SEKARANG banyak ''tukang pukul'' dengan tugas memaksakan suatu kewajiban hukum. Tukang seperti itu dikontrak oleh mereka yang merasa disepelekan oleh partner bisnisnya: kredit macet, kontrak mandek, dan sebagainya. Dalam hukum, hal itu dikenal sebagai cedera janji. Dalam bahasa hukum tempo dulu, ia disebut wanprestatie. Karena negara ini sudah diumumkan ke dunia sebagai ''negara berdasarkan hukum'', persoalan pun jadi merebak. Bagaimana ini? Masa, suatu negara seperti itu bisa dipenuhi oleh tukang pukul? Dari segi yuridis orang memang gampang sekali menjatuhkan vonis terhadap praktek seperti itu, tapi dari segi sosiologis masalahnya berbeda. Di sini orang lebih melihat ihwalnya secara kritis, dan itulah yang menjadikan diskusinya lebih menarik. Betulkah hukum dan tukang pukul itu mesti dihadapkan atau dipertentangkan begitu saja? Seperti yang biasa terjadi dalam perkara sosial, gambarannya adalah tidak sesederhana seperti ''hitam-putih''. Kalau tukang pukul itu bisa dijadikan contoh bagi kekuasaan, ada suatu kearifan dalam undang-undang dasar kita yang bisa direnungkan. Dalam penjelasannya, UUD 1945 mengatakan, ''Negara RI berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata.'' Kata ''semata'' dalam kalimat tersebut tidak boleh dikorup, karena justru memperlihatkan suatu kearifan dari para pendiri republik ini dalam memandang dan memahami hukum. Kalau boleh dibuat rekonstruksi mengenai pikiran mereka, para arif dan bijaksana itu ingin menyatakan betapa tidak sederhananya hubungan antara hukum dan kekuasaan. Memang benar. Pertukaran antara hukum dan kekuasaan itu tetap berlangsung, kapan pun juga, baik pada waktu dunia belum memakai sistem hukum modern maupun sesudahnya. Sesudah dunia memasuki penggunaan sistem hukum modern, umat manusia pun seolah-olah ingin membanggakan datangnya suatu dunia yang lebih beradab. Bedanya, dulu persoalan-persoalan harus diselesaikan dengan otot, tapi sekarang tidak lagi. Benturan-benturan fisik di jalan sekarang harus digusur masuk ke dalam ruang pengadilan. Berubahlah ia menjadi benturan intelektual, adu argumentasi, penilaian oleh hakim, juri, dan sebagainya. Hukum adalah peradaban yang telah menjadi mitos. Dan sebagaimana mitos pada umumnya, ia setiap saat harus siap mengalami berbagai pengujian. Kasus kerusuhan di Los Angeles atau pemukulan si hitam Rodney King, kasus pembunuhan klan Kennedy, kejadian di bekas negara Yoguslavia, dan lain-lain, adalah contoh berat dari pengujian terhadap mitos tersebut. Karena sistem hukum itu merupakan hasil kebudayaan dan konstruksi intelektual manusia, ia sebaiknya juga kita terima sedemikian. Hukum yang sekarang kita pakai bukanlah sesuatu yang lahir secara alamiah. Bukan natuurlijke waarheid. Profesor Rafaello Gattuso, guru besar psikiatri Universitas Catania di Sisilia, Italia, pernah mengatakan dalam seminar polisi internasional bahwa kerasnya polisi sebetulnya adalah refleksi dari jiwa manusia sendiri. Kekerasan telah menjadi bagian dari watak manusia yang tidak bisa dihilangkan. Dan manusia yang sama itu pulalah yang berusaha membangun berbagai institusi untuk mengontrolnya. Kekerasan dan penggunaan kekuatan memang tidak hilang begitu saja. Tetapi yang jauh lebih menarik adalah untuk secara jujur mengakui bahwa di sana-sini sebetulnya hukum juga muncul sebagai ''tukang pukul''. Secara halus, kualitas tersebut muncul dalam bentuk ancaman sanksi badan, bahkan juga nyawa. Secara berseloroh kita bisa menanyakan, lalu apa bedanya hukum dengan tukang pukul. Bedanya, ''pemukulan'' oleh hukum dilakukan menurut prosedur yang disetujui, seperti dibuatnya undang-undang lebih dulu dan prosesnya harus terbuka untuk publik. Orang Amerika juga bercanda pada waktu mengatakan, para corporate lawyers di negeri itu dijuluki sebagai ''tukang tembak bayaran'' (hired guns). Toffler, yang mencoba melihat terjadinya suatu pergeseran dalam pengertian dan penggunaan kekuatan/kekerasan pada abad ke-21, bisa kita minta untuk turut meramaikan diskusi kita ini. Sebab, tokoh dunia yang pemikir masa depan itu mengatakan bahwa hukum itu adalah sublimasi dari kekuatan/kekerasan (Powershift, 1990). Kita dengarkan Toffler bicara berikut ini. ''Bisnis, kapitalis, dan sosialis sama saja, semua bergantung pada hukum. Kontrak, obligasi, stock & bond, hipotek, kontrak kolektif, kebijakan asuransi, debit dan kredit, semuanya ditopang oleh hukum. Dan di belakang hukum, baik atau jahat, kita menemukan sejumlah senjata api. Jadi, apabila suatu perusahaan menggugat yang lain, perusahaan itu akan minta pemerintah agar menggunakan kekuatan hukum. Ia ingin agar senjata api pemerintah (terselubung oleh lapisan samar birokrasi dan hukum) ditodongkan ke rusuk lawannya untuk memaksa mereka melakukan suatu tindakan.'' Nyata sekali bahwa kita sebenarnya bukan berhadapan dengan sistem canggih yang namanya hukum, melainkan dengan kultur, dengan manusia dan perilakunya. Kecanggihan sistem hukum tidak menjamin minggirnya tukang-tukang pukul dari bermacam jenis. Kalau seorang memang mempunyai jiwa tukang pukul, bahkan hukum pun akan mereka pakai sebagai alat pukulnya. Memang kita sebaiknya berusaha keras untuk menekan jumlah tukang pukul bayaran yang berkeliaran. Atau lebih tepat, para otak di belakangnya. Tetapi menjadi kaget dan gumun dengan kejadian itu, saya kira tidak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini