BERKAITAN dengan hari ulang-tahun Polri 1 Juli 1981, Hari
Bhayangkara ke-35, TEMPO mewawancarai Kapolri Jenderal Awaloedin
Djamin. Berikut adalah sebagian dari wawancara tersebut,
dilakukan oleh Susanto Pudjomartono dan Marah Sakti, di tempat
kediaman Kapolri Senin lalu.
Belakangan ini citra Polri dalam masyarakat terasa memudar
karena tersiarnya berbagai berita, terutama yang menyangkut
pemeriksaan dan penahanan yang buruk. Bagaimana tanggapan Anda?
Polri ini bukannya Polri saya. Juga bukan Polrinya Polri. Tapi
Polrinya rakyat. Apa yang kami lakukan, rakyat yang menilainya.
Citra itu bukannya ucapan, tapi apa yang dirasakan rakyat. Citra
itu tercermin juga di media massa yang mempunyai keterbatasan:
seolah-olah mencerminkan suara mayoritas. Padahal saya
optimistis bahwa the silent majority yang tinggal di desa-desa
tetap percaya pada Polri. Jangan lihat apa yang terjadi di
kota-kota besar saja. Apakah Anda menganggap pemberitaan pers
tentang Polri selama ini berat sebelah?
Bukan begitu. Berita pers banyak yang obyektif dan positif. Tapi
banyak hal yang kurang baik yang ditonjolkan. Sering hal-hal
yang buruk saja yang dimuat, seakan-akan yang baik dari Polri
bukan berita. Kita, Polri dan pers, mempunyai profesi
masing-masing. Saya tidak mau mencampun dan menghalangi pers.
Saya menghimbau agar pers berpegang pada kode etiknya sendiri:
agar sebelum menurunkan beritanya pers melakukan pengecekan,
terutama jika berita itu menyangkut hal-hal yang bisa
menjelekkan citra Polri.
Contohnya?
Misalnya kasus Palangkaraya (Saut Maringan Panjaitan). Soalnya
ini apa? Orang ini tidak membunuh, vonis hakim yang salah, atau
apa? Menurut saya, ada instansi yang lebih tinggi yang
memutuskannya. Tapi yang menonjol sekarang kok malah pemeriksaan
polisi lima tahun lalu.
Bagaimana tentang kriminalitas? Belakangan ini masyarakat
merasakan naiknya kualitas dan kuantitas kejahatan. Padahal
sudah ada Operasi Sapujagat.
Dalam proporsi dunia angka kejahatan di Indonesia masih rendah,
di bawah 10%. Di tahun 1950-an kejahatan yang terjadi tergolong
masih tradisional. Dulu orang merampok jalan kaki memakai sarung
atau naik sepeda. Sekarang memakai sepeda motor dan senjata api.
Di satu pihak kita bersyukur pembangunan berhasil. Tapi akibat
samping pembangunan adalah bentuk kejahatan yang baru: cek
kosong, narkotika, pencurian mobil dan kejahatan berkelompok .
Bagaimana cara mengatasinya?
Saat ini kami masih mampu menangani perkara besar. Tapi
bagaimana 5 atau 10 tahun lagi? Tatkala saya dilantik menjadi
Kapolri pada 1979, perintah yang saya terima adalah untuk
membenahi Polri secara menyeluruh.
Waktu itu sudah tujuh tahun saya berada di luar Polri. Banyak
hal yang tidak saya ketahui lagi. Selain itu banyak hal yang
tidak diketahui karena tidak ada datanya. Karena itu langkah
pertama saya adalah mengadakan inventarisasi, berapa jumlah
orang, sektor, perlengkapan dan sebagainya.
Saya anggap berbahaya melepaskan polisi yang tidak mengetahui
tugas dan wewenangnya. Pendidikan dasar kepolisian yang hanya
empat bulan saya anggap kurang. Karena itu pada 1979 saya
mengeluarkan Buku Hitam, yakni buku saku Sikap dan Perilaku
Seorang Anggota Polri yang berisi pegangan dasar di lapangan.
Kemudian dibuat juga buku pegangan untuk komandan sektor.
Dulu- tidak ada tactical manuals yang baku. Sekarang ini dari
rencana 300 manuals, sudah sekitar 200 yang dibuat. Isinya
antara lain pegangan membuat laporan, identifikasi masalah dan
sebagainya. Landasan konsepsional yang saya letakkan ini mungkin
cukup untuk 5 sampai 10 tahun lagi. Karena itu pembenahan akan
berjalan terus.
Dulu pimpinan Polri sering mengeluh soal dana dan personil yang
kurang. Juga persenjataan yang ketinggalan zaman. Bagaimana
sekarang?
Jumlah anggota Polri tahun ini 120.000 orang untuk melayani 147
juta rakyat. Sebagai perbandingan, Malaysia yang penduduknya 13
juta mempunyai 80.000 polisi. Padahal anggota Polri yang pensiun
tiap tahunnya sekitar 3.000 orang. Mulai tahun ini Hankam
menyetujui penambahan 10.000 polisi tiap tahun. Walaupun begitu
jumlah polisi akan tetap kurang. Ada negara yang perbandingan
polisi dan penduduknya 1: 500. Di Batu, Malang, 1 polisi
melayani 8.000 orang. Untunglah di pedesaan rakyat ikut membantu
tugas kamtib lewat sistem kamra (keamanan rakyat) misalnya.
Yang mengkhawatirkan adalah jumlah lulusan AKABRI Kepolisian
yang menurun, tahun lalu 96 orang dari dua angkatan, tahun ini
46 orang. Tahun depan diharapkan bisa ditingkatkan menjadi 150
orang perwira.
Bagaimana tentang peningkatan mutu teknis profesional seperti
yang diperintahkan Menhankam? Peningkatan mutu Polri praktis
telah 20 tahun terhenti. Dengan memanfaatkan kerjasama teknik
luar negeri akan bisa terjamin peningkatan mutu ini. Saat ini
telah ada persetujuan kerjasama dengan Jerman Barat dan Prancis.
Kita akan mengirim tenaga-tenaga untuk dilatih di sana.
Anggaran Pembangunan Polri juga meningkat pesat. Jika pada 1979
hanya Rp 4 milyar, pada 1980 naik menjadi Rp 19,2 milyar dan
pada 1981 meloncat menjadi Rp 65 milyar. Dengan anggaran itu
kami bisa meningkatkan kualitas Polri. Dalam tahun ini
diharapkan semua sektor kepolisian sudah mempunyai peralatan
komunikasi SSB dan FM. Semua Kodak juga akan mempunyai teleks.
Senjata juga akan bertambah.
Peralatan kita tidak boleh terlalu ketinggalan. Polri akan
segera memiliki Suatu pusat kontrol yang bisa berhubungan
langsung dengan semua Kosek.
Kembali ke soal citra Polri. Berapa jumlah anggota Polri yang
telah ditindak karena indisipliner? 'rahun 1979 ada 2.600 orang.
Tahun lalu 3.600 orang. Saya bukannya bangga karena itu. Saya
sedih. Mudah-mudahan angka itu akan menurun.
Polisi model apa yang diingini di Indonesia? Seperti di Inggris?
Bobby di Inggris yang tanpa senjata cuma citra. Scotland Yardlah
yang hebat. Yang kita ingini di sini adalah polisi yang
Pancasila, yang dicintai rakyat. Jadi kebanggaan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini