PDI adalah partai gado-gado, partai rujak," kata Karna
Radjasa berkelakar. Alasannya: banyak unsur di sana dengan dasar
ideologi yang berbeda-beda.
Lima parpol yang bergabung dalam PDI memang mempunyai
bermacam latar belakang dan ideologi antara lain Marhaenisme,
Nasionalisme dan Agama. Dalam Anggaran Dasar, sesuai dengan UU
tentang Parpol dan Golkar, asas partai adalah Pancasila dan UUD
1945. Sedang cirinya adalah Demokrasi, Kebangsaan dan Keadilan
Sosial.
"Itu memang terlalu luas untuk pegangan suatu partai. Tapi
mau apa lagi?" kata seorang tokoh PDI yang tak mau disebut
namanya. "Saya irihati pada PPP. Mereka punya asas Islam yang
bisa digunakan sebagai media untuk mengakarkan massa," kata
Abdul Madjid.
Tiadanya suatu ideologi pengikat tampaknya memang merupakan
kelemahan utama PDI. "PDI tak memiliki ideologi. Padahal
ideologilah yang menjadi sumber dan nafas perjuangan bagi tiap
kekuatan politik," kata Chris Siner Key Timu, bekas Ketua Umum
PMKRI. Menurut Chris, fusi yang kemudian membentuk PDI
menyebabkan hilangnya ideologi itu.
Sebagai seorang luar, menurut Chris, ia pernah diajak unsur
partai Katolik dalam mempersiapkan Kongres I PDI pada 1976.
"Pembicaraan ketika itu lebih banyak menyangkut taktik untuk
mendapatkan kursi dan jabatan di DPP sesuai dengan proporsi
kekuatan masing-masing," ucap Chris. Dan masalah ideologi sama
sekali tidak disentuh.
PDI memang lain dari PPP yang masih memiliki Islam sebagai
bendera pengikat massanya. Dengan sama-sama berasaskan Pancasila
serta UUD 1945 praktis PDI mirip dengan Golkar. Ciri PDI
Demokrasi, Kebangsaan dan Keadilan Sosial dianggap terlalu umum,
kurang jelas hingga tidak bisa menarik massa. Sifat PDI yang tak
banyak beda dengan Golkar ini menurut Karna Radjasa menyebabkan
"PDI belum merupakan suatu alternatif." Dan karena itu Karna
menganjurkan agar PDI secara tegas mengambil ciri Sosialisme.
Buat golongan pemilih tua, yang dulu mempunyai hubungan
dengan PDI, masalah kerapuhan ideologi dalam PDI mungkin kurang
terasa. Tapi makin tahun makin banyak pemilih baru yang tidak
pernah mempunyai pengalaman dengan lima unsur PDI dulu.
Bagaimana bisa menarik minat mereka?
Kemelut di antara pimpinan PDI selama ini telah melalaikan
usaha pengkaderan yang sama sekali terbengkalai. "Kelompok muda
yang ada dalam PDI sekarang merupakan produk dari kaderisasi
sebelum fusi. Mereka dipakai san$at tergesa-gesa dan belum
begitu matang," ucap seorang pimpinan PDI. Ia menyebut beberapa
nama, antara lain Suryadi, TAM Simatupang dan Aberson. M.S.
Suryadi dan Aberson sudah berusia di atas 40 tahun.
Setelah terjadinya fusi, secara resmi banyak organisasi
pemuda dan mahasiswa yang semula bernaung di bawah bendera
parpol mengambil sikap independen. Toh secara batiniah mereka
masih mempunyai hubungan. Namun sumber kader itu rupanya hampir
tidak pernah dimanfaatkan PDI.
Salah satu contoh menyolok adalah GMNI. Menurut Ucok
Hutagalung dari .Biro Khusus Politik GMNI Yogyakarta, "PDI tak
pernah melakukan komunikasi politik dengan GMNI." Ucok heran
mengapa PDI tak pernah memanfaatkan kader-kader dari GMNI. Ini
patut disayangkan, karena menurut Ucok, "bagaimana pun sebagai
sesama nasionalis secara pribadi orang GMNI itu tentunya merasa
lebih dekat ke PDI."
Toh di tengah segala kekurangan itu PDI tetap diperlukan.
Banyak yang menganggap dalam situasi politik Indonesia saat ini
perlu adanya suatu bumper di antara dua kekuatan lain Golkar
dan Islam. Dengan istilah lain: sebagai alternatif ketiga dalam
pilihan politik kita.
"Kami sendiri berkepentingan sekali agar PDI menjadi partai
yang kuat," ujar Satwono Kusumaatmadja, Sekretaris F-KP di DPR.
"Kehidupan politik kita memer- lukan alternatif. Jika PDI
menjadi partai yang kuat, ini memperkaya alternatif untuk
sama-sama mendewasakan sistem ini," sambung Sarwono.
Untuk bisa sampai ke sana, banyak orang yang skeptis. Kecuali
kalau PDI setelah Kongres mampu merintis jalan untuk bisa
mandiri, mengakar dan menjadi alternatif ketiga yang menarik
bagi kaum muda.
Marsoesi, Ketua DPD PDI Jawa Timur mengharapkan agar dalam
kepengurusan yang baru nanti akan lebih banyak duduk orang muda.
"Kalau banyak yang tua dan itu-itu juga membosankan," kata tokoh
yang pernah mensponsori pertemuan Pandaan ini. Menurut Marsoesi,
tidaklah ideal untuk memilih seorang ketua umum dari para tokoh
yang selama ini pernah bertengkar.
Seperti biasanya, pasaran calon Ketua Umum memang paling
menarik perhatian. Banyak nama disebut tapi tampaknya yang
paling menonjol adalah Isnaeni dan Hardjantho.
ISNAENI, 61 tahun, sejak berusia 16 tahun telah memasuk PNI.
Ia sering menyebut kepanjangan Mh di depan namanya dengan:
"boleh disebut Mohamad, tapi juga bisa Marhaen." Lahir di daerah
Gontor, Ponorogo, ia anak keempat Hasan Yahya, saudara sekandung
pendiri Pondok Modern Gontor yang tersohor itu. Karirnya dalam
partai dimulai lsnaeni sejak dari bawah.
"Sayang ia ada nodanya," kata seorang tokoh PNI. Yang
dianggap noda adalah: Isnaeni pada 1977 menolak perintah DPP PDI
agar tidak mencalonkan diri sebagai Wakil Ketua DPR mewakili
PDI. Waktu itu PDI sendiri mencalonkan Usep. Namun ternyata
Golkar kemudian mendukung pencalonan Isnaeni hingga ia pun
terpilih. "Kalau dia dicalonkan kelompok lain mustinya ada
komitmen. Bagaimana seorang yang punya komitmen pada kelompok
lain bisa diangkat menjadi ketua umum," kata tokoh yang sama.
Hardjantho, 53 tahun, mulai muncul dalam kepemimpinan PNI
sejak 1966. Lulusan Universitas 17 Agustus Jakarta ini dikenal
sebagai usahawan yang kaya. "Saya tidak berambisi untuk menjadi
ketua umum. Saya hanya ingin berjuang agar PDI lebih bisa
berperanan di bidang sosial politik bagi bangsa Indonesia dan
pem- bangunan nasional," Hardjantho pekan lalu berbasa-basi
sambil tersenyum lebar.
Cukup banyak juga kalangan yang menganggap Hardjantho kurang
sesuai untuk menjabat Ketua Umum PDI. Yang rupanya dianggap
memberatkan: hubungan Hardjantho yang erat dengan kalangan
tertentu pemerintah.
Betapa pun, menjelang kongres, tampaknya Isnaeni dianggap
calon Ketua Umum yang lebih kuat. Alasannya, orang melihat dia
merupakan tokoh yang lebih bisa diterima oleh pemerintah saat
ini.
Yang membiayai kongres: Siapa lagi kalau bukan pemerintah?
"Biaya disediakan, kami tinggal kongres saja," ujar Hardjantho,
anggota panitia ad hoc persiapan Kongres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini