Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA lelaki paruh baya bertampang lugu itu turun dari mobil polisi di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Rabu pekan lalu. Lima polisi berpakaian sipil mengapitnya ketat ketika memasuki ruangan reserse.
”Tamu” penting itu tak lain Sa`i, warga Jalan Riko, dan Edy Siswanto, warga Jalan Januari XXI/30, Kelurahan Baru Tengah, Balikpapan. Sehari sebelumnya, dua orang ini ditangkap tim gabungan dari Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Kalimantan Timur. ”Mereka terlibat bom di Pasuruan,” kata Ajun Komisaris Besar Muhammad Nasri, Kepala Satuan Pidana Umum Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Pada Sabtu tiga pekan lalu, sebuah ledakan mengguncang Pasuruan. Letusan ini berasal dari rumah Ilham, 62 tahun, warga Gang Anggrek, Perumahan Anggrek, Kota Pasuruan. Dua belas rumah remuk, termasuk rumah Ilham. Selain merontokkan belasan rumah, bom yang ledakannya terdengar sampai radius tiga kilometer itu juga membunuh Marsiti, Yusuf, dan Mansyur.
Tiga kerabat Ilham ini tewas mengenaskan. Marsiti, yang juga adik Ilham, kepalanya mencelat dari tubuh dan ditemukan 50 meter dari lokasi ledakan, persis di dekat pagar halaman Madrasah Aliyah Negeri Pasuruan. Di tempat ini juga ditemukan potongan kaki kanan Yusuf, adik Marsiti. Akibat bom itu, Mansyur, anak kandung Ilham, juga meninggal setelah dilarikan ke Rumah Sakit Umum dr. Syaiful Anwar, Malang.
Melihat hebatnya dampak ledakan, polisi langsung bergerak cepat dengan mengejar Ahmad Nadzir, yang tak lain adalah anak lelaki Marsiti. Nadzir patut dicurigai karena dia langsung kabur sesaat setelah bom meledak.
Baru setelah sepekan diuber polisi dan diancam akan ditembak jika tak menyerah, Nadzir menyerahkan diri di kawasan perumahan Dukuh Kupang, Surabaya. Jaringan ”bom Pasuruan” pun mulai terungkap.
Kepada polisi, Nadzir mengaku bom yang meledak itu memang miliknya. Bom itu, kata Nadzir, hanya bagian dari bisnis bom ikan yang sedang dirakitnya.
Ada sejumlah spekulasi mengapa bom itu meledak, termasuk akibat gesekan atau terkena percikan api rokok milik Yusuf. Lelaki ini, juga Marsiti, sehari-hari memang bekerja membantu Ahmad Nadzir. ”Mungkin ketika membungkuk, api rokoknya memercik,” kata Agus Al Ghozali, dokter forensik dari Rumah Sakit Umum dr. Soetomo, Surabaya.
Namun polisi belum bisa memastikan pemicu ledakan. Yang jelas, dalam membuat bom ikan, Nadzir melibatkan sejumlah orang, termasuk Abdul Malik di Makassar, serta Sai dan Edi di Balikpapan. Abdul Malik, perajin mebel asal Pasuruan, ditangkap bersamaan dengan penangkapan Sa`i dan Edi.
Dari pengakuan Nadzir pula polisi berhasil menyita 79 kilogram trinitrotoluene (TNT) dan 684 casing detonator di rumah Suroto, sepupu Edi yang tinggal di Balongbendo, Krian, Sidoarjo. Bahan bom beserta peledak dan casing detonator ini dititipkan Edi ke rumah Suroto ketika Edi diburu polisi berdasarkan keterangan Ahmad Nadzir.
Sebelum menyita bom di Krian, polisi juga menemukan 6.422 bom ikan yang sudah dipak di dalam sepuluh kardus mi instan di rumah Rohmah dan Farida—nenek dan adik Ahmad Nadzir—di Kelurahan Ngemplakrejo, Pasuruan. Dari rumah Ilham, Rohmah, Farida, dan rumah Suroto di Balongbendo itu, polisi menyita 13.892 bom setengah jadi, 47,2 kilogram TNT, dan 8.000 casing detonator.
Bisnis membuat bom ini diduga dilakoni Ahmad Nadzir sejak empat tahun silam, tepatnya ketika usaha pembuatan setir mobil milik Ilham, pamannya, bangkrut. Bersama para kerabatnya itu, Nadzir membuat bom ikan di bengkel bekas pembuatan setir mobil milik Ilham di kawasan Perumahan Anggrek.
Bisa dikatakan bisnis membuat bom ini seolah ”menantang” polisi, karena rumah Ilham hanya berjarak 300 meter dari markas Kepolisian Resor Kota Pasuruan. Warga di Gang Anggrek sebetulnya sempat menaruh curiga terhadap keluarga Ilham. ”Mereka keluarga tertutup,” kata Sulistyowati Eko, tetangga Ilham.
Ilham menempati rumah di Gang Anggrek sejak sepuluh tahun lalu, ketika bisnis pembuatan setir mobil masih lancar. ”Pak Ilham sering menyapa tetangga,” kata Sulistyowati. Namun, sejak lima tahun lalu, ketika usahanya bangkrut, sikap Ilham berubah pendiam. Sekeliling rumahnya juga dipagari rapat.
Sejak itu para tetangganya tak tahu kegiatan keluarga Ilham. Tapi sejumlah pria sering tampak datang ke rumah itu dengan alasan pengajian. Warga sekitar juga kerap mendengar suara bertalu-talu, mirip bunyi orang menumbukkan alu.
Dalam rumah yang tertutup itu ternyata Ahmad Nadzir berhasil mengelabui polisi dengan membuat bom ikan dalam jumlah besar. Selain melibatkan keluarganya, dalam menjalankan bisnisnya itu Nadzir juga melibat orang lain, termasuk Sa`i, Edi Siswanto, dan Abdul Malik.
Sa`i, misalnya, berperan sebagai pemasok bahan peledak. Bahan peledak ini diperoleh Sa`i dengan cara membeli mortir dan rudal kuno dari nelayan di Balikpapan. Oleh Sa’i, mortir dan rudal itu digergaji untuk diambil serbuk mesiunya, dan dijual kepada Nadzir dengan harga Rp 600 ribu per kardus. ”Saya baru empat bulan melakukan bisnis ini dengan Nadzir,” kata Sa`i kepada Tempo.
Pasokan mesiu ini kemudian dirakit Ahmad Nadzir menjadi bom ikan berbahan TNT. Satu kardus mesiu bisa dibuat menjadi 100 bom ikan, dan per kardus bom dijual dengan harga Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Bom buatan Nadzir ini dipasarkan ke pesisir Pulau Jawa hingga ke Kalimantan dan Sulawesi. Edi Siswanto, selain perantara pemasok TNT, juga memasarkan bom Ahmad Nadzir ke Kalimantan.
Meskipun pembuatan bom melibatkan banyak orang, sejauh ini polisi menyimpulkan bisnis Ahmad Nadzir murni tindakan kriminal dan tak ada hubungannya dengan jaringan terorisme. ”Kalau dia teroris, masak menyerah dengan mudah kepada polisi?” kata Inspektur Jenderal Herman Surjadi Sumawiredja, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Polisi telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini, antara lain Ahmad Nadzir, Sa`i, Edi Siswanto, Abdul Malik, dan sejumlah keluarga Ahmad Nadzir, termasuk Ilham, yang dianggap mengetahui ada bom di rumahnya tapi tak melapor. Para tersangka ini, kata Herman, ”Bisa diancam hukuman mati.”
Sebelum bom meledak di rumah Ilham, sebetulnya, Juni tahun lalu, Yordan, paman Ahmad Nadzir, juga tewas ketika sedang merakit bom. Nasib nahas juga dialami Ahmad Djaelani, ayah Yordan, yang tewas pada 1986 ketika membuat bom ikan. Begitu pula dengan Anissa, kakak Yordan. Tahun lalu Anissa mengalami cacat seumur hidup karena ledakan bom ikan yang dirakit Sueb, suaminya.
Di tempat asalnya di Ngemplakrejo, Pasuruan, nama Ahmad Nadzir dikenal sebagai ahli perakit bom ikan. Keahliannya ini juga diakui nelayan di perairan Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku. Pekerjaan berisiko tinggi itu dilakukan Nadzir karena keuntungan yang berlipat-lipat. ”Dengan modal Rp 500 ribu, omzetnya bisa mencapai Rp 15 juta,” kata seorang nelayan Ngemplakrejo.
Bom ikan, atau yang dikenal dengan nama bondet, sebetulnya sudah lama jadi ”mainan” nelayan Pasuruan, terutama tentu di Ngemplakrejo. Bondet ini biasa digunakan untuk membuat ikan mabuk. ”Jika dibom, ikannya mengambang dan mudah dijaring,” kata Rokhmin, seorang nelayan di sana.
Namun, kata Rokhmin, bondet yang dibuat nelayan Pasuruan hanya berkekuatan rendah, dan daya ledaknya tak sebesar bom buatan Ahmad Nadzir. ”Kalau bom bondet meledak di rumah, paling yang rusak hanya rumah si empunya bom,” kata Rokhmin.
Bondet nelayan Pasuruan biasanya dibuat dari bahan campuran potasium dan bubuk fosfor pupuk urea yang digoreng. Gorengan bubuk potasium dan fosfor ini kemudian dimasukkan ke ”bola” dari kantong plastik yang diikat tali rafia. Karena bahan dan cara membuatnya sederhana, nelayan Pasuruan memastikan bom yang meledak di rumah Ilham bukan bondet kelas gorengan, melainkan bom ”canggih” yang dibuat dengan modal besar.
Bondet, atau bom jenis apa pun, tetap saja merusak lingkungan laut, terutama terumbu karang. Akibat penangkapan ikan dengan bom, 70 persen terumbu karang di laut Indonesia kondisinya rusak parah. ”Hanya 30 persen yang masih relatif bagus,” kata Syamsul Muarif, Direktur Jenderal Pesisir Pantai dan Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.
Karena itu polisi meminta para hakim memperberat hukuman bagi para pembuat bom ikan. ”Agar ledakan bom di Pasuruan tidak terjadi lagi,” kata Sisno Adiwinoto, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia. Para nelayan, kata Sisno, tak jera membuat bom karena hakim kerap memvonis ringan pembuat bom ikan dan penjual bahan peledak yang ditangkap polisi.
Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), dan Sunudyantoro (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo