SUDAH beberapa wartawan TEMPO naik haji, tapi tak semuanya dapat "berkah". Bagi seorang wartawan, salah satu "berkah" terbaik adalah menyaksikan suatu peristiwa besar. Dan itulah yang didapat oleh Budiman S. Hartoyo dan M. Baharun. Tatkala mereka berdua, secara terpisah, menunaikan ibadat haji tahun ini, peristiwa bentrok antara polisi Arab Saudi dan jemaah haji Tran yang menewaskan sekitar 400 manusia itu terjadi. Baik Budiman maupun Baharun dengan segera mengombinasikan perjalanan ibadatnya dengan pekerjaan jurnalistiknya. Mereka ternyata cukup cepat bekerja, biarpun dalam udara panas, yang oleh Budiman S. Hartoyo (seorang penyair), digambarkannya sebagai "meniris kulit". Baharun, yang fasih berbahasa Arab, sempat mengontak jemaah haji dari Iran. Kontak dengan Jakarta segera dibangun. Di Jakarta, Zakaria M. Passe, haji angkatan tahun 1986, ikut mengarahkan bagaimana kontak itu harus dilakukan - seraya memberikan gambaran kepada teman-teman di "pusat" tentang situasi di sekitar Masjidil Haram, agar cerita bisa lebih akurat. Didi Prambadi, yang mengkoordinasikan peliputan peristiwa ini, juga menghubungi Teheran. Di sana ada pembantu TEMPO, Syarif Imam Jomeh, yang mclaporkan pandangan matanya tentang reaksi marah di ibu kota Iran itu. Seluruh laporan terkirim Senin malam pekan ini. Seandainya Rabu ini bukan hari libur, sehubungan dengan Idul Adha, kami akan sempat mengubah gambar muka TEMPO nomor ini dengan peristiwa berdarah di Mekah itu. Toh kami bersyukur, bahwa kami masih bisa menyajikan kepada pembaca laporan peristiwa itu, dengan cepat. PEKAN ini -- bersamaan dengan Idul Adha - agaknya memang "pekan Islam". Laporan utama nomor ini juga bercerita perkembangan yang tiba-tiba meruncing di Manila, ketika orang-orang Moro yang Islam mengangkat senjata lagi menghadapi pemerintah di Manila. Ahmed Soeriawidjaja, yang Februari lalu ke Manila untuk meliput situasi di sana dan mewawancarai tokoh lawan politik Cory, Juan Ponce Enrile, berangkat lagi ke negeri tetangga itu. Ia dipilih karena ia sudah merintis kemungkinan wawancara dengan tokoh gerakan orang Moro, Nur Misuari. Dan tentu saja ia dipilih, antara lain, karena namanya "Ahmed" - satu hal yang memudahkan kontaknya dengan orang-orang Moro. Sayang, wawancara dengan Nur Misuari secara bertatap muka gagal: pada saat pertemuan akan diselenggarakan, di sebuah tempat di Jolo, satu jam terbang dari Manila, istri Nur Misuari meninggal di Islamabad, kena serangan jantung. Nur Misuari toh menepati janjinya: wawancara dilakukan dari Manila ke Islamabad, via telepon. Tak kurang penting ialah bantuan wartawan TEMPO di Manila, Djoko Daryanto. Djoko mengirimkan reportasenya dari daerah basis Moro, di Zamboanga City. Di Jakarta, Jim Supangkat merangkai laporan itu: sebuah ilustrasi tentang bagaimana makin tak pastinya nasib kesatuan Filipina dan orang-orang Moro. Selamat membaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini