MAU cepat lulus jadi sarjana ternyata juga bisa menjadi peluang bisnis. Paling tidak bagi para pedagang buku loakan. Contohnya adalah mereka yang mangkal di shopping centre Yogyakarta, yang digerebek polisi pekan lalu. Yang disita polisi adalah skripsi. Dan ternyata sebagian besar skripsi sudah diteken oleh dosen pembimbingnya. Operasi satuan reserse Polresta Yogya itu berhasil menyita seribu lebih skripsi dari sejumlah universitas negeri dan swasta dari berbagai kota. ''Memperjualbelikan hak cipta orang lain tanpa izin adalah pelanggaran,'' kata Mayor Pol Susno Duadji, Wakil Kepala Polresta Yogya. Apalagi, katanya, bila skripsi yang dijual di pasar buku bekas itu dijiplak menjadi skripsi calon sarjana yang lain. ''Betapa menyedihkan para sarjana yang dihasilkan,'' kata Susno. Ide menggerebek pedagang skripsi itu tak lain datang dari kasus pemalsuan nilai seorang dosen peserta program pascasarjana di UGM yang diwisuda 20 Februari lalu. Sasarannya, katanya, bukan semata mengusut para pedagang. Polisi berniat membongkar siapa yang jadi sumbernya. Dari delapan pedagang buku bekas itu bisa disimpulkan bahwa sebagian besar sumber adalah petugas di kampus atau perpustakaan universitas. Yang dijual adalah skripsi lama atau karya mahasiswa yang diduga tak berada di Yogya lagi. Namun ada pula pedagang yang mengaku mendapatkannya dari pedagang kertas kiloan di pasar Beringharjo, Yogya. Harga tiap kilo Rp 5.000. Kepada para calon sarjana, mereka menawarkan Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu per buah. Untuk skripsi yang kira- kira banyak peminatnya, mereka juga mengopinya menjadi beberapa buah. Dan untung paling besar, kata seorang pedagang, memang dikutip dari bisnis skripsi itu. Dari pengusutan polisi, kebanyak konsumen skripsi adalah para mahasiswa semester akhir. Mereka datang dari berbagai kota: Jakarta, Yogya, Solo, Bandung atau kota kecil lainnya. Untuk mahasiswa yang berkantong tipis dan kuliah di Yogya, menurut Djuminah, seorang pedagang, punya teknik hemat khas. Setelah mencatat judul dan abstraksi, mereka biasanya membayar down payment sekitar Rp 2.000. Setelah disetujui dosen pembimbing, barulah mereka datang lagi untuk melunasi dan mengambil skripsi yang dipesannya. Memang beberapa mahasiswa mengaku membeli skripsi sekadar untuk referensi. Namun ada yang blak-blakan menjiplaknya. Evi, seorang lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi di Jakarta, mengaku membeli skripsi di Yogya dan menjiplaknya persis. ''Ngapain bikin skripsi beneran capek-capek. Toh belum tentu dapat kerjaan,'' katanya enteng. Evi beruntung. Dengan skripsi jiplakan dari pasar loak Yogya itu ia lulus, dan kini bekerja di sebuah bank di Jakarta. Hal sama dilakukan Barjo, mahasiswa teknik kimia di sebuah universitas swasta Surabaya. Ia juga mengaku datang ke Yogya khusus membeli skripsi. ''Terus terang, saya menjiplak skripsi anak UGM,'' katanya sambil menunjukkan skripsi yang dibeli dan skripsi yang ditulisnya sendiri. Judul dan isi persis sama. Bedanya, skripsi made in Yogya ditulis dengan mesin ketik, dan skripsi Barjo dengan komputer. Dosen pembimbing tak tahu, dan pekan lalu Barjo berhasil mempertahankannya. Praktek jiplak-menjiplak dianggap biasa di kalangan teman-teman Barjo. Ada yang menyogok petugas perpustakaan agar bisa meminjam skripsi untuk dikopi. Sebab, menurut peraturan, skripsi tak boleh dikopi atau dipinjam keluar dari perpustakaan. Yang mereka jadikan sasaran biasanya universitas beken, seperti UI, UGM, ITB, ITS, atau Undip. ''Biasanya teman- teman mengopi lima skripsi sekaligus. Ini untuk jaga-jaga kalau satu judul ditolak, bisa diajukan judul yang lain,'' katanya. Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini