Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kedungombo

Ratusan keluarga masih bertahan hidup di bibir waduk kedungombo. untuk mempertahankan hak-haknya, mereka menuntut pemerintah daerah ke pengadilan dan mengadu kemana-mana.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang membuat sekelompok orang ngotot, menolak pindah, meski gubuk tempat mereka tinggal terus dirayapi oleh air yang menggenang? Apa yang membuat mereka bertahan dalam derita, mempertahankan tanah dan rumah yang tak lagi dapat mereka jamah, karena telah tenggelam jauh di dasar waduk sana? Apa yang sebenarnya mereka cari? Apa yang mereka harapkan? Sejumlah pertanyaan itu memang menggugah untuk ditanyakan karena yang dilakukan oleh ratusan keluarga yang kini bertahan hidup di bibir Waduk Kedungombo itu memang luar biasa -apalagi untuk ukuran Jawa. Misalnya bagaimana seluruh dusun beramai-ramai membongkar rumah dan memindahkannya ke tempat yang lebih tinggi setiap kali air waduk naik. Untuk mempertahankan hak-haknya, mereka tak segan menuntut pemerintah daerah ke pengadilan. Juga berbondong-bondong mengadu ke sana-sini. Karena kengototan mereka itulah drama Kedungombo hingga kini belum juga terselesaikan. Sebuah drama yang gemanya cukup luas hingga kecipaknya terdengar juga sampai ke luar negeri. Ada yang menuding, karena kipasan pihak luarlah kasus Kedungombo jadi berlarut-larut. Namun, anggapan itu ditolak sosiolog UGM Loekman Soetrisno. "Kekerasan hati mereka sebenarnya hanya terdorong karena rasa takut menjadi miskin," ujarnya. Memang, siapa yang ingin menjadi miskin? Pembangunan nasional kita justru ingin menggusur kemiskinan itu. Dan pembangunan Waduk Kedungombo adalah bagian dari upaya besar itu. Bahwa waduk ini kelak akan membawa manfaat besar, siapa pun tak bisa membantah. Namun, patutkah sebuah proyek yang membawa berkah itu dalam pembangunannya harus menyeret sejumlah orang jatuh dalam jurang kemiskinan? Tentu tidak. Karena itulah usaha berbagai pihak untuk mencari jalan keluar bagi kasus Kedungombo sepatutnya disambut gembira. Begitu juga upaya menolong atau mengurangi derita mereka. Untuk itu pulalah kami, pekan lalu, mengirimkan sejumlah wartawan dan fotografer ke Kedungombo, untuk merekam suasana di sana. Untuk bisa lebih mengerti, mengapa para diehard itu tetap bertahan sekalipun dalam nestapa. Hasil pantauan itu kami sajikan dalam Laporan Utama nomor ini. Termasuk suasana Lebaran di bibir genangan. Juga potret-potret suram mereka yang bertahan, serta senyum mereka yang merasa telah mapan. Kasus Kedungombo kini memang mirip benang kusut. Namun, itu tak berarti bahwa benang itu tak bisa diurai. Asal semua pihak mau bermusyawarah dan mawas diri, tanpa saling mencurigai, atau mau menang sendiri. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus