TAK usah heran kalau geger Kedungombo bergema sampai ke manca negara. Soalnya, pembangunan waduk senilai US$ 300 juta itu sebagian memang dibiayai dengan pinjaman dari Bank Dunia (US$ 156 juta) dan Bank Ekspor Impor Jepang (US$ 45 juta). Tidak heran bila Proyek Kedungombo sampai mengundang perdebatan di parlemen Jepang, Maret lalu. Akiko Domoto, wakil Partai Sosialis Jepang, misalnya, mengaitkan dana pinjaman itu dengan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. "Jepang sebagai pemberi bantuan harus ikut memikul tanggung jawab," katanya. Domoto, yang pernah berkunjung ke Kedungombo, menambahkan bahwa rakyat di desa-desa terkena pembuatan waduk kecewa karena ganti rugi yang tak memadai. "Ini sesungguhnya merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia." katanya. Keprihatinan Domoto mengenai hak asasi manusia disampaikan dalam sidang Komite Anggaran Majelis Tinggi Jepang itu dan, menurut Perdana Menteri Toshiki Kaifu, pemerintah Jepang akan memperhatikan soal tersebut. Presiden Bank Eksim Jepang, Mitsuhide Yamaguchi, yang mendampingi Kaifu, menambahkan bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah Kedungombo masih terus dilaksanakan. "Kami berusaha terus berunding dengan pemerintah Indonesia dan Bank Dunia," ujarnya. Pinjaman sebesar US$ 45 juta itu, katanya lebih lanjut, tak melulu dipergunakan untuk pembangunan konstruksi waduk Kedungombo. "Pinjaman itu juga dipakai untuk membeli tanah pengganti, ongkos pindah mereka, dan biaya mempersiapkan berbagai prasarana di tempat relokasi," kata juru bicara Bank Eksim Jepang. Soal warga Kedungombo yang tak mau pindah dari kawasan genangan air memang merupakan masalah pelik. Sadiq Niaz, pejabat Bank Dunia, mengungkapkan -- sebagaimana ditulis William Holden dalam laporan yang berjudul World Bank's Kedung Ombo Dam Project in Indonesia Continues Toward Completion as Recent Resettlement Problems are Addressed -warga yang mengulur-ulur waktu meninggalkan Kedungombo itu sesungguhnya berharap bakal ditawari ganti rugi yang lebih tinggi. Itu, katanya lebih lanjut, karena biaya kompensasl terlalu kecil, lalu pembayarannya terlambat, sementara harga tanah terus saja berubah. Antony P. Cole, pejabat Bank Dunia di Jakarta, mengakui bahwa Bank Dunia tak cukup mampu mengantisipasi soal pemindahan warga Kedungombo sesuai dengan realita. Hikmah yang bisa diambil, kata Erdmann E.A. Zimmer-Vorhaus, juga pejabat Bank Dunia, ternyata orang mungkin saja berubah sikap karena perjalanan waktu. "Boleh jadi ini karena minimnya pendidikan dan pengalaman mereka," kata Zimmer-Vorhaus. Ia menambahkan warga yang kena gusur seharusnya dilibatkan dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan sehingga implikasi dari pilihan mereka dan perubahan sikap yang ada jadi berarti bagi mereka. Pemerintah Jepang juga mengambil pelajaran dari kasus Kedungombo. Ini terlihat dalam proses pembiayaan bantuan Jepang lewat Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) untuk pembangunan waduk Kota Panjang, Riau. Kendati biaya pembangunan waduk itu sudah disepakati ditanggung Jepang, Tokyo tampaknya tak akan mudah membuka keran pinjamannya sebesar US$ 290 juta tersebut. Menurut seorang pejabat Biro Kerja Sama Luar Negeri Jepang, pemerintahnya telah mengajukan sejumlah syarat kepada Indonesia mengenai pembangunan waduk Kota Panjang itu, antara lain persetujuan pindah harus diperoleh dari setiap kepala keluarga secara individual, dan mereka harus diajak pula dalam menetapkan harga. Jadi, negosiasi tak lagi cukup lewat kepala desa atau tokoh masyarakat. Pejabat Biro Kerja Sama Luar Negeri itu menambahkan bahwa pemerintah Jepang juga minta jaminan tempat tinggal baru bagi 30 ekor gajah Sumatera, yang diduga mendiami kawasan hutan Kota Panjang. "Pemerintah Jepang minta kepada pemerintah Indonesia agar masalah relokasi diselesaikan lebih dahulu sebelum pembangunan konstruksi dimulai," katanya. "Beleid ini kami jalankan setelah belajar dari kasus Kedungombo." Tekanan terhadap pemerintah Jepang juga datang dari Foundation for Human Rights in Asia (FHRA). Organisasi yang berdiri Desember 1990 itu -salah seorang ketuanya, Takako Doi (Ketua Partai Sosialis Jepang) -mengadakan simposium tentang Kedungombo. Dalam simposium itu, antara lain, dilontarkan cerita mengenai adanya pelanggaran hak-hak asasi akibat pembangunan. Sebelumnya, pada 1989, gema Kedungombo sudah terdengar di Nieuwpoort, Belgia, ketika berlangsung konperensi International NGO Forum on Indonesia (INGI) -- forum pertemuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asal Indonesia dengan sejumlah LSM mancanegara untuk membicarakan berbagai masalah pembangunan di Indonesia. Dalam Aide Memoire INGI, yang dikirimkan kepada IGGI dan Bank Dunia, antara lain disebutkan soal penanganan ganti rugi yang tak sesuai dan pemaksaan penduduk untuk meninggalkan lahan pertanian mereka. Masalah pembangunan waduk Kedungombo ini pula yang mendorong Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda, dan sekaligus merangkap Ketua IGGI, J.P. Pronk, berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat. "Ia akan meninjau waduk Kedungombo dan menanyakan permasalahannya langsung kepada rakyat di sana," kata Rob Vermaas, juru bicara Departemen Kerja Sama Pembangunan Belanda. Seiichi Okawa (Tokyo) dan Masdy Gardner (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini