Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bintang pilihan naro

Sutardji mengubah susunan pengurus FPP tanpa persetujuan DPP, langsung diumumkan Amirmachmud. Kelompok Naro tersingkir. Dardji menolak pergantian lambang yang dibuat Naro. (nas)

13 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH lembar pidato ketua DPR Amirmachmud pada pembukaan masa sidang keempat 1984/ 1985 telah selesai dibaca. Tapi ternyata masih ada tambahan. Sebelum menutup rapat paripurna DPR Senin pagi pekan ini Amirmachmud membaca lagi sesuatu yang menggegerkan: perubahan susunan dan personalia fraksi Persatuan Pembangunan. Perubahan itu disampaikan lewat surat pimpinan F-PP, yang ditandatangani Ketua Soedardji (Dardji) dan Wakil Sekretaris B.T. Achda, kepada pimpinan dewan. Dalam susunan baru itu, praktis semua orang yang termasuk kelompok Naro tersingkir: Darussamin, Effendy Somad, Hartono Mardjono, Ali Tamin, Ramly Nurhapy, Ny. Safinah Udin, dan Abubakar. Beberapa nama mencuat ke atas. Achda, yang semula menjabat wakil sekretaris, naik menjadi sekretaris, menggantikan Jahja Ubeid, yang turun menjadi anggota pimpinan. Kursi Darussamin sebagai wakil ketua dialihkan kepada Adnan Kohar. Jusuf Syakir masuk sebagai wakil ketua menggusur Hartono Mardjono, sedangkan jabatan Ali Tamin dan Effendy Somad sebagai wakil sekretaris beralih ke Dja'far Siddiq dan Djohan Burhanuddin. Usai tepuk tangan gemuruh menyambut selesainya pidato Amirmachmud, Dardji tertawa girang. "Ternyata, surat saya masih laku, dan saya berhasil," katanya. Dalam surat tanggal 29 Maret itu, Soedardji meminta agar susunan dan personalia F-PP yang baru itu dibacakan pimpinan dewan dalam sidang pleno 8 April dan disahkan sekaligus. Dalam suratnya kepada pimpinan DPR, SoedardJi menyebutkan alasan pembaruan personalia F-PP itu untuk "meningkatkan daya guna, efektivitas, serta produktivitas kerja F-PP". Namun, dalam pertemuan pers yang diadakan dua jam setelah pengumuman Amirmachmud, Dardji mengatakan, "Kami pilih orang-orang yang bisa diajak bekerja sama, dan tidak mengobrak-abrik ruang kerja dan mencuri stempel." Yang dimaksud Soedardji tampaknya peristiwa 14 Maret lalu tatkala Ridwan Saidi "mengobrak-abrik" meja kerja Dardji. Menurut dia, F-PP sudah agak lama retak. "Saya tidak ingin konflik DPP masuk ke F-PP," ucapnya. "Hilang"-nya stempel dan kertas berkop PPP, lalu munculnya "surat dari orang yang mengatasnamakan fraksi", juga dipakai Dardji sebagai alasan tindakannya. "Kalau bukan saya, siapa lagi yang memperbaiki fraksi ini?" Langkah Dardji tampaknya menggusarkan kelompok Naro. "Yang dibaca Pak Amirmachmud itu hanya pemberitahuan, belum peresmian," kata sekjen DPP PPP Mardinsyah. Tindakan Dardji, menurut dia, bertentangan dengan tata tertib fraksi dan AD/ART. Fraksi tetap alat partai. Susunan pimpinan fraksi harus diajukan fraksi kepada DPP, baru kemudian partai tersebut mengajukannya pada pimpinan DPR. Malah, katanya, sebenarnya DPP-lah yang bisa mengubah susunan fraksi, tanpa persetujuan fraksi itu sendiri. Dardji, seperti biasa, selalu siap dengan iawaban. "Buat aDa lewat DPP? Saya sudah menyatakan tak percaya lagi pada DPP." DPP, ujarnya, akan diberi tahu juga tentang perubahan itu. Lalu disambungnya dengan nada keras, "Kami akan jalan terus walaupun DPP tak membenarkan. Kami sekarang tak taat lagi kepada DPP. Sebab, DPP ikut bertanggung jawab pada keadaan PPP yang ribut ini. Kami bisa bertanggung jawab langsung pada muktamar. Pijakan kami adalah Pancasila dan UUD 1945." Kelompok Naro tampaknya tersudut oleh langkah Dardji ini karena pimpinan DPR rupanya menerima perubahan ini, meski menurut AD/ART susunan fraksi harus disahkan oleh DPP. "Tidak perlu ada pengesahan. Pemberitahuan itu berarti susunan fraksi yang baru sudah jalan," kata wakil ketua DPR Nuddin Lubis. Perubahan susunan F-PP itu jelas membuat kemelut dalam PPP tambah keruh. Yang juga menambah seru lahirnya lambang baru PPP. Lambang itu berupa gambar bintang bersudut lima berwarna kuning emas dengan latar belakang warna hitam, dikelilingi warna hijau. Dalam sejarah partai di Indonesia, lambang bintang pernah dipakai Murba dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Menurut Ridwan Saidi, ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Pemilu DPP PPP, sejak akhir Januari lalu ia ditunjuk sebagai pimpinan tim pembuat lambang. "Sekitar seratus usulan lambang masuk dari daerah," katanya. "Tapi semua tidak ada yang memenuhi syarat artistik. Lalu saya kotak-katik, dan kemudian disetujui," ucap Ridwan. Ketua DPP PPP J. Naro mengusulkan warna kuning emas untuk bintang, yang artinya kekayaan tanah air. "Hitam berarti ilmu pengetahuan, dan hijau bermakna kesuburan," ucap Ridwan lebih lanjut. Ridwan menolak tudingan yang menganggap bahwa warna hitam itu mencerminkan gambar Ka'bah secara tersamar. "Apa yang saya bikin ini hanya demi tuntutan artistik saja. Warna hitam, karena sesuai dengan warna perisai Garuda Pancasila, dan untuk membedakan dengan simbol-simbol partai yang pernah ada dulu." la juga membantah bahwa warna hijau melambangkan keislaman. "Itu warna alternatif, daripada merah atau biru yang sudah banyak dipakai." Malah, menurut Ridwan, lambang ini mencerminkan "angka keramat" 17-8-1945. Jumlah huruf Partai Persatuan ditambah dua kotak hitam menjadi 17. Sudut dua kotak hitam berjumlah 8. Jumlah sudut dasar lambang 4, dan sudut bintang 5. Pada 4 April rencana lambang ini dibawadalam rapat pleno DPP yang dihadiri Majelis Pertimbangan Pusat. "Yang hadir 54 dari 68 orang," kata Ridwan. Pada pukul 01.00 5 April, lambang bintang disetujui. Menurut Effendy Somad, lambang bintang berasal dari usul Almarhum Mintaredja, bekas ketua umum DPP PPP, jauh sebelum muktamar. Tapi Dardji membantah. "Lambang bintang itu pernah saya usulkan dalam rapat DPP dua bulan sebelum muktamar Agustus 1984. Tapi ditolak dan kalah suara 23 banding 1," katanya. Ia sekarang menolak lambang bintang itu. "Sebelum ada keputusan muktamar, saya masih menganggap PPP berlambang Ka'bah," cetusnya. Pergantian lambang tampaknya merupakan usaha Naro untuk menyesuaikan AD/ ART PPP dengan UU Parpol dan Golkar, tanpa harus menyelenggarakan muktamar. Pada 20 Maret lalu, Mendagri Soepardjo Rustam memang meminta Parpol dan Golkar menyesuaikan AD/ART mereka dengam UU Nomor 3/1985 mengenai Parpol dan Golkar. Sebelumnya - lewat sebuah surat keputusan DPP PPP - Naro juga telah melakukan perubahan sementara AD/ART dengan mencabut semua istilah anak cabang dan ranting partai yang bertentangan dengan undang-undang. Penetapan lambang bintang ini disertai embel-embel "sambil menunggu perubahan resmi dalam muktamar". Prosedur itulah yang kini dipersoalkan. "Mengubah AD/ ART tidak semudah itu. Harus lewat muktamar," kata Achda. Rekannya, Anwar Nuris, menunjuk pasal 20 AD dan pasal 60 ART PPP. Di situ memang ditegaskan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga hanya bisa diubah oleh muktamar. Kelompok Naro berkelit. "DPP bisa mengubah AD/ART asal nanti dipertanggungjawabkan kepada muktamar. Sebab, peranturan yang hertentangan dengan undang-undang otomatis gugur dengan sendirinya. Dan tak perlu muktamar kalau hanya untuk itu," kata Effendy Somad. Alasan Naro menghindar melaksanakan muktamar sangat jelas. Ia tidak ingin forum itu dipakai untuk menjatuhkan kedudukannya. Cara berkelit Naro nemang cukup gesit, dan itu menunjukkan kelihaiannya sebagai politikus yang berpengalaman. Tapi apakah langkahnya ini bisa mencegah diselenggarakannya muktamar? Tampaknya ini sangat bergantung pada slkap pemerintah. Dalam Dertemuannya dengan pimpinan Parpol dan Golkar Maret lalu, Mendagri Soepardjo Rustam meminta ketiganya menyesuaikan diri dengan UU Parpol dan Golkar paling lama dalam jangka waktu setahun. Penyesuaian itu "dengan cara yang sesuai dengan prosedur yang ada dalam konstitusi organisasi itu sendiri". Menurut Soepardjo waktu itu, AD/ART Golkar dan PDI sudah sesuai, tinggal PPP yang harus menyesuaikan diri. Apakah itu berarti penyesuaian harus lewat muktamar, sesuai dengan AD/ART PPP? Sebuah Sumber TEMPO di Depdagri Senin pekan ini menegaskan, "Pemerintah memang mendorong agar muktamar itu segera diselenggarakan." Mendagri, katanya, malah telah menyanggupi bantuan dana untuk penyelenggaraan kongres atau muktamar jika hal itu diperlukan. S.P. Laporan Musthafa Helmy (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus