Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyuruk di bibir waduk

Sekitar 5000 keluarga masih bertahan di daerah genangan air waduk kedungombo.mereka hanya menggeser rumahnya mengikuti genangan. alasan mereka tak mau pindah karena uang ganti rugi dinilai tak memadai.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masih sekitar 500 keluarga bertahan di Kedungombo. Beberapa hanya menggeser-geserkan rumahnya mengikuti genangan air, sampai lima kali. Mengapa mereka tak mau pindah? RUMAH itu mestinya tak layak dihuni. Dalam bangunan seluas 4 x 5 meter dengan tinggi hanya satu setengah meter itulah, Triyanto dengan enam saudaranya plus kedua orangtuanya tinggal. Inilah yang kelima kalinya mereka menggeserkan rumahnya, semenjak lokasi rumahnya yang pertama dulu -kini diperkirakan berada di dasar waduk -tenggelam. Setiap kali air Bendungan Kedungombo itu naik, warga Kampung Mlangi itu menggeser rumahnya lebih ke atas. Itu dilakukannya berkali-kali sehingga yang terlihat kini -juga umumnya bangunan sekitar 300 warga lainnya -seperti permukiman liar bak perkampungan para tunawisma. Rumah-rumah di sana terlihat dibangun "asal saja". Dindingnya terbuat dari papan kasar. Dan beberapa di antaranya ada yang beratapkan rumbia. Maklum, tempat hunian itu dibangun dari bahan-bahan sisa yang diambil dari rumah lama yang terpaksa digeser mengikuti permukaan air yang terus naik. "Kami sebetulnya berharap pada hari Lebaran ini air waduk akan surut sehingga kami bisa merayakan Hari Raya di gubuk lama yang lebih luas," kata Triyanto, 23 tahun, pekan lalu. Tapi keinginannya tak kesampaian. Lain lagi dengan Sukiran, 31 tahun. Sejak rumahnya tergenang air, duda beranak satu itu lebih suka memilih ngembul alias menumpang di rumah saudaranya, daripada "menggotong" rumahnya yang lama. Para warga Mlangi ini termasuk mereka yang masih enggan pindah ke tempat yang disediakan pemerintah. Memang, tak semuanya bertahan di bibir waduk. Ada yang rela menyingkir dari tanah kelahirannya itu -sebagian menganggapnya sebagai tanah leluhurnya -- setelah mengantungi uang ganti rugi. Ada juga yang tergusur dengan rasa gusar. Ada juga yang sudah menerima ganti rugi, tapi belum mau hengkang dari daerah genangan karena berharap bakal menerima uang ganti rugi yang lebih layak alias lebih besar. Ada yang protes, dan gemanya sampai ke telinga pejabat di kantor Bank Dunia yang bermarkas besar di Washington dan anggota parlemen di Jepang. Ada juga yang ngotot, sekaligus nekat menetap di daerah genangan air, seperti warga Desa Mlangi itu. Hadirnya Waduk Kedungombo memang telah mengubah peta geografis tiga kabupaten di Jawa Tengah: Boyolali, Sragen, dan Grobogan. Sejumlah desa lenyap ditelan air waduk. Dan 5.000-an keluarga harus menyingkir dari sana -di antaranya sekitar 500 keluarga masih ngotot tak mau beringsut dari daerah genangan air waduk. Boleh jadi, ini merupakan fenoma menarik. Tergusurnya ribuan keluarga itu membawa dampak sosiologis, ekonomis, antropologis, dan tentu politis. Misalnya penduduk Desa Soka di Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Mereka, yang ditaksir berjumlah sekitar 1.500 orang itu, kini mengungsi ke sebelah timur Waduk Kedungombo. Persisnya di pinggir jalan besar antara Solo dan Purwodadi, atau sekitar 35 kilometer sebelah utara Solo. Tempat yang semula dikenal sebagai tanah persawahan itu kini tampak dijejali permukiman para pendatang dari dasar waduk. Warga Desa Soka yang tergusur itu menganggap bahwa pembangunan Waduk Kedungombo itu mendatangkan kemelaratan buat mereka. Sebaliknya, "Pembangunan waduk cuma menguntungkan orang Purwodadi, Demak, dan Rembang. Merekalah yang tanahnya nanti mendapat air dari waduk ini. Sedangkan kami yang berasal dari daerah sini malah tetap sengsara," keluh Madiyono, 37 tahun, yang dianggap sebagai salah seorang tokoh di desanya. Menurut Madiyono, tanah mereka itu dilepas dengan uang ganti rugi Rp 730/m2. "Sebenarnya, kami bertahan tak mau melepasnya. Tetapi setelah diacungi UU Subversi, ya, terpaksa kami terima," tutur Madiyono, yang kini menumpang tinggal di rumah kakaknya. Mereka kini tak hanya kehilangan tanah garapannya. Mereka juga kehilangan mata pencarian yang diwariskan secara turun-temurun di tanah lembah yang subur itu. Ambil contoh cerita Ny. Sawi, 44 tahun. Ia mengaku punya tanah seluas 4.500 m2 di dasar waduk. Di atas tanah itu ditanami 25 pohon mangga, 20 pohon nangka, dan 15 pohon kelapa. "Saya bisa hidup dari hasil kebun, dan cukup untuk membiayai sekolah tiga anak saya," katanya. Tanah dan rumahnya yang kini sudah tenggelam itu hanya diberi ganti rugi Rp 3,2 juta. Kini, di tempatnya yang baru itu, ia harus mengeluarkan uang Rp 4,5 juta untuk sebuah kaveling yang luasnya hanya sekitar 550 m2 -sepersembilan dari luas tanah yang dimiliki sebelumnya. Tentu saja uang ganti rugi itu tak memadai jumlahnya untuk membeli sepetak kavling di tempat permukimannya yang baru itu. "Saya terpaksa menjual dua ekor sapi," kata Ny. Sawi, yang kini mengandalkan hidupnya dengan menjual jamu gendong. Sedangkan suaminya berjualan rumput. Madiyono membuat perkiraan bahwa penghasilan warga desanya kini sekitar Rp 2.000/hari. Padahal, dulunya mereka dalam sehari setidaknya bisa memperoleh di atas Rp 3.000. Bagi warga Soka yang pernah dikenal suka berkebun itu, kini hidup mereka mendadak sontak berubah menjadi buruh dan penjual rumput. Nasi memang sudah jadi bubur. Uang ganti rugi sudah mereka kantungi dan persetujuan pindah sudah mereka sepakati. Namun, warga Desa Soka tetap memperjuangkan nasib mereka. Tahun lalu, sekitar 300 orang asal sana mendatangi Gedung DPR di Jakarta. Dan awal bulan ini mereka juga "menyerbu" kantor perwakilan Bank Dunia di Jakarta. Di tempat inilah mereka mengadukan nasibnya yang apes itu. Tuntutan mereka adalah tambahan uang ganti rugi atas tanah yang sudah mereka korbankan untuk membangun waduk. Nasib pahit warga Desa Soka juga dialami warga lainnya yang kini mendiami bagian lain bibir Waduk. Seperti di Kedungpring, Sarimulyo, Termes, dan Mlangi. Toh dalam suasana darurat itu, hari Lebaran masih terasa khidmat di sana. Tak ada baju baru, tapi ada salat Ied di pekarangan sebuah langgar berukuran 7 x 10 meter yang dijejali jemaah sekitar 150 orang. Dan di tempat itu pula mereka merayakan pesta halal bihalal yang dihadiri hampir semua warga di sana. Namun, tradisi bertakbir keliling kampung di malam Lebaran kini sudah tak ada. "Habis, mau keliling ke mana, sekarang tempat kami ini kan dikelilingi air waduk," kata Trimo Raharjo, warga di sana. Pemerintah sendiri sebenarnya tak tinggal diam. Buat mereka sudah disiapkan lahan di atas tanah Perhutani yang berada di luar batas sabuk hijau. Di sana sudah disediakan rumah berukuran 6 x 7 meter dan lahan garapan seluas 500 m2. "Tanah 500 meter itu untuk apa? Kami ini petani, tanah kami yang tergenang itu beribu-ribu meter, lha kok, mau ditukar 500 meter," ujar Sukiran, mengeluh. Selain itu, mereka juga melecehkan rumah baru yang disediakan itu. "Itu rumah kok terbuat dari kayu gelugu muda. Umurnya paling banter cuma setahun, lalu pasti ambruk," tambah Sukiran. Ia mengenang rumahnya yang kini sudah tenggelam itu, yang terbuat dari kayu jati. "Dan rumah itu pun sampai sekarang belum diganti oleh pemerintah," katanya. Kini, Sukiran bersama 300 temannya sudah mengadu kepada LBH Semarang dan menggugat pemerintah menuntut ganti rugi yang layak. "Besarnya ganti rugi masih kami rembuk dengan pemerintah. Kalau gagal, ya kami tuntut ke pengadilan," ancamnya. Jalur hukum ini juga dipilih oleh warga Kedungpring, yang kini juga bertengger di tepi waduk dan bertahan tak mau pindah dari sana. Kampung yang dihuni oleh 54 keluarga itu tampaknya lebih garang dan tanpa senyum ketika menerima orang luar. Lelaki di sana sebagian besar terlihat hanya berpakaian kolor dan kaus oblong butek. Sedangkan para wanitanya hanya memakai BH dan kain yang lusuh. Di sana tak ada suasana Lebaran. "Makan saja sulit, kok mikir Lebaran," kata Sopawiro Parman, 65 tahun, yang juga biasa dipanggil Pak Jenggot. Sebenarnya, untuk Pak Jenggot dan warga lainnya, pemerintah sudah menyediakan tempat permukiman yang baru di Kedungrejo, yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari Kedungpring. Meski kondisi mereka sudah morat-marit, rasa solidaritas di antara mereka tampaknya kental. Mereka mengenal motto: "Makan satu, makan semua. Lapar satu, lapar semuanya". Dengan semangat ini, Pak Jenggot membawa soal ini ke pengadilan dengan bantuan LBH Semarang. Mereka mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 20 ribu sampai Rp 23 ribu/m2. "Kalau tahun depan malah bisa naik jadi Rp 50 ribu per meter persegi," kata Pak Jenggot, yang memang berjenggot tebal itu. Cerita dari bibir waduk memang bukan hanya yang sedih-sedih. Lihat, misalnya, warga Desa Nglanji, yang rumahnya sudah pada tenggelam di dasar waduk. Mereka menempati kawasan hutan milik Perhutani yang letaknya hanya sekitar satu kilometer dari tepi waduk. Di sana, selain tanahnya subur, mereka juga bisa memanfaatkan waduk dengan menangkap ikan. Dalam sehari mereka mampu mengumpulkan sekitar Rp 5.000. Desa yang baru itu mereka beri nama Kedungmulyo, dan kini berpenghuni 412 keluarga. Suasana di sana tampak lebih makmur daripada di daerah sekitar Kedungombo lainnya. Tengoklah Sumarto, 46 tahun. Rumahnya kini sudah dilengkapi televisi 12 inci. Dan anaknya, si Dirun, dibelikan sebuah sepeda. "Kami memang sekarang hidup lebih senang. Punya rumah dan tanah berikut sertifikat. Dan punya ladang yang subur dan waduk yang banyak ikannya," cerita Sumarto. Di rumah Djaswadi juga terlihat ramai saat Lebaran kemarin. Di sana ada pendopo yang juga berfungsi sebagai balai pertemuan. Selain tersedia seperangkat meja dan kursi juga teronggok televisi. Maklum, bekas kepala dusun itu rupanya masih dianggap sebagai tokoh oleh warga di sana. Sukses Kedungmulyo ini tampaknya tak terlepas dari upaya Djaswadi yang menjadi motor dalam upaya mencari nasib yang lebih baik itu. Dialah yang menyurati Bank Dunia dan menawarkan ide hak untuk mendapat tanah, dan bukan uang ganti rugi, sebagai kompensasi tanah yang sudah mereka korbankan untuk pembangunan waduk itu. Gayung bersambut. Akhirnya mereka diluluskan menempati lahan yang pernah dimiliki Perhutani itu. Kini, penampilan Djaswadi -yang boleh jadi merupakan pencerminan wajah kampung Kedungmulyo itu -lebih keren. Sehari-hari tak lagi memakai celana kolor dan kaus oblong. Sosoknya kini sudah jauh berbeda. Ia terlihat lebih sering menggunakan setelan safari atau berbaju batik. Dan tangannya hampir tak pernah lepas menjinjing tas kecil. Tentang penampilannya itu, Djaswadi cuma berkomentar, "Saya tak bermaksud macak (bergaya). Tapi karena saya sering bertemu pejabat dari tingkat bupati, gubernur, dan menteri di Jakarta." Laporan Kastoyo Ramelan, Heddy Lugito, Adjie Surya, dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus