KEMELUT masih terus melanda PDI. Bulan lalu mendadak Ketua
Umumnya Sanusi Hardjadinata mengundurkan diri. Padahal Kongres
11 sudah diputuskan akan di- selenggarakan di Jakarta antara 14
- 17 Desember mendatang ini. Apakah pengunduran diri Sanusi
bakal mempengaruhi rencana Kongres?
"Perputaran roda organisasi tidak boleh berhenti karena
pengunduran diri Sanusi," tegas Sekjen PDI Sabam Sirait. Menurut
dia DPP akan meneruskan tugas mengantarkan PDI memasuki kongres
II yang telah disepakati untuk menyelesaikan berbagai masalah
dalam partai itu.
Selama usianya yang tujuh tahun, PDI memang hampir tidak
pernah sepi dari kericuhan. Tiga tahun terakhir ini mungkin
merupakan masa yang paling ramai. Begitu sering pertentangan
dalam pimpinan PDI terjadi, hingga bagi banyak orang terasa
bukan saja membingungkan, tapi juga memuakkan. Pangkopkamtib
Sudomo sendiri beberapa kali ikut "turun tangan" menengahi
persengketaan tadi.
PDI--yang merupakan fusi lima parpol PNI, IPKI, Murba,
Parkindo dan Partai Katolik, bukan partai besar. Dalam urutan ia
yang paling buncit. Dalam Pemilu 1977 ia hanya memperoleh kursi
DPR 29 buah atau 8,7%. Hasil itu kurang dibanding Pemilu 1971
(sebelum fusi) yang menghasilkan 9.98% suara. Itupun merupakan
kemunduran menyolok dibanding jumlah suara kelima parpol
tersebut dalam Pemilu 1955 yang mencapai 28,8%.
Yang dituding sebagai sumber kemelut dalam PDI adalah fusi
yang dianggap belum tuntas. Masing-masing unsur tetap
menonjolkan dirinya hingga pada prakteknya PDI selama ini lebih
mirip suatu federasi daripada suatu partai yang telah menyatu.
Yang lebih parah, dalam unsur PNI sendiri yang merupakan unsur
terbesar, masih terdapat pertengkaran intern hingga lebih
mengalutkan suasana kehidupan partai.
Buntut semua kericuhan ini adalah: organisasi partai
terbengkalai. Misalnya hampir tidak pernah ada usaha
pengkaderan. Sebagai organisasi, praktis PDI mandek semenjak
dibentuk. Ada bermacam-macam ideologi dalam PDI, dengan
asal-usul yang berbeda. Namun tidak pernah tampak adanya usaha
untuk menumbuhkannya dalam suatu kebersamaan. Masing-masing
unsur terus mendekap identitasnya sendiri-sendiri. "Secara fisik
fusi tidak berhasil, apalagi secara ideologis," simpul Ketua PDI
Abdul Madjid.
Sanusi sendiri tampaknya mempunyai pendapat yang serupa.
"Fusi bisa saja dilakukan, tapi biarlah tumbuh dari bawah,"
ujarnya pada TEMPO pekan lalu. Agar fusi bisa tumbuh dari bawah,
diusulkannya dalam Pemilu 1982 nanti dipasang lagi 10 tanda
gambar seperti pada Pemilu 1971. "Yang tidak mendapat kursi atau
mengumpulkan suara Kurang dari minimal dibubarkan atau bisa
bergabung dengan partai lain," kata Sanusi.
Tampaknya beberapa tokoh PDI dari unsur PNI, seperti Usep
Ranawidjaja, Abdul Madjid dan Abdullah Eteng mendukung gagasan
ini. Namun saran semacam ini --walaupun menarik, agaknya sulit
dilaksanakan. Sebab pasti akan ditentang keras beberapa unsur
lain dalam PDI yang bisa terhapus bila cara itu dilakukan. Belum
lagi keberatan pihak pemerintah. Maka fusi seperti sekarang ini
tampaknya terus dipertahankan.
Beberapa tokoh eks PNI sendiri tidak sependapat dengan
Sanusi dkk. Suryadi, tokoh muda PDI misalnya, tidak sependapat
macetnya fusi karena kesalahan kebi- jaksanaan pembinaan
kehidupan sosial politik yang diinstruksikan dari atas. "Itu
jangan dijadikan dalih, karena itu merupakan realitas kehidupan
politik di Indonesia dewasa ini," ujarnya. Ia lebih menganjurkan
mencari pemecahan, bukan menyalahkan kenyataan.
Kongres II nanti tampaknya diharapkan akan memecahkan
masalah-masalah tersebut. "Kongres merupakan tempat yang pantas
untuk menyelesaikan secara tuntas semua kemelut itu," kata Ketua
PDI Isnaeni. Sambung Sabam Sirait Sekjen PDI: "Kami sepakat
untuk melupakan perbedaan guna menyelesaikannya dalam kongres."
Tapi Kongres Desember nanti banyak yang meragukan akan bisa
menyelesaikan semua kemelut. Menjelang Kongres, kalangan PDI
tampaknya terpecah dalam beberapa kelompok. Kelompok Sanusi
misalnya, agak pesimistis menghadapinya. "Kongres yang akan
datang masih akan merupakan kongres unsur dan masih dalam taraf
pemantapan fusi yang mau dituntaskan," kata Abdul Madjid. Ketua
PDI yang memelihara jenggot ini bahkan mensinyalir "bakal ada
tekanan dari pihak-pihak tertentu dalam kongres."
Tapi Suryadi sebaliknya berpendapat, kongres nanti tidak
akan berat. "Tidak akan terjadi suasana panas," jaminnya
Hardjantho Soemodisastro, salah satu Ketua PDI, juga
memperkirakan, kongres nanti tidak akan menjadi ajang pertikaian
yang lebih keras dibanding kemelut sebelumnya.
"Kami sudah sepakat agar kongres berlangsung efisien dan
efektif," katanya dalam suatu wawancara dengan TEMPO pekan lalu.
Beberapa kemungkinan yang bisa memanaskan situasi sudah
dihindari sejak persiapan. Menurut Hardjantho, telah disepakati
dalam kongres nanti akan dinyatakan eksistensi unsur yang
berfusi resmi dibubarkan.
Diakui Hardjantho, keputusan itu untuk sementara waktu
memang merugikan unsur PNI yang mempunyai massa terbanyak. "Tapi
kalau kami bertahan saja, fusi tak akan pernah tuntas," ujarnya.
Tujuh tahun setelah fusi, secara resmi hampir semua parpol yang
bergabung memang belum membubarkan diri. "Memang sudah
terlambat, cuma lebih baik daripada berlarut terus," tambah
Hardjantho. Keputusan Kongres 11 itu nanti akan berarti koreksi
terhadap Kongres I pada 1976.
Bagaimana pun, Kongres II PDI nanti memang masih merupakan
kongres unsur karena masing-masing cabang akan diwakili oleh
lima orang yang mewakili masing-masing unsur dalam PDI. Yang
antara lain harus diselesaikan sebelum kongres adalah masalah
adanya DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dan DPC (Dewan Pimpinan
Cabang) kembar yang merupakan buntut perpecahan dalam pimpinan
DPP.
Di seluruh Indonesia, tercatat ada delapan DPD dan 15 DPC
yang kembar dari 280 DPC yang ada. Soal ini, menurut Hardjantho,
bukan hal yang serius. "Bisa diselesaikan sebelum berangkat ke
Jakarta," sambungnya.
Memang tidak semua cabang ikut terpecah oleh pertikaian
pimpinan di atas. DPD PDI Yogyakarta misalnya, dikenal yang
paling tidak pernah ribut. "Sebabnya karena kesadaran organisasi
dan sudah adanya kesadaran politik kami sehingga antara unsur
saling menghargai," kata Soetarjo Soerjogoeritno, Sekretaris
Umum DPD PDI Yogyakarta.
Di Jawa Tengah, yang merupakan basis utama PDI, tercatat ada
lima cabang PDI kembar Klaten, Surakarta, Blora, Pemalang dan
Kotamadya Tegal. "Yang membikin cabang kembar itu orang-orang
DPP, bukan DPD Ja-Teng," kata Sujanto, Sekretaris 11 DPD serta
Ketua Fraksi PDI pada DPRD Ja-Teng. "Jadi yang menyelesaikan
atau menyatukannya lagi adalah tanggungjawab DPP," sambung
Sujanto kalem.
Bagaimana tentang kepemimpinan baru yang diharapkan akan
muncul dari kongres nanti? "Bagi Jawa Tengah yang penting
dilaksanakannya aturan organisasi. Siapa saja boleh duduk
sebagai pengurus, yang penting pimpinan harus kompak dan
berorientasi pada kepentingan nasional dan PDI," jawab Sujanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini