Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TALLUSAH, sebuah desa di perbukitan Libanon Selatan, Selasa tiga pekan lalu. Desa berpenduduk seribu jiwa ini tampak sepi. Kaum pria sedang bekerja, wanita dan anak-anak diam di rumah, berlindung dari terik matahari.
Sesekali angin berembus kencang, seakan menjadi ”penyejuk udara”, walau membawa debu yang memedihkan mata. Sejak Juni sampai Agustus, Libanon didera musim panas, khususnya di Libanon Selatan. Tak jarang suhu mencapai 39 derajat Celsius pada siang hari.
Kesunyian terpecah ketika iring-iringan kendaraan putih yang ditumpangi pasukan United Nations Interim Forces in Lebanon (UNIFIL) menggeruduk desa itu. Serombongan pasukan perdamaian PBB yang berasal dari Indonesia itu lalu berhenti di husainiyah (semacam aula atau balai pertemuan) yang terletak di tengah desa. Mereka kemudian ”menyulap” balai itu menjadi taman bermain.
Ada PlayStation sampai perangkat pemutar cakram digital untuk memutar film kartun. Berbagai buku bacaan, kertas, dan alat pewarna juga digelar di tempat ini. Dalam sekejap, Tallusah tak lagi sepi. Puluhan anak menghambur dari rumah, menuju husainiyah. Ada yang diantar ibunya, ada juga yang datang bersama teman. Hasan dan Ali langsung sibuk berebut stick untuk bermain PlayStation. Fatima, gadis cilik enam tahun, serius dengan kertas gambarnya.
Anak-anak yang masih trauma dengan perang Libanon-Israel tahun lalu itu tampak riang. Sesekali mereka tertawa lepas sambil bermain. Walau banyak tentara berseragam loreng, mereka tak tampak ragu, apalagi takut. Bahkan mereka terlihat akrab dengan anggota Pasukan Garuda XXIII-A dari Indonesia itu.
Kegiatan kemasyarakatan, seperti menggelar hiburan untuk anak warga Libanon, kini jadi salah satu program Garuda. ”Program seperti ini belum dilakukan kontingen negara lain di UNIFIL,” kata Kolonel Infanteri Surawahadi, komandan satuan tugas Pasukan Garuda XXIII-A, ketika Tempo mengunjungi Libanon Selatan, tiga pekan lalu.
Sesuai dengan namanya, smart car atau mobil pintar, program hiburan itu tak hanya digelar di Tallusah. Acaranya berpindah-pindah, dari satu desa ke desa lain di wilayah operasi kontingen Indonesia. Sejak lebih delapan bulan lalu mengemban misi perdamaian di Libanon Selatan, UNIFIL memberi ”jatah” 12 baladiyah (desa) sebagai wilayah operasi Pasukan Garuda.
Selain Tallusah, ada 11 desa lain, yakni Adshit al-Qusayr, Ett Taibe, El-Aadeisse, Deir Siriane, Al-Qusayr, Az-Ziqiyah, Ghanduriyah, Al-Qantarah, Raabat Talame, Markabe, dan Bani Hayyan. Markas komando berada di Adshit al-Qusayr, yakni Pos 7-1 UNIFIL. Selain pos itu, Garuda menempati tiga pos lain: Pos 9-63 di El-Aadeisse, Pos 8-33 di Markabe, dan Pos 9-2 di Az-Ziqiyah yang masih dibangun.
Dari beberapa tempat itu, pos 8-33 tergolong paling ”rawan” gesekan antara warga dan tentara Israel karena berbatasan langsung dengan pagar batas Libanon-Israel serta pos militer Israel. Tempat ini terkenal dengan makam Syeikh Abbad, ulama gerakan Syiah. Makam itu ”diperebutkan” dua negara karena Israel juga mengklaim kuburan itu milik Rabi Rav Ashi, tokoh Yahudi. Akhirnya makam ”dibelah” jadi dua bagian.
Di Libanon, Garuda tak cuma menghibur anak. ”Kami juga melakukan pengobatan massal, perbaikan masjid dan jalan, serta pembagian hewan kurban,” ujar perwira penerangan Garuda XXIII-A, Mayor Muhammad Irawadi. Pasukan TNI yang sebagian besar perwira dan bintara muda usia ini juga memberi pengajaran bahasa Inggris dan pengenalan budaya serta bahasa Indonesia.
Tak mengherankan jika anak-anak Desa Tallusah terbiasa dengan kehadiran bapak tentara ini. Ali, 11 tahun, misalnya, justru senang jika pasukan Indonesia datang dan menggelar hiburan di desanya. ”I like Indonesia,” ujarnya dengan bahasa Inggris patah-patah, sambil meminta dipotret.
Hubungan Pasukan Garuda dan warga Libanon Selatan saat ini memang bagai ”potret mesra”. Sejak mengawali tugas, pasukan TNI yang dikirim ke negara itu sudah menanamkan kedekatan dengan warga. ”Itulah yang sejak awal kami bangun dan selalu dijaga,” kata Irawadi.
Langkah ini ternyata ampuh untuk melancarkan tugas. Misalnya, ketika berpatroli, ”Warga sering membantu, menunjukkan lokasi ranjau atau mortir aktif,” kata Irawadi. Wilayah operasi Garuda di Libanon Selatan sebelumnya merupakan basis latihan militer Hizbullah, kelompok Islam Syiah yang berkuasa di Libanon. Maka, wajar jika wilayah ini jadi ”ladang” ranjau atau sisa bahan peledak yang disebar kedua pihak selama konflik bersenjata menahun itu.
Namun keberhasilan melakukan pendekatan dengan warga bukan tanpa sandungan. Pada awal tugasnya, Kontingen Garuda juga sempat disambut tak bersahabat. Ketika berpatroli di Adshit al-Qusayr dan Tallusah, misalnya, sejumlah warga selalu menunjukkan aksi menempelkan tangan ke leher, lalu digesek seperti akan menggorok. ”Sekarang semua melambaikan tangan,” ujar Sersan Dua Ari Sugiarto, sambil mengajari seorang bocah mewarnai gambar.
Kepala perwakilan Republik Indonesia di Libanon, Anindita Harimurti Axioma, mengatakan bahwa kiprah pasukan TNI di negara itu boleh jadi merupakan cerita sukses dalam sejarah tugas internasional yang diemban Indonesia. ”Bukan karena saya kepala perwakilan, tapi ini fakta,” ujarnya di kantor Kedutaan Besar RI di Beirut.
Belum lama ini sebuah stasiun televisi terkemuka Libanon, Al-Manar, menggelar jajak pendapat tentang kehadiran pasukan perdamaian di negara ”pohon sedar” itu. Hasilnya, televisi milik kelompok Hizbullah itu mendudukkan pasukan Indonesia di peringkat pertama yang paling diterima masyarakat.
Dalam bertugas, Garuda dinilai sangat fleksibel dan persuasif. Misalnya, menurut standar operasi UNIFIL, konvoi kendaraan militer tak boleh disalip mobil sipil. ”Padahal, kecepatan konvoi dibatasi 40 kilometer per jam,” kata Anindita. ”Jadi, kalau keadaan aman, mobil sipil kami persilakan menyalip.”
Ketika menggeledah warga sipil, pasukan juga bertindak ”santun”. ”Kami beri peringatan dulu, dan cara ini jarang dilakukan pasukan lain.” Karena itu, tak jarang terjadi insiden pelemparan batu ke arah patroli UNIFIL, kecuali pasukan Indonesia.
Sikap Pasukan Garuda bahkan jadi ”rujukan” warga setempat. Pada awal Juni lalu, sektor timur UNIFIL menggelar silaturahmi dengan 12 kepala desa di Pos 7-1. Pertemuan di pos yang bernama Soekarno Military Base itu atas perintah komandan sektor, Brigjen Martin Ambrosio.
Tidak diduga, pertemuan itu jadi ajang penyampaian uneg-uneg. Ambrosio, yang berasal dari Spanyol, diberondong protes para kepala desa. Kepala Desa Talussah, Fouad Termos, memprotes karena UNIFIL nyelonong ke desanya pakai tank. Akibatnya, jalan desa itu rusak. Pasukan yang diprotes terutama yang berasal dari Eropa. Mereka memfoto desa dan dianggap berperilaku tak sopan. ”Dia membandingkannya dengan pasukan Indonesia,” kata Irawadi.
Kepala hubungan internasional Hizbullah, Nawaf al-Mussawi, juga memberikan ”pengakuan” bahwa pasukan Indonesia diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh masyarakat Libanon. ”Mereka tinggal di tengah kami, seperti saudara kami sendiri,” ujar Mussawi ketika ditemui sejumlah wartawan Indonesia di sebuah tempat di Beirut.
Dimas Adityo (Beirut)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo