya dengan meminjam uang dari bank. Kesempatan ini sebetulnya sudah lama dibuka pemerintah. SK Mendagri Nomor 570 tanggal 7Januari 1982 memberikan wewenang kepada gubernur untuk mengambil kredit bank. Syaratnya, harus ada persetujuan DPRD-nya, dan jumlah kredit tak boleh melebihi 15% dari Debt Service Ratio (DSR). DSR adalah perbandingan antara cicilan utang dan pendapatan (daerah). Batas ini perlu karena APBD Pemda setempatlah yang dibebani melunasi utang dan bunganya. Sekalipun masih dalam batas DSR yang ditentukan, Pemda harus lebih dulu memperoleh izin dari Depdagri, apabila jumlah kredit melebihi Rp 250 juta. Rupanya, kemudahan itu belum dimanfaatkan oleh semua Pemda. Aceh dan Sul-Sel termasuk provinsi yang belum mencoba fasilitas itu Ketua Bapeda Aceh, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud, malah baru tahu bahwa Pemda boleh mencari kredit bank. "Saya baru menerima garis besarnya saja, belum mempelajari secara detail," katanya. Sebelum adanya peraturan itu, sudah ada beberapa Pemda yang berani berhubungan dengan berbagai lembaga keuangan. JaTeng, misalnya, sudah 10 tahun yang lampau membangun proyek dengan kredit bank. Bukan cuma Pemda provinsi, tapi 35 kabupaten yang ada di daerah itu turut pula pergi ke bank mencari dana. Dana asal kredit itu dipakai untuk membangun pasar, sarana listrik, terminal bis, instalasi air minum, dan sebagainya. "Sudah lebih dari 100 proyek yang kami bangun," kata Drs. Suparman, Kepala Humas Pemda Ja-Teng. Yang paling menonjol adalah pembangunan kantor gubernur di Jalan Menteri Supeno, Semarang. Gedung megah berlantai dua belas dengan luas 20.000 m2 itu mulai dikerjakan secara bertahap sejak enam tahun lampau dan direncanakan tahun depan selesai. Sampai tahun ini gedung itu sudah menghabiskan biaya Rp 11,5 milyar. Setelah kantor gubernur ini beres, di sampingnya masih akan dibangun gedung DPRD berlantai enam. Sumber duitnya? "Ditunjang oleh kredit dari Bank Indonesia," kata Margono, Kepala Biro Perekonomian Pemda Ja-Teng. Prosedur peminjaman itu tak terlalu rumit. Dimulai dengan anggukan dari DPRD, kemudian persetujuan Mendagri bila proyek yang akan dimohonkan kredit milik Pemda provinsi - persetujuan gubernur bila proyek kabupaten atau kota madya - dan permohonan segera dimasukkan ke bank. Biasanya, bank yang bersangkutan tak rewel. Tak mesti pakai agunan dan bunganya cukup rendah. Untuk pinjaman berjangka minimal 5 tahun, di Ja-Teng bunga yang dikenakan bank sekitar 10%. Penghitungan DSR-pun ternyata cuma diserahkan pada Pemda. Di Ja-Teng, DSR itu besarnya sampai 20%. Kok melebihi SK Mendagri? Kata Margono, itu sudah merupakan hasil perhitungan kemampuan daerahnya. Yang jelas, Depdagri sendiri takmenyalahkan itu. "Tak apa-apa, karena Pemda yang bersangkutan sudah menghitung akan mampu menutupnya, malah mendapat keuntungan yang lebih besar," kata Kepala Biro Humas Depdagri, Feisal Tamin. Pemda Kodya Medan - yang sudah mengenal kredit bank sejak 1978 - membenarkan bahwa bank tak pernah menurut agunan. "Cukup kami lampirkan data penghasilan murni daerah dalam permohonan kredit, mereka percaya," kat'a Karnold Pohan, 45 tahun, Ketua Bapeda Medan. Agaknya, dibanding Ja-Teng, Pemda Medan lebih memiliki naluri saudagar. Hampir semua kredit digunakan membangun pasar. Sebagai contoh, kredit dari BRI digunakan untuk membangun pasar Jalan Bakti, Jalan Halat, pasar Labuhan, dan terakhir diperoleh Rp 6 milyar untuk membangun kios-kios di pasar Mercu Buana, Medan. Kata Karnold Pohan, "Kredit dan bunganya sekaligus akan ditanggun oleh para pembeli kios di pasar-pasar itu." Begitu pula ketika lima tahun lalu Pemda itu mendapat kredit US$ 2,4 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dengan rente 10,25% per tahun. Pinjaman itu digunakan untuk membeli truk, buldoser, membangun bengkel, dan berbagai keperluan lain untuk Proyek Persampahan Kota yang direncanakan kelar tahun depan. Ada pula Pemda yang memakai duit pinjaman untuk proyek "khusus", seperti di Kabupaten Ketapang, Kal-Bar. Kredit yang diperoleh dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat dipakai untuk membangun kantor Golkar, PPP, PDI, Dharma Wanita, KONI, dan kantor Pramuka. Menurut ahli ekonomi regional dari UI, Iwan Jaya Azis, kelonggaran ini bisa menimbulkan risiko. "Kalau tak ada kontrol tentang kemampuan membayar dan belum ada kesiapan yang baik untuk apa dana yang dipinjam itu digunakan." Iwan sendiri amat setuju dengan kebijaksanaan ini, sebab mendukung asas desentralisasi. "Karena desentralisasi di bidang wewenang saja adalah nonsense," ujarnya. Syukur, belum terdengar bank direpotkan oleh kredit macet dari Pemda-Pemda itu. Sum-Sel malah berusaha melunasi kreditnya lebih cepat dari jadwal. Pemda itu sepuluh tahun lalu meminjam dana Rp 500 juta dari Bank Bumi Daya dengan bunga 13,5%. Dua tahun lalu meminjam lagi sebesar Rp 130 juta dengan bunga 18%. Uang itu digunakan membangun Hotel Swarna Dwipa di Palembang, yang dilengkapi dengan fitness center. Karena bunga pinjaman cukup tinggi, menurut Lukman Gazali, pengurus hotel, utang itu akan dilunasi lebih cepat dari jadwal. "Agar beban bunganya tak terlalu berat." Dan itu memang mungkin, bila hotel tersebut memang dibutuhkan. Artinya tak pinjam asal pinjam, tak membangun asal membangun. Amran Nasution, Laporan Agus Basri & Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini