Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bienale tanpa Anjas

Sebuah karya seni ditarik dari pameran seni rupa prestisius. Dituding mengandung pornografi, soal itu kini jadi urusan hukum.

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAPAN 5x6 meter itu tegak berdiri di sudut ruang E Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumat pekan lalu. Hanya ada warna putih di seluruh bidang, tanpa gambar secuil pun. Karya instalasi yang semula terpacak di sana memang telah dicopot panitia sejak Selasa silam.

Adalah perupa Agus Suwage yang me-masang pose-pose setengah polos bintang sinetron Anjasmara dan model cantik Isabel Yahya di sana. Foto karya Davy Linggar itu kemudian diramu de-ngan karya lukis Suwage yang menunjukkan suasana sebuah hutan perawan plus beberapa ornamen lain. Karya instalasi Agus yang diberi judul Pinkswing Park itu sempat menjadi ”bintang” dalam arena CP Biennale II.

Pameran ini memang tidak main-main. Digagas oleh CP Foundation, CP Biennale II bertaraf internasional dan digelar setiap dua tahun sekali. Di dalamnya dipamerkan karya-karya pilihan dengan proses kurasi yang ketat. Kurator dalam bienale kali ini adalah Jim Supangkat, Marco Kusumawijaya, Asmudjo Jono Irianto, dan kurator tamu Shin YinYang.

Tapi adalah Front Pembela Islam (FPI) yang, antara lain, ikut membikin heboh pameran itu. Kamis pekan lalu, sekitar 200 orang anggota FPI mendatangi lokasi pameran di ruang pamer Bank Indonesia di kawasan Beos, Jakarta Pusat, menuntut pencopotan karya Agus Suwage. Panglima Laskar FPI, Ustad Jafar Sidik, mengaku sudah melaporkan aksi mereka ke aparat keamanan sehari sebelumnya. Menurut Rozak, salah satu penjaga pameran, tujuh perwakilan FPI diterima pengelola Museum BI di ruang pertemuan. Massa selebihnya berunjuk rasa di depan gedung.

Jafar Sidik menambahkan, selain di-terima pengelola gedung Museum BI, ikut hadir juga staf kecamatan Taman Sari, Polsek Taman Sari, dan penyelenggara pameran. ”Waktu itu fotonya (memang) sudah tidak ada,” ujar Jafar kepada Tempo. Pertemuan yang berlangsung sekitar setengah jam itu berlangsung damai. ”Tidak ada satu pun karya yang rusak,” kata Rozak.

Tak cukup menemui panitia, dengan meng-gunakan truk rombongan FPI kemudian melanjutkan perjalanan ke Pol-da Metro Jaya. Di markas polisi ini Front Bantuan Hukum FPI mengajukan pendapat hukum (legal opinion) atas karya itu. Menurut mereka, foto-foto bugil tersebut dibuat sengaja mengambil latar belakang kisah klasik Adam dan Hawa di Taman Firdaus. Visualisasi foto-foto itu dinilai melukai perasaan umat Islam. ”Atas terpublikasinya foto itu, Anjasmara, Isabel, Davy Linggar, dan panitia penyelenggara dapat disangka melanggar Pasal 156 A dan 282 KUHP,” ujar Soleh Mamud, Sekretaris FPI. Pasal 156 berkaitan dengan penghinaan terhadap agama, sedang pasal 282 berurusan dengan pornografi.

Jafar menegaskan, FPI mendukung penyelenggaraan pameran yang diadakan sebulan penuh itu, dengan syarat gambar yang berbau pornografi tidak di-ikutsertakan. Pornografi, katanya, ”Ja-ngan dijadikan untuk alasan seni.”

Benarkah dalam pameran pres-tisius yang bertajuk ”Urban/Culture” itu ter-selip pornografi dan pelecehan aga-ma? Jim Supangkat menolak anggapan bahwa karya ”Anjasmara Telanjang” itu ber-isi penghinaan agama. Menurut dia, konsep karya itu tak ada hubungannya dengan cerita Adam dan Hawa. ”Tetapi itu adalah gambaran ruang urban di masa sekarang yang menjadi begitu individual,” kata salah satu pendiri CP Foundation tersebut.

Dia mencontohkan ruang tamu di setiap apartemen yang menjadi demi-kian ter-asing. Padahal dalam masyarakat ko-munal hal semacam itu tak terjadi. -Ruang tamu bukanlah ruang privat. ”Maka ketelanjangan itu adalah gam-bar-an ruang urban yang menjadi demikian privat.” Mengenai tudingan pornografi, Jim mengaku penafsiran pasal ini bisa bermacam-macam. Tetapi Pinkswing Park diyakininya tidak porno, karena tak ada alat vital yang terlihat. Bahkan, ketika difoto, Anjas sebenarnya me-ngenakan pakaian dalam. Kesan telanjang dibuat dengan rekayasa foto digital.

Soal ditariknya karya itu dari -ruang pameran, Jim mengatakan alasa-nnya ti-dak semata karena aksi dari FPI. Dia me-lihat sebelum adanya gerakan FPI, pem-beritaan pameran yang dila-kukan infotainmen dan media sudah ”membelok”. Banyak pemberitaan tentang pa-meran itu yang hanya menyo-rot sisi ke-telanjangan Anjasmara. ”Kami khawa-tir, kalau ini dibiarkan, akan bisa di-bawa ke mana-mana dan jadi kontraproduktif,” ujarnya. Maka, Selasa pekan lalu ditariklah pasangan ”Anjasmara-Isabel” dari arena.

Tulus Wijanarko, Agriceli, Jojo Raharjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus