Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Abri saudara kami

Tujuan abri datang ke kedungombo untuk menjaga keamanan wilayah, menyelamatkan warga yang masih bertahan di daerah larangan dan membangun kompleks perumahan untuk menampung penduduk yang bertahan.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA kompi tentara masuk ke Kedungombo. Pasukan seragam loreng dari Batalyon Infanteri 408/SBH Subrastra, dibantu anggota -Kodim se-Surakarta, membuka komando taktis (kotis) di Balai Desa Genengsari dan Posko di tanah datar di atas permukiman penduduk Kedungpring. "Tugas kami hanya menjaga keamanan wilayah," ujar Kolonel TNI Imam Sutopo, Danrem 074 Warastratama Surakarta. Kehadiran pasukan ABRI di Kedungombo sejak 13 Februari 1991 itu berbeda dengan penempatan ABRI di wilayah itu pada 1989, saat waduk mulai digenangi. Waktu itu, Kedongombo boleh dikata tertutup untuk orang luar, kecuali yang mendapat izin khusus. Sehingga, waktu itu, banyak mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO) menerobos hutan, membantu secara diam-diam penduduk Kedungombo yang menolak pindah. Sosok ABRI yang sekarang lain. Mereka datang dengan tujuan untuk menyelamatkan warga Kedungombo yang masih bertahan di daerah larangan. "Jika air melalap mereka, ABRI siap memberi bantuan dengan kapal karet bermesin," kata Imam Sutopo. Pendatang dari luar tetap bebas masuk ke wilayah itu, paling hanya ditanya identitas dan maksud kedatangannya. Rakyat tampaknya menyambut kehadiran ABRI kali ini dengan gembira. "ABRI, juga LBH dan ICMI, sekarang jadi sedulur (saudara) kami. Kalau sudah jadi sedulur nantinya mereka akan tahu isi hati kami," ujar Sopawiro Parman, 65 tahun, tokoh Kedungpring, pada TEMPO. Apalagi ABRI tampil dengar karya nyata: membangun komplek perumahan untuk menampung penduduk yang bertahan. Di bawah panji Karya Bakti dalam rangka hari ulang tahun Kodam IV/Diponegoro, sejak Februari 1991, ABRI membuka lahan perbukitan milik Perhutani di wilayah Genengsari, Kecamatan Kemusu. Bukit diratakan, jalan dan saluran dibikin. Akhirnya, di atas tanah seluas 300 ha itu kini berdiri 320 unit rumah sederhana. Ukuran rumah 9 x 6 meter, separuh tembok, berlantai tanah. Rumah-rumah di permukiman baru ini ditawarkan pada penduduk yang masih bertahan di bibir waduk. Menurut Imam Sutopo, pihaknya melakukan dialog persuasif. Hasilnya ada. Sampai awal April lalu ada 79 kk yang bersedia pindah ke permukiman Genengsari tersebut. Di permukiman baru ini setiap kepala keluarga memperoleh rumah berikut tanah seluas 500 meter persegi. Harganya Rp 200 per meter, dicicil selama 5 tahun. Jadi, setiap tahun mereka harus membayar Rp 20 ribu. Tapi sebagian penduduk menganggap permukiman baru itu tidak memadai. "Bahannya dari kayu gelugu (pohon kelapa) muda, umurnya paling banter satu tahun," ujar Sukiran, 35 tahun, tokoh Mlangi. Juga tanah 500 meter itu. "Tanah kami yang tergenang itu beribu-rihu meter, kok mau ditukar 500 meter," kata Sukiran lagi. Memang, jumlah yang bersedia pindah dari daerah terlarang itu masih kecil, dibanding 253 kk yang masih bertahan. Angka ini dari catatan Pemda Jawa Tengah. Tapi dalam catatan PMI, jumlah yang masih bertahan 554 kk. termasuk Kedungpring 54 kk dan Mlangi 77 kk. Syahril Chili, Kastoyo Ramelan, dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus