Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bumper Yang Belum Mandiri

PDI terdiri dari 5 parpol yang mempunyai latar belakang dan ideologi berbeda. Ini merupakan kelemahan utama PDI, sehingga belum bisa mengikat massa.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PDI adalah partai gado-gado, partai rujak," kata Karna Radjasa berkelakar. Alasannya: banyak unsur di sana dengan dasar ideologi yang berbeda-beda. Lima parpol yang bergabung dalam PDI memang mempunyai bermacam latar belakang dan ideologi antara lain Marhaenisme, Nasionalisme dan Agama. Dalam Anggaran Dasar, sesuai dengan UU tentang Parpol dan Golkar, asas partai adalah Pancasila dan UUD 1945. Sedang cirinya adalah Demokrasi, Kebangsaan dan Keadilan Sosial. "Itu memang terlalu luas untuk pegangan suatu partai. Tapi mau apa lagi?" kata seorang tokoh PDI yang tak mau disebut namanya. "Saya irihati pada PPP. Mereka punya asas Islam yang bisa digunakan sebagai media untuk mengakarkan massa," kata Abdul Madjid. Tiadanya suatu ideologi pengikat tampaknya memang merupakan kelemahan utama PDI. "PDI tak memiliki ideologi. Padahal ideologilah yang menjadi sumber dan nafas perjuangan bagi tiap kekuatan politik," kata Chris Siner Key Timu, bekas Ketua Umum PMKRI. Menurut Chris, fusi yang kemudian membentuk PDI menyebabkan hilangnya ideologi itu. Sebagai seorang luar, menurut Chris, ia pernah diajak unsur partai Katolik dalam mempersiapkan Kongres I PDI pada 1976. "Pembicaraan ketika itu lebih banyak menyangkut taktik untuk mendapatkan kursi dan jabatan di DPP sesuai dengan proporsi kekuatan masing-masing," ucap Chris. Dan masalah ideologi sama sekali tidak disentuh. PDI memang lain dari PPP yang masih memiliki Islam sebagai bendera pengikat massanya. Dengan sama-sama berasaskan Pancasila serta UUD 1945 praktis PDI mirip dengan Golkar. Ciri PDI Demokrasi, Kebangsaan dan Keadilan Sosial dianggap terlalu umum, kurang jelas hingga tidak bisa menarik massa. Sifat PDI yang tak banyak beda dengan Golkar ini menurut Karna Radjasa menyebabkan "PDI belum merupakan suatu alternatif." Dan karena itu Karna menganjurkan agar PDI secara tegas mengambil ciri Sosialisme. Buat golongan pemilih tua, yang dulu mempunyai hubungan dengan PDI, masalah kerapuhan ideologi dalam PDI mungkin kurang terasa. Tapi makin tahun makin banyak pemilih baru yang tidak pernah mempunyai pengalaman dengan lima unsur PDI dulu. Bagaimana bisa menarik minat mereka? Kemelut di antara pimpinan PDI selama ini telah melalaikan usaha pengkaderan yang sama sekali terbengkalai. "Kelompok muda yang ada dalam PDI sekarang merupakan produk dari kaderisasi sebelum fusi. Mereka dipakai san$at tergesa-gesa dan belum begitu matang," ucap seorang pimpinan PDI. Ia menyebut beberapa nama, antara lain Suryadi, TAM Simatupang dan Aberson. M.S. Suryadi dan Aberson sudah berusia di atas 40 tahun. Setelah terjadinya fusi, secara resmi banyak organisasi pemuda dan mahasiswa yang semula bernaung di bawah bendera parpol mengambil sikap independen. Toh secara batiniah mereka masih mempunyai hubungan. Namun sumber kader itu rupanya hampir tidak pernah dimanfaatkan PDI. Salah satu contoh menyolok adalah GMNI. Menurut Ucok Hutagalung dari .Biro Khusus Politik GMNI Yogyakarta, "PDI tak pernah melakukan komunikasi politik dengan GMNI." Ucok heran mengapa PDI tak pernah memanfaatkan kader-kader dari GMNI. Ini patut disayangkan, karena menurut Ucok, "bagaimana pun sebagai sesama nasionalis secara pribadi orang GMNI itu tentunya merasa lebih dekat ke PDI." Toh di tengah segala kekurangan itu PDI tetap diperlukan. Banyak yang menganggap dalam situasi politik Indonesia saat ini perlu adanya suatu bumper di antara dua kekuatan lain Golkar dan Islam. Dengan istilah lain: sebagai alternatif ketiga dalam pilihan politik kita. "Kami sendiri berkepentingan sekali agar PDI menjadi partai yang kuat," ujar Satwono Kusumaatmadja, Sekretaris F-KP di DPR. "Kehidupan politik kita memer- lukan alternatif. Jika PDI menjadi partai yang kuat, ini memperkaya alternatif untuk sama-sama mendewasakan sistem ini," sambung Sarwono. Untuk bisa sampai ke sana, banyak orang yang skeptis. Kecuali kalau PDI setelah Kongres mampu merintis jalan untuk bisa mandiri, mengakar dan menjadi alternatif ketiga yang menarik bagi kaum muda. Marsoesi, Ketua DPD PDI Jawa Timur mengharapkan agar dalam kepengurusan yang baru nanti akan lebih banyak duduk orang muda. "Kalau banyak yang tua dan itu-itu juga membosankan," kata tokoh yang pernah mensponsori pertemuan Pandaan ini. Menurut Marsoesi, tidaklah ideal untuk memilih seorang ketua umum dari para tokoh yang selama ini pernah bertengkar. Seperti biasanya, pasaran calon Ketua Umum memang paling menarik perhatian. Banyak nama disebut tapi tampaknya yang paling menonjol adalah Isnaeni dan Hardjantho. ISNAENI, 61 tahun, sejak berusia 16 tahun telah memasuk PNI. Ia sering menyebut kepanjangan Mh di depan namanya dengan: "boleh disebut Mohamad, tapi juga bisa Marhaen." Lahir di daerah Gontor, Ponorogo, ia anak keempat Hasan Yahya, saudara sekandung pendiri Pondok Modern Gontor yang tersohor itu. Karirnya dalam partai dimulai lsnaeni sejak dari bawah. "Sayang ia ada nodanya," kata seorang tokoh PNI. Yang dianggap noda adalah: Isnaeni pada 1977 menolak perintah DPP PDI agar tidak mencalonkan diri sebagai Wakil Ketua DPR mewakili PDI. Waktu itu PDI sendiri mencalonkan Usep. Namun ternyata Golkar kemudian mendukung pencalonan Isnaeni hingga ia pun terpilih. "Kalau dia dicalonkan kelompok lain mustinya ada komitmen. Bagaimana seorang yang punya komitmen pada kelompok lain bisa diangkat menjadi ketua umum," kata tokoh yang sama. Hardjantho, 53 tahun, mulai muncul dalam kepemimpinan PNI sejak 1966. Lulusan Universitas 17 Agustus Jakarta ini dikenal sebagai usahawan yang kaya. "Saya tidak berambisi untuk menjadi ketua umum. Saya hanya ingin berjuang agar PDI lebih bisa berperanan di bidang sosial politik bagi bangsa Indonesia dan pem- bangunan nasional," Hardjantho pekan lalu berbasa-basi sambil tersenyum lebar. Cukup banyak juga kalangan yang menganggap Hardjantho kurang sesuai untuk menjabat Ketua Umum PDI. Yang rupanya dianggap memberatkan: hubungan Hardjantho yang erat dengan kalangan tertentu pemerintah. Betapa pun, menjelang kongres, tampaknya Isnaeni dianggap calon Ketua Umum yang lebih kuat. Alasannya, orang melihat dia merupakan tokoh yang lebih bisa diterima oleh pemerintah saat ini. Yang membiayai kongres: Siapa lagi kalau bukan pemerintah? "Biaya disediakan, kami tinggal kongres saja," ujar Hardjantho, anggota panitia ad hoc persiapan Kongres.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus