Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Catatan Kritis UNESCO terhadap Subak

Pemerintah dianggap belum menepati janji untuk membentuk badan pengelola subak dan kompensasi pada ekosistemnya.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Wisatawan memotret pamandangan sawah dengan sistem Subak di Jatiluwih, Tabanan, Bali, 18 Januari 2018. ANTARA/Nyoman Budhiana
Perbesar
Wisatawan memotret pamandangan sawah dengan sistem Subak di Jatiluwih, Tabanan, Bali, 18 Januari 2018. ANTARA/Nyoman Budhiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Komite Warisan Dunia UNESCO memberi sejumlah catatan terhadap pengelolaan Subak di Bali.

  • Komite Warisan Dunia berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat menjamin perlindungan dan pengelolaan Subak yang berkelanjutan agar fungsi Subak dan pura air bisa berjalan lebih baik. 

  • Terjadi alih fungsi lahan di kawasan Subak Jatiluwih, Kabupaten Tabanan.

JAKARTA – Komite Warisan Dunia (WHC) Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) memberikan catatan terhadap subak, sistem pengairan sawah di Bali yang dianggap sebagai cerminan budaya dan filosofi Bali kuno. Dalam pertemuan di Fuzhou, Cina, pada Juli lalu, Komite Warisan Dunia menyebutkan pengelolaan subak di Bali mengalami kemajuan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Komite berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat menjamin perlindungan dan pengelolaan subak yang berkelanjutan. Tujuannya agar fungsi subak dan pura air bisa berjalan lebih baik. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Komite ini juga menuntut komitmen pemerintah Indonesia untuk mengembangkan aturan teknis tentang penilaian dampak warisan atau heritage impact assessment (HIA) sesuai dengan pedoman Dewan Monumen dan Situs Internasional (ICOMOS) serta Pusat Internasional untuk Studi Pelestarian dan Pemulihan Properti Budaya (ICCROM). 

Di samping itu, WHC menyatakan Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar serta Provinsi Bali sudah mempunyai komitmen untuk mengelola subak. Salah satu indikasinya adalah penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Keberadaan peraturan daerah ini mendukung kelangsungan petani dengan sistem subak di Bali. 

UNESCO menetapkan 20 subak di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, dan tiga subak di Tegalalang, Kabupaten Gianyar, sebagai warisan budaya dunia tak benda pada 2012. Subak merupakan sistem pengairan sawah tanaman padi di Bali yang dikelola secara kemasyarakatan. Satu sistem subak biasanya ditandai dengan pembangunan sebuah pura. 

Wisatawan asing melihat panen raya sawah di Jatiluwih, Tabanan, Bali, 15 Juni 2019. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo

Guru besar pertanian dari Universitas Udayana, Wayan Windia, menyoroti kondisi subak di kawasan Jatiluwih. Ia mengatakan ada beberapa janji pemerintah yang belum ditepati ketika UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia. 

Misalnya, kata dia, belum adanya badan pengelola subak yang bertugas mengawasi pengelolaannya. Ketiadaan badan pengelola ini berpotensi menimbulkan kerusakan pada sistem subak. Padahal pengelolaan subak bisa dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. “Pemda bisa mengaturnya karena (wilayah ini merupakan) kawasan otonomi,” kata Windia. 

Masalah lain, kata dia, belum ada pemenuhan janji tentang kesejahteraan petani dan kompensasi pada ekosistem subak. Padahal kesejahteraan petani dan kompensasi ekosistem bisa dibiayai oleh pemerintah daerah dan wisatawan yang berkunjung ke subak. 

Windia juga menyoroti pengembangan pariwisata di kawasan subak Jatiluwih. "Seharusnya pariwisata pendidikan yang dikembangkan. Ini malah pariwisata massal yang dikembangkan," katanya. 

Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana itu juga mengkritik pembangunan landasan helikopter di kawasan Subak Jatiluwih. Windia menilai keberadaan landasan serta helikopternya itu berpotensi merusak tanaman padi di sawah. Pembangunan landasan helikopter ini belakangan dibatalkan karena menuai kontroversi. 

Windia juga mencatat terjadinya alih fungsi lahan di kawasan subak Jatiluwih. Alih fungsi lahan yang masif akan mengancam kerusakan sawah dan ekosistem subak. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum memberikan tanggapan atas catatan UNESCO ini. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Hilmar Farid, tak bersedia menjawab permintaan konfirmasi Tempo. Hilmar justru meminta Tempo menghubungi Direktur Perlindungan Kebudayaan, Fitra Arda. Adapun Firda juga tidak menjawab pesan pendek yang dikirim Tempo

Pelaksana tugas Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali, I Ketut Lihadnyana, mengatakan pihaknya belum menerima catatan dari Komite Warisan Dunia mengenai subak. "Kami sudah memberikan bantuan kepada subak berupa BKK setiap tahun,” katanya. 

MADE ARGAWA | INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus