INDUSTRI pemakai bahan baku impor kini punya harapan baru. Dalam waktu dekat ini, mereka dijamin akan bisa mengeluarkan bahan baku dari gudang pelabuhan dalam tempo dua hari. Mereka juga tidak perlu mengeluarkan uang ekstra dan memeras pikiran untuk mengurus dokumen ke pelbagai meja petugas Bea Cukai. Dengan demikian, banyak biaya perusahaan bisa dihemat. Terobosam radikal itu memang bakal terbuka sesudah Inpres No.4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang dikeluarkan pekan lalu. Dengan ketentuan baru itu, kemungkinan Bea Cukai melakukan pemeriksaan fisik dan dokumen sudah tertutup. Sebab, pemeriksaan jenis, mutu, volume, harga dan biaya angkutan bahan bersangkutan sudah dilakukan pihak perwakilan surveyor Societe Generale de Surveillance SA (SGS) di negara asal. Bea Cukai di sini akhirnya tinggal memberi surat jalan keluar barang dari gudang saja. Urusan jadi cepat selesai. Jadi, bisa dimengerti bila industri substitusi impor semacam PT Johnson & Johnson di Pandaan, Ja-Tim, cukup senang menanggapi ketentuan baru itu. Sebab, selama ini urusan mengeluarkan bahan baku biasanya baru bisa diselesaikan 15 hari, sesudah disisihkan biaya Rp 300 ribu untuk setiap dokumen. "Siapa yang tak senang bahan baku kini bisa cepat keluar," kata Bambang Kustoyo, manajer pabriknya, gembira. Mulai 4 April itu, perusahaan pelayaran Nusantara dan pemakai jasanya diharuskan memakai pedoman biaya tambang golongan I untuk menetapkan biaya tambang mengangkut barang antarpulau. Jadi, biaya tambang untuk mengangkut 1 m3 deterjen atau shampo dari Surabaya ke Banjarmasin, misalnya, sejak itu hanya dikenai sekitar Rp 7.000. Bukan lagi Rp 9.500 per m3. Penggunaan jasa ruangan kapal boleh jadi juga akan terdorong naik hari-hari mendatang mengingat pemilik barang kini tak lagi diharuskan memiliki Surat Pemberitahuan Muat Barang (SPMB) yang lazim disebut AVI (Aangifte van Inlading). Urusan untuk memperoleh SPMB ini, sekalipun barang yang diangkut bukanlah muatan seperti terasi atau ikan asin, cukup membikin pusmg pemilik barang. Kalau toh surat itu bisa keluar sehari, urusan ternyata belum bisa dianggap selesai. Sebab, petugas Bea Cukai mesti memeriksa sendiri secara fisik barang yang akan diantarpulaukan itu. Dan itu baru dilakukan sesudah semua barang tadi komplet menumpuk di gudang pelabuhan. Akibatnya, mudah diduga, sewa gudang jadi kian bertambah - belum lagi upah buruh untuk membongkar dan memuat barang tadi ke atas kapal. Sekarang, jalan panjang yang harus dilalui pemilik barang itu sudah dibabat. Dengan senjata peraturan baru itu kini terbuka pula kemungkinan pemilik barang bisa berhubungan langsung dengan perusahaan pelayaran untuk mengurus pengiriman barangnya. Peranan EMKL di situ, yang lebih cenderung bersifat sebagai penjual muatan kapal seperti selama ini, nantinya bakal tersisih secara berangsur-angsur. Sudharno Mustafa, direktur utama PT Pelni, tampak senang menghadapi pergeseran itu. Maklum, sebagai perusahaan pelayaran Nusantara, badan usaha milik negara itu sampai merasa perlu memberikan potongan biaya tambang hingga 40% untuk memperoleh muatan dari EMKL. Sudah bukan rahasia di kalangan pelayaran, potongan biaya tambang sebesar itu nyatanya lebih banyak dinikmati pihak EMKL. Jadi, jika pemilik barang bisa berhubungan langsung dengan pemilik kapal, "Mereka nanti akan bisa menekan pengeluaran untuk biaya tambang," katanya. Bicara soal EMKL memang bisa macammacam seperti kata seorang pejabat Departemen Perdagangan, ada EMKL yang bisa mengurus barang selama tiga hari dengan biaya tertentu. Ternyata, yang dltunjuk malah EMKL tertentu, yang, sekalipun menawarkan biaya lebih murah, mengurus barangnya bisa sampai sepuluh hari. Perusahaan pelayaran sendiri juga akan memperoleh banyak keringanan. Dengan Inpres No. 4 tahun 1985 itu, tarif uang pandu, misalnya, hanya dihitung atas dasar gross registered ton (GRT) kapal bersangkutan. Jadi, untuk kapal samudra nasional penghitungan untuk uang pandu hanya didasarkan pada perkalian total GRT kapal dengan biaya Rp 5,5 sampai 8,40 untuk setiap GRT. Biaya tetap pemanduan sebesar Rp 20.500 sampai 36.000 ditiadakan sama sekali - juga bagi kapal samudra dan antar pulau. Dengan demikian, untuk pemanduan, asas yang kini dianut Indonesia serupa dengan yang dianut pemerintah Singapura. Jasa uang tunda, sejak saat itu, juga dihitung atas dasar GRT per jam. Biaya tetap operasi dihilangkan pula. Sial bagi perusahaan pelayaran, tidak semua urusan dalam soal pemanduan dan pemakaian kapal tunda itu bisa berjalan mulus. Biaya ekstra kabarnya masih sering harus mereka keluarkan untuk memperlancar urusan itu. Uang kepil (biaya untuk mengikat dan melepas tali pada patok di dermaga) juga dihilangkan. Lumayan. Bagi pelayaran samudra nasional, peniadaan itu akan menyebabkan penghematan Rp 18.500 sampai Rp 49.000. Sedangkan bagi pelayaran samudra asing penghematan antara US$ 30 dan US$ 78. Tapi di Singapura, hingga kini, uang kepil semacam itu masih tetap dipungut. Kapal dengan bobot 1.000 GRT sampai 15.000 GRT, misalnya, harus membayar S$ 30 sampai S$ 90 setiap operasi. Serangkaian pemangkasan biaya di pelabuhan itu, tentu saja, akan menyebabkan pendapatan pengelolanya jadi berkurang. Menurut pemerintah, kalau toh karena tindakan itu pengelola pelabuhan sampai defisit, kehilangan pendapatan tadi akan ditutup dengan uang dari APBN. Apa boleh buat, lagi-lagi pemerintah pusat terpaksa memberi subsidi secara tidak langsung untuk mengurangi munculnya biaya ekstra pengusaha. Tapi pemerintah sendiri rupanya akan cukup puas melihat serangkaian tindakan di pelabuhan itu, yang setelah dihitung-hitung akan menyebabkan beban biaya kapal asing turun sampai 52%, kapal nasional turun sekitar 17%, dan kapal antarpulau turun sekitar 15%. Penurunan biaya sebesar itu akan terjadi jika kapal-kapal tadi masuk pelabuhan Belawan (Medan), Tanjung Priok Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), dan Ujungpandang. Tak Jelas benar apakah tindakan pemangkasan, tarif dah biaya itu juga akan menghilangkan biaya di luar ketentuan resmi pelabuhan. Menurut sebuah taksiran kasar, pengeluaran perusahaan pelayaran untuk bisa menyandarkan kapalnya di dermaga d, luar tarif resml, pukul rata, blsa mencapai Rp 128 ribu. Bagian terbesar pengeluaran ini konon harus dibayarkan untuk menentukan posisi sebuah kapal harus tambat. Nah, kalau urusan bongkar muat barang sudah selesai, pemilik kapal masih perlu mengeluarkan Rp 82 ribu lagi untuk mengeluarkan kapal dari pelabuhan. Perwira jaga di syahbandar konon sudah blasa menerima imbalan Rp 15 ribu untuk memberi clearance kapal bisa meninggalkan pelabuhan dengan aman menuju laut lepas. Kalau kapal bertolak di luar jam kerja, pemilik kapal perlu memberi Rp 25 ribu untuk petugas Bea Cukai. Tentu saja tidak semua tindakan pemerintah untuk memperlancar arus barang dengan Inpres itu dianggap baik oleh perusahaan pelayaran nasional. Ambil contoh mengenai peniadaan Surat Keagenan Umum (SKU), yang harus dimiliki kapal asing untuk memuat barang dari slni, atau membongkar barang impor di sini. Menurut kalangan pelayaran nasional, pencabutan SKU itu akan memungkinkan kapal asing masuk tanpa izin dan berani mengangkut muatan antarpulau. Yang dikhawatirkan Syamsudin Martowijoyo, direktur utama Pelayaran Nusantara Bahari, adalah jika kapal-kapal asing itu sampai mamplr-mampir di pelabuhan kecil untuk mengangkut muatan, yang selama ini diangkut pelayaran nasional. Muatan dari Pontianak, Palembang, dan Jambi untuk Singapura, misalnya, biasa dilayani kapal Nusantara. Kalau muatan itu nanti juga diambil kapal asing, "Wah kami bisa bangkrut," ujar Syamsudin. Secara sederhana bisa dikatakan, SKU itu pada haklkatnya merupakan instrumen untuk melindungi pelayaran nasional dari ancaman pelayaran asing. Ekses jelek mulai muncul gara-gara kapal asing, yang ingin men-an-kut baran- ekspor, terpaksa lama sandar di pelabuhan karena pejabat Departemen Perhubungan yang harus meneken surat itu tidak berada di tempat. Selain memukul pelayaran asing (karena harus membayar biaya pelabuhan lebih tinggi), lambatnya penerbitan SKU itu menghambat pula pengiriman barang ekspor. "Eksesnya memang jadi tidak terpuji," ujar Sudharno Mustafa dari Pelni. Kelancaran bongkar muat tampaknya masih bergantung pula pada kelengkapan fasilitas di pelabuhan. Ambil contoh kasus pembongkaran muatan pupuk kapal Orient Coral di Belawan. Karena pelabuhan tidak mempunyai fasilitas untuk menyedot pupuk curah langsung dari kapal, pekerjaan pembongkaran 11 ribu ton pupuk milik PT Pantja Niaga sejak akhir Maret itu baru selesai 8 April lalu. Maklum, pupuk tadi oleh para buruh terpaksa dimuat ke karung sebungkus demi sebungkus. Dalam keadaan masih samar-samar menunggu petunjuk pelaksanaan Inpres No. 4 tahun 1985 itu, yang diduga akan selesai minggu ini, Boedihardjo Sastrohadiwirjo, ketua umum INSA (Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia), tampaknya lebih suka bersikap hatihati. Kepada TEMPO dia menyatakan belum tahu sampai seberapa jauh keleluasaan kapal asing nantinya bisa beroperasi di sini setelah SKU ditiadakan. "Saya mengharapkan agar pemerintah tidak meninggalkan prinsip bahwa pada hakikatnya kapal asing tidak boleh melayani pengangkutan barang dalam negeri," katanya. Karena itu, Boedihardjo meminta agar pemerintah tetap menciptakan iklim supaya kapal nasional bisa mengangkut 40%, dan 40% diberikan pada kapal rekan dagangnya, sedangkan 20% muatan disisihkan buat kapal milik negara lain. Sekalipun pembagian muatan nanti bisa diatur, bukan mustahil, pelayaran nasional akan kalah bersaing dengan pelayaran asing dalam menawarkan biaya tambang. Menurut Hartoto Hadikusumo, direktur utama pelayaran samudra PT Andhika Lines, perusahaan pelayaran Jepang, yang umumnya merupakan salah satu unit usaha dari sebuah grup, boleh jadi akan membanting harga. "Kalau mereka rugi di bidang perkapalan, mereka bisa mengambil keuntungan dari sektor usaha perdagangannya," katanya. Persaingan semacam itu, kalau toh terjadi tentu akan memberi angin bagi pemilik barang. Keluhan lama mengenai tingginya biaya tambang, dan tidak terjaminnya ketepatan jadwal keberangkatan kapal, niscaya akan hilang secara berangsur. Sebab setiap perusahaan pelayaran, kelak, beriomba-lomba memberikan pelayanan terbaik, selain tentu biaya tambang bersaing. Pemerintah sendiri tentu tidak ingin ketentuan baru itu akan memakan terlalu banyak korban. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap harta (aset) nasional itu masih harus ditunggu sebentar lagi - dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Yang sudah pasti, jauh sebelum pemerintah menelurkan peraturan baru tadi, banyak persiapan sudah dilakukannya. Pusat Perencanaan dan Pengendalian Pelayanan Jasa (P4J), misalnya didirikan di Belawan, Priok, Perak, dan Ujungpandang. Dengan pelayanan sistem satu loket itu, perusahaan pelayaran bisa meminta dan membayar jasa pemanduan, tambat, air, sampai pada pemakaian alat-alat bongkar muat sekaligus disitu - tanpa harus mendatangi satu-satu meja pejabat. Di situ pengurusan dokumen dijamin bisa selesai dalam tempo 15 menit, tidak lagi dua hari suntuk. Uang pelicin juga bisa dicegah keluar. Perbaikan terus-menerus di pelabuhan Tanjung Priok, misalnya, kini memperpendek waktu tunggu bongkar muat kapal. Untuk kapal samudra, tahun lalu, waktu tunggunya bisa diperpendek tinggal enam hari. Padahal, pada tahun 1980, waktu tunggu kapal samudra bisa mencapai 16 hari. Pemilik barang, sementara itu, juga senang lantaran kapal bisa cepat berangkat. Persoalan kemudian akan beralih ke luar negeri, ke tempat eksportir mengirimkan barang. Di sini perwakilan surveyor SGS akan meneliti secara fisik barang itu berikut dokumennya. Bila di sini prosedur dan cara kerjanya masih berbelit, usaha pemerintah mengurangi lilitan birokrasi yang banyak memakan biaya itu tentu iadi sia-sia. Dalam kata-kata Tanri Abeng, presiden direktur PT Multi Bintang, jika itu terjadi, "Pemerintah berarti hanya memindahkan birokrasi dari sini ke luar negeri saja." Tapi pemerintah tentu tak mengharapkan pemindahan birokrasi itu bakal terjadi. Apalagi mengingat bahwa pengeluaran pemerintah untuk membayar surveyor tadi diperkirakan akan meliputi milyaran rupiah. Dari mana dana itu akan diambilkan belum jelas benar. Tapi secara sederhana bisa dikatakan, usaha pemerintah mendorong kelancaran arus barang itu merupakan salah satu bentuk insentif berharga mahal. Apa boleh buat, tindakan itu harus dilakukan. Dana minyak makin berkurang, dan negara-negara industri makin proteksionistis. Eddy Herwanto Lnporan Praginanto dan Yulia S. Madjid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini