Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kepercayaan lama: pemimpin itu dilahirkan. Namun, karena beberapa lembaga kini sering membuka ”lowongan” jabatan pemimpin, tentu diperlukan pula cara mencari sang pemimpin. Apalagi untuk lembaga ”super” semacam Komisi Pemberantasan Korupsi.
Proses seleksi pun dirancang seketat mungkin—dan ngebut. Coba. Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2007–2011 baru ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei 2007. Panitia yang diketuai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi itu baru membuka loket penerimaan lamaran pada Juni 2007. Padahal, Desember nanti, pimpinan KPK yang baru seyogianya sudah dilantik.
Hingga pekan lalu, proses seleksi masuk ke tahap ketiga. Dari 661 pelamar, Juli lalu, hanya 546 yang dinyatakan layak maju ke seleksi tahap kedua. Di tahap uji makalah ini, panitia juga meminta bantuan pembaca luar, yakni sejumlah ahli hukum dan ekonomi. Pada akhir Juli lalu diumumkan, hanya 236 orang yang bisa mengikuti seleksi psikologi atau tes tahap ketiga, awal Agustus.
Menurut Taufiq Effendi, dari 236 peserta tes psikologi kepribadian (psychological profile assessment), hanya 26 orang yang dinyatakan lulus. ”Sebenarnya, ada 75 orang yang lulus, tapi kita ‘peras’ lagi hingga tinggal 26 orang,” kata Taufiq. Proses penyaringan oleh panitia ini dilakukan melalui penelusuran rekam jejak di makalah dan riwayat hidup masing-masing pelamar.
Tes psikologi ini tentu saja berbeda dengan tes kepribadian untuk calon pegawai. Tes ini sengaja dirancang mencari calon pemimpin. ‘’Penilaian kepribadian tidak menentukan orang bodoh atau pandai, tetapi lebih pada apakah jabatan yang akan diterima cocok atau tidak,’’ kata Taufiq. ”Pimpinan KPK harus orang yang berintegritas, cerdas secara intelektual dan emosional, memiliki kompetensi, bisa bekerja sama, memiliki nyali, dan mempunyai konsistensi.”
Ujian berikutnya, yakni seleksi tahap keempat, adalah wawancara, yang rencananya dilakukan pada pekan terakhir Agustus hingga awal September. Wawancara itu akan dibagi dalam wawancara kompetensi dan wawancara publik. Mula-mula pelamar yang lolos akan diuji dengan pertanyaan dari panitia untuk mengecek ulang semua jawaban mereka saat ujian tertulis. ”Kita akan menilai konsistensi peserta dalam menjawab pertanyaan,” kata Taufiq.
Para pelamar juga diharuskan menulis esai refleksi. ”Jika makalah yang diajukannya dulu bagus, orang bisa saja menyangka makalah itu palsu atau dibuatkan orang. Untuk mengujinya, kami akan mengetes mereka untuk menulis esai selama dua jam.” Seleksi wawancara berikutnya mulai melibatkan publik. Pelamar yang lolos diharuskan melakukan debat publik.
Pada ujian tahap keempat ini, panitia seleksi juga memulai penelusuran jejak pribadi atau tracking personal dengan melibatkan masyarakat. ”Kami akan bekerja sama dengan Koalisi Pemantau Peradilan,” kata Gunawan Hadisusilo, sekretaris Panitia Seleksi. Selain menggandeng secara resmi organisasi nonpemerintah, mereka juga berharap masukan investigatif dari masyarakat.
Proses penelusuran ini berlangsung singkat, hanya sebulan. Karena itu, ”Panitia membuka layanan pengaduan di situs web resmi milik Kementerian PAN dan melalui pesan pendek,” kata Gunawan. Setelah wawancara publik tahap kedua, Panitia akan memilih 10 orang calon pimpinan KPK. ”Nama kesepuluh orang ini akan kami bawa ke Presiden, lalu diteruskan ke DPR.” Dari hasil uji kepatutan dan kelayakan di parlemen itulah akan dipilih lima orang pimpinan KPK 2007–2011.
Parlemen mengakui bakal ”menguliti” hasil kerja Panitia Seleksi. ”Sebelum kami tanya pelamarnya, kami akan tanya dulu Panitia Seleksinya,” kata Panda Nababan, anggota Komisi Hukum DPR RI. ”Coba jelaskan seleksi macam apa yang mereka lakukan.” Dalam setahun terakhir ini, Komisi Hukum sudah kecewa atas proses rekrutmen terhadap calon hakim agung dan anggota Komnas HAM.
Nama-nama calon hakim agung terpilih bahkan pernah dikembalikan ke Komisi Yudisial tahun lalu. ”Tesnya seperti mau masuk Akabri,” kata Trimedya Panjaitan, Ketua Komisi Hukum, prihatin. ”Tapi output-nya mengecewakan.” Padahal, ongkos Komisi Yudisial menjala 18 orang calon mencapai Rp 3,9 miliar.
Pada calon pimpinan KPK, menurut Panda, Komisi Hukum memandang perlu mengaitkan eksistensi Komisi tersebut dengan misi pembentukan awalnya. ”Dulu dia dibentuk untuk menjaring big fish, makanya diberi kewenangan luar biasa,” kata Panda. ”Nyatanya, kinerjanya biasa saja.” Karena itu, parlemen menuntut calon yang punya ketegasan, integritas, dan kompetensi.
Dari 26 calon yang lolos seleksi, tercatat sejumlah nama penting, baik dari lembaga KPK sendiri, Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan, bahkan Badan Intelijen Negara. Dari Komisi ada Amin Sunaryadi (Wakil Ketua Bidang Informasi dan Data) , Waluyo (Deputi Bidang Pencegahan), dan Iswan Elmi (Direktur Penyelidikan). Dari Kejaksaan ada Antasari Azhar (Direktur Penuntutan Pidana Umum Kejaksaan Agung) dan Marwan Effendi (Jaksa Tinggi Jawa Timur). Dari Kepolisian terselip nama Irjen Pol (Purn.) Sudirman Ail (mantan Deputi Operasi Polri dan Kepala Polda Jawa Barat).
Dari kalangan profesional, pengacara, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat terdapat nama Christianto Wibisono (mantan wartawan dan pengusaha), Iskandar Sonhadji (advokat), dan Budi Harsono (Pjs. Direktur Eksekutif Yayasan Tifa). Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki, nama-nama hasil seleksi Panitia dikenal sebagai ”orang baik”, meski ada beberapa yang ”kurang baik”, tanpa memerinci nama.
Namun, menurut Panda, soalnya bukan sekadar ”orang baik”. ”Mereka seharusnya bukan orang asing dalam dunia persilatan pemberantasan korupsi,” kata tokoh dari PDI Perjuangan itu. Calon dari Komisi sendiri, bahkan dari Kejaksaan atau Kepolisian, juga bukan jaminan mutu. ”Kejaksaan dan polisi saja tidak mampu menangani korupsi, kok mereka malah melamar jadi pimpinan KPK,” ujar Panda. ”Mau jadi apa?”
Arif A.K., Reh Atemalem, M. Nurochmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo