Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan perempuan itu bekerja dalam diam. Sebagian dari mereka mengenakan masker yang membalut mulut. Meski mulut terkunci, lihatlah, tangan mereka lincah membolak-balik dan memilah-milah daun tembakau kering kecokelatan. Sebagian lagi terlihat gesit melinting sehingga membentuk bulatan yang sekilas mirip sosis.
"Dalam ruangan begini, parfum apa pun tidak tercium wanginya. Kalah dengan aroma tembakau," kata Hari Mulyadi, Asisten Manajer Teknis Operasional Gudang Tembakau PT Mangli Djaja Raja, Jember, kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Omongan pria 56 tahun itu benar adanya. Di gudang sekaligus tempat pembuatan cerutu dengan bahan baku daun yang terkenal dengan kandungan nikotin itu aromanya benar-benar menggelitiki bulu hidung. "Itu karena Mas belum atau tidak terbiasa di sini," ujar Hari.
Tepat pukul 11.30 bel besar di halaman gudang berdentang, diikuti bel listrik yang dipasang di setiap gudang. Tanpa dikomando, ratusan buruh berdiri dan meninggalkan deretan dan tumpukan dari jutaan helai daun tembakau di meja panjang yang saban hari mereka geluti. Selama satu jam mereka bisa beristirahat, mengobrol sambil menikmati makan siang yang dibawa dari rumah, atau menunaikan salat.
"Saya bekerja di sini sejak masih gadis, sekitar usia 15 tahun," ujar Misyati, kini 54 tahun. Sambil mengobrol, nenek dua cucu ini melahap nasi dengan sayur oseng dan berlauk ikan pindang serta tahu-tempe di dalam rantang yang dibawanya dari rumah. Bekerja di tempat ini hampir 40 tahun membuat Misyati terbiasa menghirup aroma khas tembakau. Namun, ketika "lepas dinas", dia justru sangat menghindari asap rokok. "Enggak nyaman kalau terhirup."
Begitulah, tembakau tak bisa dilepaskan dari wajah Jember. Sejak zaman kolonial Belanda, kawasan ini dikenal sebagai penghasil tembakau Besuki Na-Oogst berkualitas tinggi, terutama untuk pembungkus (wrapper, dekblad, atau omblad) cerutu. Kualitas daun tembakau itu tak lepas dari topografi Jember. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 83 meter di atas permukaan laut. Kontur tanah Jember berbukit-bukit, bahkan memiliki sekitar 1.600 bukit atau gumuk—terbanyak di Jawa Timur—sehingga kerap disebut sebagai wilayah atau area seribu gumuk.
Lantaran kualitas tembakaunya sudah begitu kondang, tak mengherankan jika daun tembakau hadir dan menjadi salah satu simbol Kabupaten Jember setelah Indonesia merdeka. Begitu ngetop-nya kualitas tembakau Jember, Kabul Santoso, Ketua Komisi Urusan Tembakau Jember (KUTJ), menyatakan, dari 37 persen pasokÂan tembakau Indonesia untuk dunia, 25 persen adalah tembakau dari Jember. Desak Nyoman Siksiawati, Kepala Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang dan Lembaga Tembakau (BPSMB-LT) Jember, menyatakan hal yang sama.
Tembakau Besuki Na-Oogst ditanam dengan pola "tembakau bawah naungan". Penanaman dengan selubung jaring atau kelambu ini adalah cara terbaik untuk memproduksi daun tembakau kelas wahid di Jember. Kelambu berbahan plastik ini berfungsi menyaring sinar matahari sekaligus mencegah hama serta mengatur suhu dan kelembapan tembakau. Dengan sistem ini bisa didapatkan daun tembakau pembalut cerutu berkualitas sangat baik, yakni warnanya terang dan permukaan daunnya rata. Cara seperti ini dilakukan PT Perkebunan Nusantara X Jember.
Menurut Abdul Kahar Muzakkir, mantan Direktur Produksi PTPN 27—sekarang PTPN X—dan penemu ide pola tanam tembakau bawah naungan, 99 persen hasil panenan tembakaunya diserap pasar internasional. "Terbesar pasar Eropa, yakni 92 persen, lalu Amerika 5 persen, dan Afrika 2 persen," katanya. "Untuk pasar domestik hanya sekitar 1 persen."
Berdiri pada 11 April 1960, hingga kini PT Mangli Djaja Raja (MDR) terus berbisnis tembakau, dari penanaman hingga proses penyiapan daun tembakau sebagai bahan baku cerutu. Perusahaan ini berfokus menjual tembakau untuk bahan pembalut luar (dekblad), pembungkus dalam (omblad), dan isi (filler) untuk industri cerutu dalam dan luar negeri.
Setelah setengah abad beroperasi, pada 2013 perusahaan mulai menjual cerutu—produk yang sebelumnya lebih banyak untuk suvenir bagi pembeli daun tembakau dan para mitra bisnis. Eny Juwita, Manajer Pemasaran PT MDR, perusahaannya memproduksi dua merek cerutu, yakni Brawijaya dan Erlangga. Keduanya dibuat dalam 11 tipe berdasarkan ukuran (panjang dan diameter). Cerutu terkecil dan terpendek (mini cigarillos) berdiameter setengah sentimeter dengan panjang 5,5 sentimeter. Sedangkan cerutu terbesar dan terpanjang berdiameter 2 sentimeter dan panjang 15 sentimeter.
"Harganya mulai Rp 22.500 sampai Rp 135 ribu per bungkus," kata Eny. Sebungkus cerutu mini berisi 10 batang, sedangkan yang besar berisi tiga batang. Selain dijual di dalam negeri, belakangan cerutu buatan PT MDR mulai ditawarkan ke beberapa negara Eropa dan Asia. Setiap hari perusahaan ini memproduksi 1.500 batang cerutu.
Selain dibuat oleh PT MDR, cerutu asal Jember diproduksi Koperasi Karyawan Kartanegara PT Perkebunan Nusantara X. Menurut Kuntjoro, Senior Quality Control Unit Industri Bobbin dan Cerutu PTPN X Jember, koperasinya memproduksi cerutu buatan tangan sejak 1987 dengan rata-rata produksi 100 ribu batang per tahun. Selama beberapa tahun, 100 persen produksinya untuk pasar dalam negeri.
Selanjutnya, ekspor perdana cerutu perusahaan pelat merah ini dilakukan pada 1993-1994 ke Jepang. Tahun-tahun berikutnya permintaan datang dari Australia dan sejumlah negara Eropa. Dengan meningkatnya permintaan, jumlah produksi cerutu pun naik. Dalam beberapa tahun terakhir mereka memproduksi 500 ribu-2,5 juta batang cerutu berbagai ukuran setahun, atau 50 ribu batang per bulan. "Sekitar 20 persen cerutu kita untuk memenuhi pesanan mancanegara," kata Kuntjoro.
Koperasi ini sedikitnya memproduksi 16 merek cerutu. Produknya terbagi dalam kategori cerutu berbatang pendek (small cigar), sedang (soft filler), dan panjang (long filler). Kategori long filler cigar merupakan cerutu dengan isi daun tembakau utuh, sedangkan soft filler dan small cigar adalah cerutu berisi daun tembakau rajang.
Merek cerutu panjang ada Premium, Robusto, Panatela, Corona, Grand Corona, dan Torpedo. Adapun cerutu sedang mereknya Argopuros, Indopuros, Cardinal, Marshal, Hecho A Mano, Carillon, Prince, Bali Djanger, Bali Legong, Bali Barong, Bali Kecak, Bali Puri, Bali Tips, dan Bali Puri. Merek dengan kata "Bali" ternyata sangat disukai orang asing yang berkunjung ke Bali. Karena itu, menurut Kuntjoro, Bali menjadi salah satu pasar potensial bagi cerutu Indonesia.
"Soal rasa cerutu Jember, sulit dijelaskan dengan kata-kata," ujar Kabul Santoso, penggemar cerutu yang juga mantan Rektor Universitas Jember. "Yang jelas, rasanya unik, khas, beda dengan cerutu lain." Menurut Ketua Komisi Urusan Tembakau Jember ini, pasar ekspor cerutu Jember masih sangat terbuka, terutama untuk kawasan Asia. "Pasar Asia cenderung meningkat," katanya.
Lalu bagaimana pasar cerutu di dalam negeri? Andi K. Yuwono, penggemar cerutu dari komunitas Indonesian Cigar Aficionado, menyatakan peminat cerutu di Indonesia terus meningkat sehingga pasarnya sangat terbuka. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya kelas menengah dan atas. Sesuai dengan tuntutan status, mereka tak sekadar mengisap rokok, tapi naik kelas menjadi penggemar cerutu.
Walau begitu, pria 41 tahun yang mengakrabi cerutu sejak awal 1998 ini meminta agar tak membandingkan kualitas cerutu lokal dengan produk luar, apalagi cerutu Kuba. "Banyak hal yang njomplang," ujar Andi. Khusus beberapa cerutu produksi Jember, ia menilai sebagian besar rasanya masih flat alias datar-datar saja. Memang ada juga yang enak, kata dia, "Tapi kompleksitas rasa tidak ditemukan."
Dwi Wiyana, Mahbub Djunaidy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo