Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan bahwa dirinya merasakan nuansa kolonial yang kuat saat tinggal di tiga istana peninggalan pemerintah Hindia Belanda, yaitu Istana Merdeka, Istana Negara, dan Istana Kepresidenan Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi kalau Istana kita yang ada di Jakarta, yang ada di Bogor itu adalah istana bekas kolonial yang dulunya dihuni. Istana Negara itu dihuni oleh Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten," kata Presiden Jokowi saat memberikan arahan kepada ratusan kepala daerah di Ruang kegiatan resmi Istana Negara IKN, Kalimantan Timur, Selasa lalu, 13 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden pun menceritakan bahwa kedua istana yang ada di Jakarta, yakni Istana Negara dan Istana Merdeka dihuni oleh para gubernur jenderal Hindia Belanda pada masa kolonial.
Sejarah Istana Negara
Pada awalnya, Istana Negara adalah kediaman pribadi seorang warga Belanda bernama J.A. van Braam. Ia memulai pembangunan rumahnya pada 1796, di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten, dan selesai pada 1804, di masa Gubernur Jenderal Johannes Sieberg. Namun, pada 1816, bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda dan dijadikan pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para Gubernur Jenderal Belanda. Oleh karena itu, istana ini dikenal sebagai “Hotel Gubernur Jenderal.”
Beberapa peristiwa penting terjadi di Istana Negara, seperti ketika Jenderal de Kock menguraikan rencananya untuk menumpas pemberontakan Pangeran Diponegoro serta menyusun strategi menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch juga menetapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel di sini. Setelah kemerdekaan, pada 25 Maret 1947, terjadi penandatanganan Persetujuan Linggajati di gedung ini, yang melibatkan Sutan Sjahrir dari pihak Indonesia dan Dr. van Mook dari pihak Belanda.
Awalnya, Istana Negara merupakan bangunan bertingkat dua. Namun, pada 1848, tingkat atasnya dirobohkan dan bagian depan bangunan diperlebar untuk menampilkan tampilan yang lebih resmi sesuai dengan kedudukan penghuninya. Di kiri kanan gedung utama dibangun penginapan untuk kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.
Selain sebagai tempat tinggal Gubernur Jenderal, gedung ini juga berfungsi sebagai kantor sekretariat pemerintahan. Kantor-kantor tersebut terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang yang kemudian dikenal sebagai Gang Secretarie. Seiring berjalannya waktu, gedung ini tidak mampu lagi menampung semua kegiatan pemerintahan yang semakin berkembang.
Pada 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan pembangunan gedung baru di belakang "Hotel Gubernur Jenderal" di Rijswijk. Seorang arsitek bernama Drossares dipercaya untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein, yang kelak dikenal sebagai Istana Merdeka. Proyek ini baru selesai sepuluh kemudian, sementara bangunan lama yang menghadap ke Rijswijk juga diperluas.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah penandatanganan Persetujuan Linggajati pada 25 Maret 1947. Se kemudian, pada 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tempat pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. van Mook.
Fungsi Istana
Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, tempat diselenggarakannya acara-acara kenegaraan seperti pelantikan pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, serta kongres berskala nasional dan internasional. Istana ini difokuskan sebagai kantor Presiden Republik Indonesia. Selain itu, pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Istana Negara digunakan untuk acara jamuan makan Presiden bersama para veteran. Saat tamu negara berkunjung, istana ini juga digunakan untuk acara resmi seperti jamuan makan malam kenegaraan dan pertunjukan kesenian tradisional Indonesia dengan berbagai tema dan dekorasi.
Bagian-bagian Istana
Arsitektur Istana Negara menonjolkan gaya Palladio, dengan saka-saka bergaya Yunani yang mendominasi eksteriornya. Bagian depan istana menampilkan 14 saka dengan ukuran yang sama. Serambi Istana Negara lebih sempit dibandingkan dengan serambi Istana Merdeka, dan dapat diakses melalui dua tangga di sisi kanan dan kiri, dengan bagian depannya ditutup pagar balustrada.
Istana Negara memiliki dua balairung besar, yaitu Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Ruang Upacara digunakan untuk upacara resmi kenegaraan, sementara pada masa Hindia Belanda, ruangan ini juga berfungsi sebagai ballroom untuk pesta dansa. Di dalam Ruang Upacara terdapat dua perangkat gamelan, Jawa dan Bali, yang ditempatkan di sisi timur dan barat dari podium di sisi selatan ruangan. Auditorium ini mampu menampung seribu hadirin berdiri atau 350 hadirin duduk. Ruang Jamuan digunakan untuk jamuan kenegaraan atau tempat beramah-tamah setelah upacara, dengan kapasitas 150 orang.
Serambi depan istana menghadap ke Jalan Veteran dan dapat dicapai melalui tangga di kedua sisinya. Dari ruang depan, pengunjung dapat melanjutkan ke Ruang Jamuan melalui koridor yang diapit oleh beberapa ruang khusus. Di sisi barat, terdapat suite untuk Wakil Presiden dan ruang tunggu tamu Presiden. Ruang tamu ini dulunya adalah Ruang Pusaka, tempat menyimpan berbagai benda pusaka, dan sekarang digunakan oleh Presiden untuk menemui tamu-tamunya.
Ruang kerja Presiden terletak di sisi timur koridor, dilengkapi dengan meja kerja besar, kursi kerja untuk Presiden, dua kursi hadap, dan lemari panjang untuk menyimpan berbagai benda seni. Di belakang ruang kerja ini terdapat ruang istirahat dan ruang makan bagi Presiden.
SETNEG.GO.ID
Pilihan editor: Sejarah Istana Merdeka yang Disebut Bau Kolonial oleh Presiden Jokowi